Serangkaian tiga studi menemukan, perempuan yang lebih rentan terhadap objektifikasi diri cenderung memiliki tingkat empati yang lebih rendah, baik dari sisi emosional (afektif) maupun pemahaman kognitif. Perempuan dalam kelompok ini juga lebih mungkin mengalami dehumanisasi diri, yakni perasaan melihat diri sendiri seperti bukan manusia sepenuhnya.
Menariknya, dehumanisasi diri juga terkait dengan menurunnya kemampuan teori pikiran—kemampuan untuk memahami kalau orang lain punya pikiran, perasaan, persepsi, dan tujuan masing-masing. Hasil temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Pscychology of Women Quarterly.
Objektifikasi diri adalah proses psikologis ketika seseorang, terutama perempuan, menilai dan memandang dirinya dirinya dari sudut pandang penampilan fisik, bukan dari kemampuan atau kualitas internal, terutama berdasarkan bagaimana tubuh mereka terlihat oleh orang lain. Perempuan yang punya pola pikir seperti ini cenderung terus-menerus memantau penampilan mereka—perilaku yang dikenal sebagai “pengawasan diri”.
Kebiasaan ini membuat perempuan sering membandingkan diri dengan standar kecantikan yang berlaku di masyarakat, yang sering kali tidak realistis, bahkan mustahil untuk dicapai. Akibatnya, objektifikasi diri sering memicu rasa malu terhadap tubuh karena individu menghakimi diri sendiri saat merasa gagal memenuhi standar tersebut.
Objektifikasi diri juga dapat menimbulkan kecemasan tentang bagaimana penampilan tubuh mereka dipersepsikan dalam situasi sosial. Seiring waktu, tekanan ini bisa berkembang menjadi gangguan makan dan depresi.
Selain itu, pengalaman seksual juga bisa terdampak. Individu yang cenderung mengobjektifikasi diri sering kali lebih fokus pada penampilan tubuh ketimbang sensasi atau kepuasan yang mereka rasakan, sehingga mengurangi kualitas pengalaman tersebut.
Perempuan dengan tingkat objektifikasi diri yang tinggi juga kerap merasa tertekan untuk selalu menyesuaikan diri dengan penilaian dan harapan orang lain. Tekanan ini dapat menurunkan harga diri sekaligus meningkatkan kerentanan terhadap depresi.
Proses ini tidak hanya terjadi pada tingkat psikologis, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti media massa, iklan, dan umpan balik dari lingkungan sekitar yang secara tidak langsung memperkuat perilaku objektifikasi diri.
Dikutip dari PsyPost, peneliti dari University of Modena and Reggio Emillia di Italia, Gian Antonio Di Bernardo dan tim penelitinya meriset apakah objektifikasi diri dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami emosi dan kondisi mental orang lain.
Mereka mengajukan hipotesis, perempuan yang rentan terhadap objektifikasi diri cenderung memiliki tingkat empati yang lebih rendah, kemampuan teori pikiran yang lebih lemah, serta kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami dehumanisasi diri.
Untuk menguji hipotesis ini, para peneliti melakukan tiga studi terpisah. Pada studi pertama, mereka menelti hubungan antara objektifikasi diri dan tingkat empati. Sebanyak 226 perempuan heteroseksual di Italia, dengan usia rata-rata 28 tahun menjadi partisipan.
Para peserta diminta mengisi survei daring, yang mengukur objektifikasi diri menggunakan skala keyakinan dan perilaku objektifikasi diri yang terdiri dari 14 pertanyaan, dehumanisasi diri, dan empati yang diukur lewat indeks reaktivitas interpersonal.
Studi kedua dilakukan dengan prosedur yang sama, tetapi menggunakan sampel baru yang terdiri dari 336 perempuan heteroseksual di Italia, dengan usia rata-rata 34 tahun. Studi ketiga juga melibatkan perempuan heteroseksual di Italia, tetapi ditambahkan pengukuran kemampuan teori pikiran mengunakan tes membaca pikiran dari tatapan mata.
Hasil dari studi pertama dan kedua menunjukkan, perempuan yang lebih rentan terhadap objektifikasi diri cenderung memiliki tingkat empati yang lebih rendah, baik empati kognitif (pengambilan perspektif) maupun empati afektif (perhatian empatik).
Selain itu, mereka juga menunjukkan tingkat dehumanisasi diri yang lebih tinggi. Analisis menggunakan model statistik mengungkapkan, objektifikasi diri dapat memicu dehumanisasi diri, yang kemudian berdampak pada penurunan empati.
Studi ketiga memperkuat temuan sebelumnya dan menunjukkan, perempuan dengan tingkat dehumanisasi diri yang lebih tinggi cenderung memiliki kemampuan teori pikiran yang sedikit lebih lemah. Meskipun teori pikiran tidak secara langsung berkaitan dengan objektifikasi diri, para peneliti berpendapat, keduanya mungkin terhubung secara tidak langsung melalui dehumanisasi diri.
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan, citra tubuh yang disfungsional dapat berdampak negatif, baik secara internal maupun eksternal. Dampak internal muncul dalam bentuk penolakan terhadap kemanusiaan diri sendiri, sementara dampak eksternal terlihat dari kesulitan memahami kondisi emosional dan mental orang lain.
“Hasil ini menegaskan pentingnya menantang objektifikasi diri dan mendorong persepsi diri yang lebih sehat serta autentik,” tulis para penulis studi, dikutip dari PsyPost.