Sebuah studi baru yang dipublikasikan di jurnal Psychophysiology mengungkap, orang yang merasa kesepian cenderung menilai kontribusi mereka dalam hubungan secara lebih negatif—terutama dalam hubungan keluarga. Menariknya, peneliti menemukan, fungsi jantung saat istirahat, khususnya variabilitas detak jantung frekuensi tinggi (high-frequency heart rate variability/HF-HRV), dapat sedikit meredam penilaian negatif ini. Hal ini mengisyaratkan adanya mekanisme fisiologis yang mungkin mendukung ketahanan sosial seseorang.
Kesepian sering disalahartikan sebagai sekadar sendirian. Padahal, kesepian adalah perasaan subjektif kalau hubungan sosial kita kurang memuaskan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sebaliknya, isolasi sosial adalah kondisi objektif ketika seseorang jarang berinteraksi dengan orang lain—yang bisa saja tidak menimbulkan rasa terganggu.
Kesepian berfungsi seperti alarm psikologis yang memberi sinyal adanya ancaman atau kehilangan hubungan sosial. Rasa ini biasanya meningkatkan kepekaan terhadap isyarat sosial, terutama tanda penolakan atau konflik. Pada sebagian orang, kepekaan ini dapat mendorong mereka untuk kembali menjalin koneksi. Namun pada yang lain, justru memicu penarikan diri dan memperdalam rasa terasing.
Walau kesepian sering dikaitkan dengan kesehatan mental dan fisik yang buruk, respons setiap orang bisa berbeda. Ada yang mampu menghadapinya tanpa terjebak stres berkepanjangan.
“Kesepian dan dukungan sosial biasanya dilihat dari apa yang kita terima dari orang lain. Namun kami penasaran, apakah ketika merasa kesepian, orang juga menilai dirinya kurang memberi perhatian pada hubungan yang mereka miliki?” ujar pengajar ilmu sosial di Universitas Chicago yang merupakan salah seorang peneliti dalam studi ini, Emily Kent, dikutip dari PsyPost.
Alih-alih fokus pada penilaian terhadap orang lain, penelitian ini menyoroti bagaimana individu menilai dirinya sendiri—apakah mereka suportif atau justru menimbulkan ketegangan dalam hubungan dekat. Peneliti juga ingin tahu apakah fleksibilitas fisiologis, yang tercermin dari HF-HRV, bisa memengaruhi cara pandang ini.
HF-HRV mengukur variasi waktu antar detak jantung yang diatur oleh sistem saraf parasimpatis, yang berperan membantu tubuh rileks dan menjaga keseimbangan. Variabilitas yang tinggi biasanya menandakan kemampuan lebih baik dalam beradaptasi secara emosional dan sosial. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa orang dengan HF-HRV lebih tinggi cenderung memiliki regulasi emosi yang baik, keterampilan sosial lebih kuat, dan daya tahan lebih tinggi terhadap stres.
Untuk penelitian ini, peneliti menganalisis data 824 peserta studi Midlife Development in the United States (MIDUS), proyek jangka panjang yang memantau kesehatan dan perkembangan psikologis orang dewasa Amerika. Peserta mengisi kuesioner tentang kesepian, menilai seberapa besar dukungan atau tekanan yang mereka berikan pada teman dan keluarga, serta menjalani pemeriksaan elektrokardiografi untuk mengukur HF-HRV saat istirahat.
Hasilnya, orang yang merasa lebih kesepian cenderung menilai dirinya memberikan dukungan lebih sedikit dan menimbulkan lebih banyak ketegangan, baik dalam hubungan pertemanan maupun keluarga. Menariknya, HF-HRV tampak berperan sebagai “penyangga” pada hubungan keluarga: pada orang dengan HF-HRV rendah, kaitan antara kesepian dan pandangan diri negatif lebih kuat; sementara pada mereka dengan HF-HRV tinggi, kaitan itu lebih lemah. Efek ini tidak terlihat pada hubungan pertemanan atau persepsi tentang seberapa besar dukungan yang diberikan.
“Kami terkejut HF-HRV hanya memengaruhi hubungan keluarga, bukan persahabatan. Ini mengisyaratkan bahwa ada dinamika unik dalam hubungan keluarga yang lebih sensitif terhadap proses regulasi internal kita,” ujar Kent.
Temuan ini menunjukkan, kesepian tak hanya memengaruhi cara kita melihat orang lain, tetapi juga cara kita melihat diri sendiri. HF-HRV mungkin menjadi salah satu faktor biologis yang membuat sebagian orang lebih mampu mengelola persepsi negatif terhadap diri, setidaknya dalam lingkup keluarga.
“Jika merasa kesepian, kita mungkin lebih cenderung melihat diri sebagai beban atau merasa tak punya banyak yang bisa ditawarkan. Terlepas dari benar atau tidaknya, pandangan negatif yang terus-menerus ini bisa memperkuat rasa terputus, memicu siklus isolasi yang semakin dalam,” ucap Kent.
Meski begitu, studi ini punya keterbatasan. Data yang digunakan bersifat cross-sectional, sehingga tidak bisa memastikan arah hubungan sebab-akibat. Selain itu, penelitian ini mengandalkan laporan diri, yang mungkin tidak sesuai dengan realitas objektif, tetapi tetap memengaruhi perilaku sosial seseorang. Efek HF-HRV yang ditemukan juga tergolong kecil dan spesifik pada hubungan keluarga, sehingga perlu penelitian lanjutan untuk memastikan konsistensinya.
Faktor usia dan budaya juga bisa berpengaruh, mengingat mayoritas sampel adalah orang dewasa paruh baya dan lansia di Amerika Serikat. Belum jelas apakah hasilnya akan sama pada generasi muda atau dalam budaya yang berbeda.