close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi patung moai./Foto LuisValiente/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi patung moai./Foto LuisValiente/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 15 Oktober 2025 13:11

Patung moai di Rapa Nui benar-benar bisa “berjalan”

Antropolog dari Binghamton University Carl Lipo dan dari University of Arizona Terry Hunt membuktikannya.
swipe

Selama bertahun-tahun, para peneliti bertanya-tanya, bagaimana masyarakat kuno Rapa Nui di Pulau Paskah—yang saat ini masuk dalam wilayah Chili—berhasil melakukan sesuatu yang tampaknya mustahil: memindahkan patung-patung moai raksasa mereka.

Moai adalah patung batu monolitik berbentuk manusia yang dibuat masyarakat Rapa Nui antara tahun 1250 hingga 1500. Hampir semua moai punya kepala yang sangat besar, sekitar tiga per delapan dari tinggi keseluruhan patung, dan tak memiliki kaki.

Dalam kepercayaan masayrakat Rapa Nui, moai melambangkan wajah hidup (aringa ora) dari leluhur yang didewakan (aringa ora ata tepuna). Patung moai tertinggi yang pernah didirikan punya tinggi hampir 10 meter dan berat sekitar 82 ton.

Walau tak punya kaki, beberapa peneliti yakin masyarakat kuno Rapa Nui punya cara cerdas membuat moai “berjalan”. Menurut antropolog dari Binghamton University Carl Lipo dan dari University of Arizona Terry Hunt, hal itu bukan sekadar legenda rakyat, tetapi pengetahuan berbasis fisika.

Temuan mereka yang dipublikasikan di Journal of Archaeological Science baru-baru ini. Hasil penelitian mereka memberikan alasan kuat untuk meragukan teori lama tentang ekosida—gagasan panduduk Rapa Nui menghancurkan lingkungannya sendiri.

Dalam riset itu, mereka berargumen masyarakat kuno di pulau terpencil tersebut tidak menebang pohon secara sembarangan untuk mengangkut patung moai menggunakan rol kayu, seperti yang sering digambarkan dalam teori populer. Ternyata, ada cara yang lebih efisien.

Dikutip dari Science Alert, selama berabad-abad penduduk asli Rapa Nui telah mewariskan lagu berirama yang menceritakan kisah para leluhur mereka—leluhur yang tahu cara membuat patung raksasa itu “berjalan”.

Para peneliti Barat selama ini menilai, kisah itu hanya mitos atau simbolis. Namun, pada 2012, Lipo dan Hunt bekerja sama dengan Gubernur Rapanui Sergio Rapu Haoa, untuk menguji kembali teori transportasi vertikal yang selama ini dianggap kontroversial.

Lipo dan Hunt membuat model 3D resolusi tinggi dari moai dan menemukan ciri desain khas: alas berbentuk D yang lebar dan condong ke depan. Desain ini ternyata membuat patung lebih mudah digerakkan dengan bergoyang dan berayun zig-zag. Menguji hipotesis tersebut, mereka membangun replika moai sebesar 4,35 ton dengan desain yang condong ke depan.

Pada 2012, replika moai itu digerakkan oleh 18 orang menggunakan tali, dan berhasil “berjalan” sejauh 100 meter dalam waktu hanya 40 menit. Dilansir dari situs Binghamton University, para peneliti berkesimpulan, masyarakat Rapa Nui kemungkinan besar menggunakan tali untuk menggerakkan moai secara zig-zag di sepanjang jalan ayng telah dirancang dengan cermat.

“Begitu patung mulai bergerak, ternyata tidak sulit sama sekali. Orang-orang bisa menariknya hanya dengan satu tangan. Cara ini hemat energi dan bergerak cukup cepat,” ujar Lipo dalam situs Binghamton University.

“Bagian tersulit hanyalah memulai ayunannya. Pertanyaannya, dengan ukuran sebesar itu, apakah yang kita lihat secara eksperimental sesuai dengan hukum fisika?”

Eksperimen ini jauh lebih efisien dibandingkan metode pengangkutan vertikal yang pernah dicoba sebelumnya.

“Fisikanya masuk akal,” kata Lipo. “Eksperimen kami benar-benar berhasil. Dan bahkan ketika ukuran patung diperbesar, mekanismenya tetap sama. Faktanya, semakin besar ukurannya, cara ini justru semakin logis.”

Temuan mereka juga didukung bukti arkeologis berupa jalan kuno di Rapa Nui. Jalan-jalan tersebut memiliki lebar sekitar 4,5 meter dan bentuk cekung, ideal untuk menjaga keseimbangan patung saat bergerak.

“Setiap kali mereka memindahkan patung, mereka sekaligus membangun jalan. Jalan itu adalah bagian dari proses pemindahan,” ujar Lipo.

“Kami melihat banyak jalur yang tumpang tindih dan paralel. Kemungkinan besar, mereka membersihkan sebagian jalan, memindahkan patungnya, lalu melanjutkan pembersihan dan pemindahan berikutnya secara berurutan. Jadi, mereka benar-benar menghabiskan waktu lama di setiap segmen jalan.”

Menurut Lipo, hingga kini belum ada penjelasan lain yang lebih masuk akal mengenai cara moai dipindahkan. “Silakan cari bukti yang menunjukkan bahwa patung-patung ini tidak bisa berjalan,” ucap Lipo.

Menurut Science Alert, penelitian genetik dan arkeologis pun menunjukkan, masyarakat asli pulau ini bukan penyebab kehancuran mereka sendiri. Sebaliknya, penurunan populasi mereka kemungkinan besar disebabkan perbudakan dan penyakit yang dibawa orang asing.

Dalam penelitian ini, Lipo dan Hunt juga menanggapi berbagai kritik, termasuk dari penulis buku Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005) Jared Diamond, yang mempopulerkan narasi tentang ekosida Rapa Nui.

“Argumen Diamond mengabaikan fisika gerakan pendulum terkendali serta bukti arkeologis,” tulis Lipo dan Hunt, dikutip dari Science Alert.

“Keteguhannya pada model transportasi horizontal dengan rol kayu tampaknya lebih mencerminkan komitmen terhadap narasi ‘keruntuhan’ ketimbang evaluasi ilmiah yang objektif.”

Lipo menambahkan, Rapa Nui selama ini sering menjadi bahan teori liar yang tak didukung bukti ilmiah. Karenanya, penelitian mereka menunjukkan pentingnya menguji hipotesis dengan data. Lebih dari sekadar memecahkan misteri arkeologi, penelitian Lipo dan Hunt menjadi bentuk penghormatan bagi masyarakat Rapa Nui.

“Penelitian ini menunjukkan betapa cerdasnya mereka,” ujar Lipo dalam situs Binghamton University.

“Dengan sumber daya yang terbatas, mereka mampu mencapai prestasi teknik luar biasa. Ini adalah bukti bahwa kita bisa belajar banyak dari kreativitas dan kecerdikan mereka.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan