sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Poligami, syariat atau mudarat?

Poligami dipandang sebagai syariat bagi laki-laki muslim. Namun, ada sejumlah masalah untuk memilih beristri lebih dari satu.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Rabu, 19 Sep 2018 17:02 WIB
Poligami, syariat atau mudarat?

Cita-cita Arif Abu Khalif kini sudah tercapai. Di usianya yang 34 tahun, Arif telah memiliki dua istri, sebuah cita-cita yang dia impikan sejak duduk di bangku kelas 2 SMA. Arif mengatakan, poligami merupakan syariat yang harus dijalankan seorang laki-laki muslim.

Arif merupakan Direktur Dauroh Poligami Indonesia. Di dalam situs resminya disebutkan, Dauroh Poligami Indonesia adalah sebuah lembaga nonformal, yang dibentuk sejumlah aktivis Islam dan praktisi poligami.

Lembaga ini kerap menggelar acara seminar, baik secara offline maupun online, yang bertujuan “mengedukasi” pernikahan dengan landasan poligami Islam.

Bila ingin ikut menjadi peserta seminar, harus merogoh kocek dari Rp2,9 juta hingga Rp5 juta. Dauroh Poligami Indonesia mengaku akan memfasilitasi semua anggotanya untuk ikut taaruf, baik online maupun offline.

Arif menikah muda. Di usianya yang baru 21 tahun, dia menikahi Nur. Dengan sabar, dia memberikan pengertian serta meyakinkan Nur untuk mengizinkannya berpoligami.

“Awalnya menolak. Tapi, saya memberikan pemahaman terus,” kata Arif, ketika saya hubungi beberapa waktu lalu.

Singkat cerita, setelah 10 tahun membina rumah tangga bersama Nur, Arif menikahi istri keduanya, Ana, pada 2016 lalu. Ketika dinikahi Arif, Ana sudah berstatus janda, beranak dua. Ana telah cerai dengan suami terdahulunya, dan berkenalan dengan Arif, dua minggu sebelum mereka naik ke pelaminan.

“Saya berpoligami karena memang niat,” ujar Arif.

Sponsored

Polemik poligami

Pada 2006 lalu, pendakwah kondang Abdullah Gymnastiar, atau akrab disapa Aa Gym, sempat membuat heboh. Ketika itu, Aa Gym menikahi seorang janda cantik Alfarini Eridani, atau Teh Rini. Dia berpoligami, setelah lama membina rumah tangga dengan Ninih Muthmainnah, atau dikenal dengan Teh Ninih.

Polemik poligami itu berimbas terhadap bisnis Aa Gym. Pondok pesantrennya berangsur sepi, dan bisnis air mineralnya turun omset.

Bila dirunut lebih ke belakang, perbincangan hangat menyoal poligami tokoh publik sudah ada pada 1999. Saat itu, akhir 1999, pengusaha kuliner Puspo Wardoyo menikahi Intan Ratih, yang dijadikannya istri keempat.

Puspo merupakan pemilik jaringan restoran ayam bakar Wong Solo. Menurut Guru Besar kajian gender dan studi Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Nina Nurmila dalam bukunya Women, Islam, and Everyday Life (2009), pada 2003 Puspo kembali membuat heboh. Dia menjadi penyandang dana Polygamy Award, sebuah penghargaan bagi laki-laki yang beristri banyak.

Sentimen antipoligami lalu berhembus kencang. Berangsur, bisnis rumah makannya—yang sudah mencapai 30 cabang di berbagai kota—sepi. Bahkan banyak yang tutup. Kala itu, istri Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Sinta Nuriyah Wahid, jadi motor antipoligami yang dilakukan Puspo.

Pengalaman dijadikan bahan omongan orang pun sering menimpa Arif. Dia mengatakan, ada orang yang bisa menerima keputusannya berpoligami, namun tak sedikit pula yang risih.

“Ibu-ibu tetangga juga ada yang melarang suaminya berteman dengan saya, katanya takut ikut-ikutan. Takut istri,” kata Arif, yang kerap menjadi pembicara dalam seminar menyoal poligami.

Kelompok minoritas yang aneh

Dari pengakuannya, istri kedua Arif, Ana mengatakan, dirinya mengenal poligami sejak masih mengenyam pendidikan di pesantren, bilangan Bekasi. Namun, materi mengenai poligami yang dia dapatkan dari pesantren itu hanya sepintas lalu.

Pengetahuan mengenai poligami kemudian dia dapatkan lebih banyak, setelah menamatkan kuliahnya dari sebuah perguruan tinggi di daerah Pondok Gede. Ketika itu, dia bekerja sebagai guru TK di daerah Jakarta Timur. Kebetulan, TK tempatnya mengajar milik seorang praktisi poligami.

“Setiap Senin guru-guru berkumpul, diskusi, dan diberi pemahaman soal poligami dari pemilik TK,” kata Ana.

Di sisi lain, Nina Nurmila memandang, gerakan poligami di Indonesia lebih sebagai kelompok minoritas yang aneh. Mereka, kata Nina, sesungguhnya memiliki keraguan dalam diri sendiri.

Tak hanya itu. Nina bahkan memandang, gerakan poligami sebagai gerakan sempalan kecil. Dia berpendapat, tak banyak masyarakat yang mendukung gerakan poligami tersebut.

Pandangan Nina itu didasarkan pada hasil survei Alvara Research Centre tahun 2017. Hasil survei, kata Nina, menyebutkan 69,8% umat Islam di Indonesia masih memandang poligami sebagai tindakan yang salah secara moral.

Di Malaysia, ada sebuah komunitas poligami yang memiliki cukup banyak anggota. Namanya Global Ikhwan Polygamy. Nina pun menuturkan kepada saya, gerakan Global Ikhwan Polygamy yang berasal dari Malaysia itu, justru digagas oleh orang Indonesia.

“Gerakan itu sebenarnya isinya orang-orang Indonesia juga,” kata Nina. Klub poligami Global Ikhwan sendiri berdiri pada 2007 lalu.

Sepotong-sepotong

Kepada dua istrinya, Arif memberikan pemahaman bila dirinya bukanlah milik salah satu atau kedua istrinya itu.

“Saya adalah milik Allah,” kata Arif, mantap.

Arif menerangkan kepada saya, ada dua jenis poligami. Pertama, poligami lantaran memang niat. Kedua, poligami karena kecelakaan, ketahuan selingkuh. Arif mengingatkan, poligami yang didasari hanya ingin memuaskan hawa nafsu harus dihindari laki-laki.

Sebuah “teori” dikemukakan Arif. Menurutnya, populasi perempuan sudah sangat jauh melebihi laki-laki. Hal itu menjadi pembenarannya untuk melakukan poligami.

“Perempuan dan laki-laki sekarang sudah berbanding lima puluh banding satu,” katanya.

Sementara itu, dosen tafsir dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran Nur Rofiah memandang, tafsiran surat An-Nisa ayat 3 kerap dijadikan dasar pembenaran untuk berpoligami. Namun, justru ayat tersebut sebenarnya menganjurkan monogami.

“Jika surat An-Nisa ayat 3 dianggap menganjurkan pernikahan poligami, maka sesungguhnya surat An-Nisa ayat 129 mempertegas bahwa poligami akan sangat sulit dilakukan, sekalipun kita sebagai manusia ingin berlaku adil,” kata Rofiah dalam laman Jurnal Perempuan edisi 31 Mei 2017.

Dalam pernyataannya di situs itu, Rofiah mengatakan, surat An-Nisa ayat 3 sering dipotong begitu saja. Padahal, menurutnya, surat An-Nisa ayat 3 adalah kelanjutan dari An-Nisa ayat 2, yang berbicara mengenai perempuan yatim dan berdosanya kita bila memakan harta mereka. Sehingga, lebih baik dinikahkan saja perempuan yatim itu.

Menurut Rofiah dalam artikel itu, konteks saat ayat diturunkan, perilaku monogami dalam pernikahan di Arab saat itu merupakan sesuatu yang tak lazim. Lalu, saat An-Nisa ayat 3 turun, maka konteks ayat tersebut adalah alat untuk menyesuaikan tradisi Arab yang sudah terbiasa dengan praktik poligami.

Nina Nurmila pun membenarkan, bila banyak orang membaca surat dalam Alquran sepotong-sepotong. Sehingga, maknanya tak dapat. Menurutnya, Alquran jarang dibaca hingga perintah monogami.

“Saya membaca Alquran tidak sepotong-sepotong,” ujar Nina.

Satu saja repot

Istri kedua Arif, Ana, diminta menjadi pendamping Arif bukan hanya oleh suaminya itu. Namun, dia juga diminta istri pertama Arif, Nur.

“Kakak madu (Nur, istri pertama Arif) yang meminta saya untuk menikahi mas Arif,” kata Ana kepada saya.

Ana mengaku, dia belajar mandiri dari pernikahan poligami ini. Sebab, menurutnya, dirinya sering ditinggal suami.

“Rasa rindu juga sering muncul, yang bikin semakin sayang,” kata dia.

Ana menampik soal pemahaman di masyarakat selama ini, yang menganggap dengan berpoligami akan menjamin masuk surga. Menurutnya, konteks tersebut harus dilihat terlebih dahulu niatnya.

Dalam sejumlah kasus yang dia temukan, banyak yang siap dimadu, karena laki-lakinya kaya. Akhirnya, poligami tak berjalan lama.

Saya sempat menanyakan soal hukum poligami kepada Nina Nurmila. Menurutnya, hukum poligami ada yang membolehkan, ada juga yang mengharamkan. Nina sendiri termasuk yang mengharamkan.

Menurut Nina, poligami tidak hanya merugikan kaum perempuan. Laki-laki pun dirugikan, karena mereka wajib menafkahi lebih dari satu istri dan anak-anaknya.

“Untuk menafkahi satu keluarga saja sudah repot.”

Berita Lainnya
×
tekid