close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi siput./Foto  Alexas_Fotos/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi siput./Foto Alexas_Fotos/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Satwa
Jumat, 29 Agustus 2025 17:07

Satwa apa yang paling lambat di dunia?

Siput, kura-kura, atau kukang?
swipe

Elang Peregrine atau alap-alap kawah yang bisa terbang lebih dari 320 kilometer per jam saat menukik adalah hewan tercepat di dunia. Di darat, citah adalah hewan tercepat yang mampu mencapai kecepatan lari sekitar 104 hingga 130 kilometer per jam untuk jarak pendek. Sedangkan black marlin dan ikan layar dikenal sebagai perenang tercepat di laut.

Dalam dunia hewan, ada pula yang hampir tak terlihat gerakannya karena begitu lambat. Di laut ada anemon laut, yang bisa merayap hanya sekitar 10 hingga 25 sentimeter per jam—setara dengan 0,00006 hingga 0,00015 mil per jam—biasanya hanya ketika sedang mencari tempat tinggal baru. Di luar itu, ia lebih banyak diam di tempat.

Kuda laut kerdil (Hippocampus zosterae) juga termasuk perenang paling lambat di dunia. “Jika Anda memaksanya bergerak, dia hanya akan menempuh jarak sekitar satu setengah meter atau lima kaki dalam waktu satu jam,” ujar kurator senior ikan di Natural History Museum di London kepada Live Science.

Di kedalaman laut dingin, ada hiu Greenland (Somniosus microcephalus). Hewan yang bisa tumbuh hingga 7,3 meter ini bergerak dengan kecepatan tak lebih dari 3 kilometer per jam. Di darat, hewan paling lambat adalah siput pisang. Binatang kecil ini hanya bisa bergerak sekitar 0,0096 kilometer per jam.

“Kecepatan yang begitu santai, sehingga hampir tak terasa,” kata kurator senior moluska di Natural History Museum London, Jon Ablett kepada Live Science.

Ablett mengatakan, sulit memang memastikan kecepatan pasti hewan. Namun, moluska termasuk jenis yang paling lambat. “Beberapa moluska bahkan tidak bergerak sama sekali saat dewasa, sementara sebagian bivalvia tetap diam di tempatnya,” tutur Ablett.

Meski begitu, ada variasi kecepatan di dalam kelompok moluska. Siput taman (Cornu aspersum), misalnya, bisa meluncur hingga 0,048 kilometer per jam—terbilang “cepat” untuk standar siput. Hewan lambat lainnya di darat adalah kura-kura raksasa Galapagos (Chelonoidis niger). Reptil ini hanya berjalan dengan kecepatan sekitar 0,26 kilometer per jam.

Di pepohonan tropis, kukang (Nycticebus) bergerak dengan kecepatan hanya sekitar 1,8 kilometer per jam. Gerakannya yang lambat bukan sekadar keterbatasan, melainkan strategi bertahan hidup agar tidak mudah terdeteksi predator.

Selain melihat kecepatannya, cara lain untuk menilai hewan paling lambat di dunia adalah dengan memperhitungkan ukuran tubuh. Misalnya, manusia memang bisa berlari jauh lebih cepat daripada semut jika dihitung per detik. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan ukuran tubuhnya, semut justru menempuh jarak relatif jauh lebih cepat daripada manusia.

Faktor lain yang juga penting adalah rentang kecepatan. Profesor biologi perairan dan akuakultur berkelanjutan di Universitas Swansea, Rory Wilson mengatakan, banyak hewan punya kecepatan “cadangan”. Beberapa jenis ular misalnya, mungkin terlihat merayap sangat pelan, tetapi bisa tiba-tiba melesat cepat untuk menyergap mangsa.

Dengan mempertimbangkan segala hal ini, Wilson berpendapat, tak ada pesaing yang mampu menandingi kukang berjari tiga (Bradypus) sebagai hewan paling lambat di dunia.

“Dari sudut pandang seseorang yang mempelajari pergerakan hewan secara luas—bukan hanya berpindah dari satu pohon ke pohon lain, tetapi juga bagaimana mereka bereaksi terhadap rangsangan—kukang benar-benar mengejutkan lambatnya,” ujar Wilson kepada Live Science.

Secara teori, kukang bisa mencapai kecepatan sekitar 1,6 kilometer per jam. Namun, gerakan mereka biasanya jauh lebih lambat—sering kali hanya puluhan meter dalam sehari. “Ketika saya pertama kali melihat kukang liar, saya tak percaya betapa lambatnya mereka. Semua gerakannya seperti sedang melakukan tai chi,” tutur Wilson.

Gerakan kukang yang lambat juga erat kaitannya dengan metabolisme mereka yang sangat pelan. Dengan metabolisme rendah, mereka bisa bertahan hanya dengan dedaunan yang miskin energi. Proses pencernaannya berlangsung berhari-hari, dan mereka bahkan hanya turun dari pohon sekitar sekali seminggu, semata-mata untuk buang air besar.

“Pertanyaannya, mengapa mereka selambat itu? Jawabannya sederhana. Kecepatan butuh tenaga, dan tenaga butuh energi. Dengan hidup ‘di jalur lambat’, kukang berhasil menghindari kebutuhan energi besar itu,” ucap Wilson.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan