Misteri pola bintik di tubuh jerapah, apakah ada fungsinya?
Jerapah adalah hewan unik yang memiliki leher menjulang. Bulu di tubuhnya yang memiliki pola bintik-bintik juga menjadi ciri khas hewan pemakan tumbuhan ini. Kenapa jerapah punya pola bintik-bintik di tubuhnya?
Dalam studi yang diterbitkan di jurnal Transactions of the Royal Society of South Africa pada 2003 disebutkan, salah satu alasannya adalah untuk kamuflase. Bintik-bintik di tubuh jerapah, membantunya menyatu dengan lingkungan sekitar.
Pola tanda yang tidak beraturan pada tubuh hewan ini membantu memecah bentuk aslinya. Saat sinar matahari menembus celah pepohonan dan semak-semak, pola tersebut berpadu dengan bayangan di sekitarnya. Akibatnya, meskipun berukuran besar, hewan ini tetap sulit terlihat, bahkan dari jarak hanya beberapa meter saja.
“Tergantung pada vegetasi tempat mereka tinggal, mereka akan memiliki tanda yang sesuai,” ujar peneliti dari Universitas Wyoming dan Universitas Pretoria, G. Mitchell kepada Live Science.
Misalnya, bentuk bercak-bercak pada bulu jerapah sering kali serupa dengan pola percabangan pohon akasia yang umum ditemukan di sabana Afrika. Kamuflase sangat penting bagi jerapah muda—yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada kemampuan mereka bersembunyi dari predator.
Pengatur suhu tubuh
Fungsi pola bintik-bintik jerapah lainnya adalah untuk mengatur suhu tubuh. Lewat bintik-bintiknya, jerapah jadi tak bisa berkeringat atau terengah-engah. Padahal, mereka hidup di beberapa lingkungan terpanas di Bumi. Sebab, di bawah setiap bercak terdapat jaringan pembuluh darah yang padat.
“Ketika jerapah perlu melepaskan panas, pembuluh darah di bawah bercak melebar dan dengan demikian mengalirkan darah ke bercak tersebut,” kata Mitchell.
Darah ini bergerak lebih dekat ke permukaan kulit, tempat yang bisa melepaskan panas. Sebuah studi tentang jerapah Masai menyebut, bintik-bintik pada jerapah penting untuk termoregulasi—kemampuan makhluk hidup untuk mempertahankan suhu tubuh internal yang stabil dalam kisaran normal.
Studi tersebut menemukan, bintik-bintik yang lebih besar memberikan keuntungan di iklim yang lebih dingin karena pembuluh darah di bawahnya dapat menyempit untuk mempertahankan panas. Sedangkan bintik-bintik yang lebih kecil bermanfaat dalam kondisi yang lebih panas karena bercak yang lebih besar dan lebih gelap cenderung menyerap lebih banyak panas matahari.
Menariknya, para peneliti pun menemukan, pola bintik memengaruhi kelangsungan hidup jerapah Masai jantan dewasa selama fluktuasi suhu ekstrem. Salah satu penyebabnya, jerapah betina lebih banyak diam dan cenderung berkelompok dengan anak-anaknya, sementara jerapah jantan menjelajahi wilayah yang lebih luas dan menghadapi kondisi lingkungan yang lebih beragam.
Peneliti anatomi dan fisiologi dari Universitas Melbourne, Ian G. Taylor dan timnya dalam studi yang diterbitkan di jurnal Plastic Reconstuctive Surgery pada 2023 mengungkapkan, setiap bercak pada jerapah memiliki arteri sentralnya sendiri yang tunggal dan unik.
Arteri utama pada jerapah bercabang menjadi saluran-saluran panjang yang menyebar seperti kipas, halus dan indah, untuk menyuplai seluruh permukaan bercak pada kulitnya. Menariknya, begitu mencapai batas bercak yang pucat, cabang-cabang ini terhubung melalui jalur pintas ke vena besar yang mengelilingi bercak tersebut, sekaligus berhubungan dengan arteri dari bercak-bercak di sekitarnya.
Struktur yang dikenal sebagai angiosom ini membuat darah panas dapat dialirkan dalam jumlah besar, baik langsung ke vena besar maupun ke bercak lain yang lebih dingin di dekatnya. Dalam istilah anatomi, angiosom adalah wilayah tubuh yang mendapatkan pasokan darah dari arteri utama tertentu dan dialirkan kembali melalui vena spesifik—meliputi jaringan kulit, lemak, otot, hingga tulang.
Taylor menjelaskan, anatomi pembuluh darah ini bekerja layaknya lampu lalu lintas: bisa “menyala” untuk melepaskan panas, atau “padam” untuk menahannya. Dengan begitu, panas dapat segera dialirkan ke paru-paru, tempat pembuangan panas yang paling efisien.
Mekanisme cerdas ini melindungi otot, organ, dan jaringan lain dari suhu siang hari yang ekstrem, sekaligus memungkinkan jerapah mengatur ulang aliran darah dengan efisiensi tinggi—sebuah keuntungan evolusi yang bisa menentukan antara hidup dan mati di habitat aslinya.
Pada malam hari, ketika suhu turun drastis, pembuluh penghubung menutup. Hal ini menjaga darah hangat tetap berada di sekitar organ dan otot penting, sehingga suhu tubuh jerapah tetap stabil.
Keterikatan sosial
Di samping itu, studi yang diterbitkan di Journal of Zoology pada 2022 menemukan, jerapah Masai membentuk ikatan sosial yang lebih kuat dengan jerapah yang pola bulunya mirip dengan mereka. Penelitian itu menyimpulkan, pola bulu merupakan isyarat visual yang membantu jerapah mengenali kerabatnya.
Pola bulu sendiri diturunkan dari induk ke anak-anaknya. Sebuah studi yang terbit di jurnal PeerJ pada 2018 mencoba mengukur kesamaan induk dan keturunan jerapah dari pola bulunya. Para peneliti menganalisis catatan 31 pasangan induk-anak jerapah liar serta 258 bayi jerapah yang baru lahir.
Pola bintik mereka diteliti berdasarkan 11 kategori, mulai dari jumlah, ukuran, bentuk, hingga warna. Analisis tidak hanya dilakukan secara visual, tetapi juga dengan bantuan perangkat lunak khusus dan alat statistik untuk memastikan ketepatannya.
Hasilnya, tim menemukan dua ciri yang konsisten diwariskan dari induk ke anak: kebulatan dan kekokohan bintik. Kebulatan menggambarkan seberapa dekat bentuk bintik dengan lingkaran sempurna, sementara kekokohan menunjukkan seberapa mulus dan utuh tepi bintik dibandingkan dengan tepi yang berlekuk, berkerut, atau tidak beraturan.
Temuan ini menunjukkan, pola bintik jerapah bukan sekadar corak acak, melainkan warisan genetik yang mungkin memberi keuntungan adaptif bagi kelangsungan hidup mereka di alam liar.
Selanjutnya, menurut penelitian yang diterbitkan pada 2017, pola bintik pada mamalia sering kali menandakan kesehatan dan status sosialnya secara keseluruhan, serta berperan dalam pemilihan pasangan.
“Hal ini mungkin berlaku untuk jerapah, meskipun belum dipelajari secara langsung,” kata ahli biologi satwa liar di Universitas Zurich, Monica Bond kepada Live Science.


