sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perang pro-Palestina vs pro-Israel dan kampanye politik di media sosial

Perang antara militan Palestina, Hamas, dengan Israel masuk ke ranah media sosial. Dukung-mendukung dan penyensoran terjadi.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Senin, 06 Nov 2023 09:51 WIB
Perang pro-Palestina vs pro-Israel dan kampanye politik di media sosial

Perang Hamas-Israel, yang telah menimbulkan korban sipil tak berdosa di Gaza, Palestina—9.488 orang tewas per 5 November 2023—disebut-sebut sudah mengarah ke genosida oleh Israel. Mulanya, militan Palestina, Hamas, menyerang Israel lewat darat, laut, dan udara pada 7 Oktober 2023. Setidaknya, lebih dari 1.000 warga Israel tewas dalam serangan tersebut, dan 200 orang diculik.

Konflik bersenjata itu pun memunculkan pandangan pengguna media sosial yang terbelah. Emma Goldberg dan Sapna Maheshwari dalam New York Times, 2 November 2023 menulis, banyak orang di Amerika Serikat melihat pentingnya unggahan di media sosial tentang perang. Hal itu menandakan dukungan bagi komunitas yang dirugikan.

Akan tetapi, Goldberg dan Maheshwari mengakui, konflik Israel-Palestina adalah isu yang sangat pelik dan bisa memecah belah ketika dibahas di media sosial. “Terutama bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan tentang wilayah tersebut atau sejarahnya,” tulis Goldberg dan Maheshwari.

Bagi sebagian orang di Amerika Serikat, tulis Goldberg dan Maheshwari, menganggap kompleksitas dan skala konfik hampir mustahil disaring dalam unggahan di Instagram dan X (dahulu Twitter).

Mereka sadar unggahannya punya konsekuensi, termasuk serangan pribadi. Beberapa orang yang sudah mengemukakan pendapatnya soal perang secara terang-terangan, terutama yang mendukung Palestina, sebut Goldberg dan Maheshwari, berhadapan dengan segala risiko.

“Editor Artforum dipecat setelah staf majalah tersebut menerbitkan surat terbuka yang mendukung kemerdekaan Palestina,” kata Goldberg dan Maheshwari.

Lantas, sebenarnya siapa paling banyak dapat dukungan di media sosial dalam perang yang hampir sebulan ini? Palestina atau Israel?

The Economist, bekerja sama dengan DMR—sebuah perusahaan teknologi artificial intelligence (AI) yang berbasis di London, Inggris—mengumpulkan 1 juta unggahan dari Instagram, X, dan YouTube sejak 7-23 Oktober 2023. Data berupa tanda pagar dengan kata pro-Israel dan pro-Palestina dalam bahasa Inggris, atau membalas unggahan semacam itu. DMR lalu membuat permodelan mesin untuk mengklasifikasikan unggahan mendukung satu pihak, pihak lainnya, atau netral.

Sponsored

“DMR menemukan perubahan tajam (dukungan) terhadap Israel seiring berjalannya waktu. Pada 7 Oktober, dua belah pihak (Palestina dan Israel) mendapat dukungan yang nyaris sama. Pada 19 Oktober, unggahan pro-Palestina 3,9 kali lebih besar dibandingkan unggahan pro-Israel,” tulis The Economist, 2 November 2023.

Rinciannya, di Instagram yang pro-Palestina sebesar 48%, sedangkan pro-Israel 31%. Sebanyak 22% netral. Di X, yang pro-Palestina 33%, pro-Israel hanya 17%, sisanya 51% netral. Di YouTube pro-Palestina 11%, pro-Israel 7%, dan 82% netral. Sedangkan di media sosial lainnya, pro-Palestina 16%, pro-Israel 13%, dan 72% netral.

The Economist menyebut, penyebab perubahan yang signifikan itu adalah usia. Menurut The Economist, pengguna media sosial cenderung berusia muda. Pandangan mereka sangat pro-Palestina.

“Selain itu, sampel DMR tak mencakup Facebook, yang mungkin merupakan platform paling pro-Israel karena penggunanya yang lebih tua,” tulis The Economist.

Penyensoran dan kampanye politik

Seorang pria membawa bendera Palestina di tengah gempuran. ./Foto Hosny Salah/Pixabay.com

Di balik dukung-mendukung, ada hal lain yang lebih berbahaya, yakni praktik sensor atau shadowbanning—kondisi saat akun atau unggahan disembunyikan platform media sosial.

Seorang sineas dan aktivis asal Belgia, Thomas Maddens, pada Oktober 2023 melihat sesuatu yang aneh di akun TikTok-nya. Sebuah video yang ia unggah dengan kata genosida tiba-tiba berhenti mendapat interaksi, usai mulanya mendapat lonjakan tajam. Ia menduga, media sosial itu sengaja mengurangi jangkauan konten tentang pro-Palestina.

Dikutip dari tulisan Priyanka Shankar, Pranav Dixit, dan Usaid Siddiqui di Al Jazeera, 24 Oktober 2023, Maddens merupakan salah satu dari ratusan pengguna media sosial yang menuduh TikTok, Facebook, Instagram, X, dan YouTube melakukan sensor atau mengurangi jangkauan pro-Palestina.

“Penulis, aktivis, jurnalis, pembuat film, dan pengguna biasa di seluruh dunia telah mengatakan, unggahan yang berisi tanda pagar, seperti ‘FreePalestine’ dan “IStandWithPalestine’ disembunyikan platform-platform tersebut,” tulis Shankar, Dixit, dan Siddiqui di Al Jazeera.

Pihak platform media sosial buru-buru klarifikasi. Menurut Shankar, Dixit, dan Siddiqui, dalam unggahannya di X pada 15 Oktober lalu, juru bicara Meta, Andy Stone menyatakan berkurangnya jangkauan unggahan karena adanya bug.

BBC melaporkan, pihak Meta juga meminta maaf karena menambahkan kata teroris ke akun pro-Palestina, dengan beralasan ada masalah terkait terjemahan bahasa Arab yang tak tepat. Seorang juru bicara TikTok mengatakan kepada Al Jazeera kalau mereka tak memoderasi atau menghapus konten berdasarkan sensitivitas politik, tetapi menghapus konten yang melanggar pedoman komunitas.

Sementara juru bicara YouTube mengatakan kepada Al Jazeera kalau sistem perusahaannya memprioritaskan pemirsanya dengan berita dan informasi berkualitas tinggi dari sumber resmi.

Namun, tampaknya platform media sosial punya standar ganda. Dikutip dari tulisan Liv Martin, Clothilde Goujard, dan Hailey Fuchs di Politico, 17 Oktober 2023, sejak Hamas menyerang Israel dan menyebabkan ribuan warga tewas, pemerintah Israel telah memulai kampanye media sosial di negara-negara Barat. Tujuannya, menggalang dukungan bagi respons militer terhadap Hamas.

“Bagian dari strateginya, mendorong lusinan konten yang berisi gambaran brutal dan emosional dari kekerasan militan yang mematikan di Israel di semua platform, seperti X dan YouTube,” tulis Politico.

Martin, Goujard, dan Fuchs menulis, upaya Israel untuk memenangkan perang informasi online adalah bagian dari tren yang tengah berkembang, saat di seluruh dunia bergerak agresif lewat media sosial untuk membentuk citra mereka.

Dalam waktu sepekan usai serangan Hamas, sebut Politico, Kementerian Luar Negeri Israel sudah menyebar 30 konten yang dilihat lebih dari 4 juta kali di X. Konten itu menggambarkan Hamas sebagai kelompok teroris yang kejam, mirip dengan ISIS. Menunjukkan jenis kekejamanya, termasuk gambar mengerikan, semisal seorang perempuan telanjang tak bernyawa di dalam truk pickup.

“Video berbayar lainnya yang diunggah ke X, dengan teks bergantian antara ISIS dan Hamas, menampilkan gambar-gambar yang mengganggu, yang lambat laun semakin cepat hingga nama kedua organisasi itu menyatu,” tulis Politico.

Di YouTube, Kementerian Luar Negeri Israel merilis lebih dari 75 konten berbeda, yang ditujukan kepada pemirsa di Prancis, Jerman, Amerika Serikat, dan Inggris.

Saat Israel meningkatkan perang secara daring, serangan udara mereka meluluhlantakan jaringan infrastruktur telekomunikasi Gaza. Jutaan orang terjebak dalam pemadaman total jaringan telekomunikasi.

“Sulit membayangkan upaya balasan yang kuat dari kelompok pro-Palestina, menggunakan media sosial yang sama,” kata peneliti senior di Atlantic Council, Emerson Brooking kepada Politico.

Bagaimanapun, menurut penulis bidang teknologi Charlie Warzel di The Atlantic, 12 Oktober 2023, kalau konflik-konflik tadi merupakan sebuah lensa yang bisa digunakan untuk memahami lingkungan informasi, maka saat ini lingkungan informasi kita telah rusak. Hal itu, kata Warzel, tergantung pada infrastruktur media sosial yang tak dikelola dengan baik dan dipimpin miliarder yang sudah menyerah pada premis bahwa platform mereka harus memberi informasi kepada pengguna.

Terlepas dari itu, manajer advokasi hak-hak digital warga sipil Palestina dan Arab dari 7amleh, Jalal Abukhater kepada Al Jazeera mengingatkan, penyensoran terhadap konten pro-Palestina dapat menghalangi warga Palestina untuk membangun konteks seputar peristiwa yang memengaruhi kehidupan mereka sekarang.

“Menjaga aliran informasi yang stabil menuju dan dari Palestina sangatlah penting untuk menyelamatkan nyawa dan mengurangi dampak sensor terhadap hak asasi manusia,” kata Abukhater.

Warzel pun memandang, media sosial bukan sekadar vektor informasi. “Ini adalah tempat untuk memberikan kesaksian, mengekspresikan solidaritas, dan memperjuangkan perubahan,” tulisnya di The Atlantic.

Berita Lainnya
×
tekid