close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi hiu paus./Foto goo/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi hiu paus./Foto goo/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Satwa
Senin, 01 September 2025 09:19

Pariwisata mengancam kehidupan hiu paus

Dalam 75 tahun terakhir, populasinya menurun lebih dari 50% secara global dan 63% di kawasan Indo-Pasifik.
swipe

Melihat hiu paus (Rhincodon typus)—ikan terbesar di dunia—sering kali membuat siapa pun merasa takjub. Namun, hiu paus tengah berjuang bertahan hidup. Populasinya terus menyusut drastis. Raksasa laut itu masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) atau Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam.

Dalam 75 tahun terakhir, populasinya menurun lebih dari 50% secara global dan 63% di kawasan Indo-Pasifik. Sebab, hiu paus mencapai kematangan seksual setelah berusia sekitar 30 tahun, maka pemulihan populasinya berjalan sangat lambat. Masalah lainnya, hewan ini menghadapi ancaman serius, seperti perburuan sirip, daging, dan minyak, hingga hilangnya habitat.

Sebuah studi terbaru yang dilakukan tim peneliti dari Indonesia, Australia, dan Selandia Baru bertajuk “Insights into the population demographics and residency patterns of photo-identified whale sharks Rhincodon typus in the Bird’s Head Seascape, Indonesia” yang terbit di jurnal Frontiers in Marine Science mengungkap temuan mengkhawatirkan di Bentang Laut Kepala Burung, Papua Barat. Dari populasi hiu paus yang diteliti, sekitar 62% di antaranya memiliki bekas luka atau cedera akibat aktivitas manusia.

“Kami menemukan, sebagian besar luka timbul karena faktor antropogenik, misalnya tabrakan dengan bagan—anjungan penangkapan ikan tradisional dengan jaring angkat—atau dengan kapal wisata pengamatan hiu paus,” ujar Kepala Ilmuwan Konservasi di Elasmobranch Institute Indonesia sekaligus salah seorang penulis studi, Edy Setyawan, dikutip dari Science Daily.

Sebagian besar luka yang ditemukan berupa lecet ringan dan tak membahayakan. Namun, cedera serius akibat baling-baling kapal maupun faktor alami, seperti serangan predator, jauh lebih jarang terjadi.

Antara tahun 2010 hingga 2023, Edy bersama timnya meneliti hiu paus di berbagai wilayah Bentang Laut Kepala Burung, Papua Barat—mulai dari Teluk Cenderawasih, Kaimana, Raja Ampat, hingga Fakfak. Kawasan ini merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tropis dunia dan memiliki jaringan 26 kawasan konservasi laut yang melindungi berbagai megafauna, termasuk hiu paus.

Selama 13 tahun penelitian, tercatat 268 individu hiu paus unik dan hampir seluruhnya (98%) terpantau di Teluk Cenderawasih dan Kaimana. Menariknya, penampakan hiu paus hampir selalu terjadi di sekitar bagan—anjungan penangkapan ikan tradisional. Di sana, hiu-hiu raksasa ini kerap memakan ikan kecil.

Mayoritas hiu paus yang teramati adalah jantan remaja berukuran empat hingga lima meter. Dari 206 hiu paus yang diamati mengalami luka atau bekas cedera, lebih dari 80% cederanya disebabkan aktivitas manusia, mulai dari tabrakan dengan bagan hingga interaksi dengan kapal.

Sebanyak 58,3% juga menunjukkan luka akibat faktor alami, meski beberapa individu mengalami keduanya. Luka serius seperti laserasi dalam, amputasi, atau trauma tumpul akibat ulah manusia memang jarang (17,7%), tetapi abrasi ringan yang tidak mematikan justru sangat sering terjadi, biasanya karena gesekan dengan bagan atau perahu.

Temuan ini menegaskan, meski banyak luka tidak langsung mengancam jiwa, interaksi intensif dengan aktivitas manusia tetap memberi tekanan besar bagi populasi hiu paus di wilayah ini.

Tinggal di perairan dekat pantai membuat hiu paus memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai daya tarik ekowisata.

“Hiu paus di Teluk Cenderawasih dan Teluk Triton (Kaimana) memiliki tingkat residensi dan keterlihatan kembaliyang tinggi. Hal ini menunjukkan, mereka seharusnya dipandang sebagai aset pariwisaya yang sangat berharga bagi masyarakat dan pemerintah setempat,” ujar Direktur Konservasi Hiu di Re:wild sekaligus salah seorang penulis studi, Mark Erdmann.

Namun, karena sebagian besar penampakan hiu paus terjadi di sekitar bagan, sementara wisata pengamatan hiu paus terus berkembang, risiko cedera akibat jaring dan kapal kemungkinan besar akan meningkat di masa depan.

“Kami berencana bekerja sama dengan otoritas pengelola kawasan konservasi laut untuk menyusun aturan sederhana, misalnya mewajibkan modifikasi kecil pada bagan—seperti menghilangkan tepi tajam di cadik perahu dan rangka jaring. Kami yakin perubahan sederhana ini dapat sangat mengurangi dampak negatif terhadap hiu paus di kawasan tersebut,” kata Erdmann.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan