sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perilaku stalking di media sosial, gangguan jiwa?

Stalking adalah perilaku mencari informasi, sesuai kebutuhan dengan memanfaatkan apa yang telah ada di depan mata.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Rabu, 30 Jan 2019 21:05 WIB
 Perilaku stalking di media sosial, gangguan jiwa?

Dewi Anzanny mengaku, dirinya kerap melakukan aktivitas stalking (menguntit) di media sosial. Biasanya, dia stalking di Instagram. Banyak hal yang di-stalking. Mulai dari tren dan informasi teranyar para pesohor, hingga kekasih baru mantannya.

“Aku stalking karena penasaran,” kata Dewi, saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Rabu (30/1).

Selain itu, cukup luangnya waktu membuat dia terdorong melakukan stalking. Dia mengaku, pernah ketahuan ketika stalking kekasih baru mantan pacarnya. Jari Dewi tak sengaja mengetuk tombol suka di salah satu foto kekasih baru mantannya itu.

Risih karena di-stalking

Sama seperti Dewi, Tuhfatul Maula juga suka melakukan stalking. Tuhfa, panggilan akrabnya, punya pengalaman tak menyenangkan dengan perilaku stalking.

Dia pernah melakukan stalking kepada salah seorang laki-laki yang ditaksirnya. Namun, dia menyadari, semakin sering melakukan stalking, peluang dekat dengan laki-laki tersebut pupus.

Anak muda kerap melakukan aktivitas stalking, terutama terkait asmara. (Pexels.com).

Tuhfa sendiri juga pernah menjadi korban stalking. Gebetan mantan pacarnya pernah men-stalking-nya dengan membuat akun palsu. Dia mengaku, akun Instagramnya diikuti oleh beberapa akun palsu yang tujuannya hanya untuk stalking.

“Pernah Instagramku privasinya aku buka. Di situ ada beberapa akun yang cuma ngelihat Instagram stories-ku, tapi enggak follow akunku,” kata perempuan asal Sidoarjo tersebut.

Selain itu, Tuhfa juga pernah menerima pesan berantai di Instagram. Di lingkaran pertemanan Tuhfa, bisa dikatakan perilaku stalking dengan akun palsu tersebut sedang menjadi tren. Dia menemukan sudah ada tiga orang temannya yang membuat akun palsu hanya untuk stalking.

“Ya menurutku buat apa sih stalking itu,” katanya.

Selain aktif di Instagram, Tuhfa juga aktif di Twitter. Dia tak masalah jika akun Instagramnya di-stalking orang lain. Namun, hal itu tak berlaku untuk akun Twitternya.

Menurutnya, menulis sesuatu di Twitter harus lebih berhati-hati, karena bisa menjadi jejak digital yang akan menyulitkan di kemudian hari.

“Kalau Twitterku di-stalking baru aku risih, karena di Twitter kan keliatan pemikiran orang itu bagaimana. Harus lebih jaga omongan juga, soalnya kalau jejak digitalnya jelek, nanti bisa pengaruh kalau melamar kerja,” ujarnya.

Bukan gangguan

Psikolog klinis Melly Puspita Sari menilai, kegiatan stalking yang sering dilakukan anak muda saat ini merupakan hal yang wajar sejak ada media sosial. Menurutnya, stalking adalah perilaku mencari informasi, sesuai kebutuhan dengan memanfaatkan apa yang telah ada di depan mata.

“Media sosial itu ibaratnya seperti alun-alun sekarang. Kita berteriak di tengah alun-alun, semua orang bisa mendengar. Yang perlu diwaspadai, akan ada orang yang berperilaku tidak baik kepada kita di media sosial,” kata Melly saat dihubungi, Rabu (30/1).

Untuk mendiagnosis stalking sebagai gangguan, Melly mengatakan, harus ada dasar gangguan klinisnya. Ada banyak faktor dan alat ukur yang mesti digunakan untuk mendiagnosis apakah perilaku stalking sudah masuk ke dalam tahap gangguan.

Stalking, lanjut Melly, akan menjadi sebuah gangguan jika pelaku telah menunjukkan gejala perilaku yang berbeda, atau pelaku stalking terlihat paranoid.

Sementara, korban stalking sendiri bisa merasakan hal-hal seperti ketidaknyamanan, cemas, dan terganggu dengan aksi stalker. Bila sudah demikian, Melly mengatakan, hal itu bisa didiskusikan dengan psikolog.

“Kalau korbannya enggak berani ngomong ke pelaku, misalnya ‘stop stalking saya’, itu bisa diubah dengan perilaku asertif. Perilaku asertif itu nantinya memunculkan perilaku baru untuk membuat keputusan yang bisa membantu korban,” kata Melly.

Melly mengatakan, pelaku stalking bisa diajak bicara untuk menghentikan perbuatannya.

“Tapi usahakan didampingi juga oleh orang lain, bertemunya bertiga agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Kalau konteksnya pelaku stalking adalah mantan pacar, jangan ajak pacar baru, nanti bisa ribut,” ujar Melly.

Banyaknya waktu yang luang mendorong orang stalking di media sosial. (Pexels.com).

Mengatasi stalker

Untuk menghindari stalker, Melly menyarankan agar tak membagikan lokasi kita berada di media sosial. “Saya tak sarankan di media sosial untuk berbagi lokasi demi keamanan,” katanya.

Di sisi lain, dalam tulisannya berjudul “Stop the trolls: How to prevent cyber stalking happening to you?” yang terbit pada 12 September 2012 di The Conversation, Lektor Kepala Universitas Melbourne, Australia, Rosemary Purcell menyebut, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi stalker di media sosial.

Pertama kali yang bisa dilakukan, menurut Purcell, yakni meningkatkan kewaspadaan tentang aturan privasi di media sosial.

“Seringkali, ini bukan proses yang cepat. Ambil contoh di Facebook, kita harus mencentang ratusan kombinasi pengaturan privasi,” tulis Purcell.

Lalu, hal kedua yang bisa dilakukan, yakni menonaktifkan setting lokasi di telepon pintar. Ketiga, tulis Purcell, bisa menahan keinginan untuk terus menerus check-in (update status di media sosial), karena hal ini bisa memberikan petunjuk pada kebiasaan sehari-hari kita. Langkah selanjutnya, lakukan menelusuran nama sendiri di mesin pencarian Google.

Di-stalking terkadang membuat seseorang merasa terganggu.

“Jika menemukan informasi yang menurut Anda privat terpublikasi, kontak admin website tersebut, dan mintalah mereka untuk menghapus detail tersebut,” kata Purcell.

Hal terakhir yang mesti dilakukan, tulis Purcell, meminta teman, keluarga, atau kenalan untuk tidak mempublikasikan informasi apapun yang menurut kita itu personal dan privat.

“Termasuk detail kontak Anda atau foto,” tulis Purcell.

Berita Lainnya
×
tekid