sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kenali sebab terjadinya gangguan kepribadian ganda

Kepribadian ganda bisa muncul karena ada trauma hebat sejak kecil atau mengalami kekerasan emosional.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Selasa, 03 Sep 2019 10:46 WIB
Kenali sebab terjadinya gangguan kepribadian ganda

Alkisah tiga remaja perempuan di Amerika Serikat (AS) sedang melakukan perjalanan bersama. Dalam perjalanan tersebut mereka bertemu dengan lelaki asing bernama Kevin yang tiba-tiba membius dan menculik mereka. 

Tiga remaja tersebut disekap oleh Kevin berusaha melarikan diri. Sayang, usaha mereka sia-sia. Berkali-kali mencoba kabur, Kevin selalu berhasil menangkap mereka. 

Rupanya, Kevin bukan pria biasa. Ia memiliki 23 kepribadian yang kerap memunculkan watak berbeda. Dari antara kepribadiannya tersebut, tingkat bahayanya disebut seperti monseter. Meski terkadang, Kevin juga memunculkan sifat penyayang seperti seorang teman yang mau mendengar. 

Cerita di atas adalah kisah di film Split yang sempat booming pada tahun 2017. Alur cerita yang tegang tercipta dari akting dari James McAvoy yang berperan sebagai Kevin dengan 23 kepribadian ganda. 

Film tersebut sukses karena kisahnya dianggap dekat dengan kehidupan masyarakat modern saat ini. Yakni, sosok yang yang mengidap Dissociative identity disorder (DID) atau yang dikenal dengan kepribadian ganda. 

Dalam pandangan ilmu psikologi, DID lebih mudah dijelaskan dalam terma “gangguan disosiatif”.

Psikolog klinis Kristi Poerwandari menjelaskan, kepribadian ganda menjadi sebutan khalayak umum lantaran lebih mudah dimengerti secara kasat mata.

“Kalau dalam psikologi kami menyebutnya gangguan disosiatif. Apakah sulit atau tidak untuk dipulihkan tergantung keparahannya,” kata Kristi kepada Alinea.id. 

Gangguan disosiatif dipahami sebagai kondisi psikologis yang kompleks dalam diri pengidapnya yang disebabkan oleh beberapa penyebab. Antara lain adalah trauma masa kecil yang repetitif atau ekstrem, seperti kekerasan emosional, kekerasan seksual, dan psikis.

Sebagaimana dicuplik dari laman WebMD, kondisi dalam diri orang-orang dengan DID adalah terjadi keterputusan koordinasi antara pikiran, memori ingatan, emosi, aksi, dan kesan-kesan identitas diri.

Akibatnya, hal itu memunculkan gangguan pembentukan identitas diri yang berlebih dalam benak seseorang pada waktu yang berbeda. 

Dampak lanjutannya ialah menimbulkan gangguan pada fungsi umum manusia, termasuk fungsi kerja, beraktivitas, dan berelasi sosial.

Salah satu kasus kepribadian ganda pertama di dunia adalah Eberhardt Gmelin (1791). Selanjutnya pada era 1880-1920, banyak konferensi medis internasional yang membahas tentang disosiasi. Jean-Martin Charcot adalah seorang tokoh yang memperkenalkan gagasan tentang disosiatif. 

Menurut Charcot, gegar atau shock pada saraf mengakibatkan berbagai kondisi neurologis yang abnormal.

Kasus kepribadian ganda klasik lainnya yang pernah diselidiki secara ilmiah adalah kasus Clara Norton Fowler pada tahun 1906. Kemudian pada 1989, Frank W. Putnam menerbitkan buku Diagnosis and Treatment of Multiple Personality Disorder, yang dilanjutkan Colin A. 

Ross mencatat dan menerbitkan penelitian Gangguan Kepribadian Majemuk: Diagnosis, Ciri-ciri Klinis, dan Pengobatannya yakni: “Multiple Personality Disorder: Diagnosis, Clinical Features, and Treatment”.

Kristi menjelaskan beberapa latar belakang penyebab DID dalam diri seseorang. 

“Ada yang mungkin dalam diri sejak lahir memang membawa kerentanan masalah kejiwaan. Ini akan lebih rentan bila orang itu mengalami kesulitan hidup yang intens, seperti kekerasan yang berlangsung sejak masa kanak,” tutur Kristi. 

Di samping itu, trauma parah yang dialami dalam peristiwa dramatik atau ekstrem dapat memicu gangguan disosiatif, seperti menjadi saksi dari pembunuhan anggota keluarga.

Ciri-ciri penderita

Harsono menyebut gangguan DID dengan terma trans disosiatif. Dalam artikelnya berjudul “Gambaran Trans Disosiatif Pada Mahasiswi” dalam Journal of Social and Industrial Psychology, Universitas Negeri Semarang, 2012, merinci kecenderungan kepribadian penderita trans disosiatif.

Dissociative Identity Disorder ditandai dengan sejumlah perilaku, yaitu keberadaan dua atau lebih kepribadian/identitas, sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang, dan ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.

DID terjadi ketika seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah atau berubah-berbeda dalam keberadaan, feeling, dan tindakan yang satu sama lain tidak saling memengaruhi. Selain itu, identitas yang muncul memegang kendali pada waktu yang berbeda. 

Setiap kepribadian ini, dalam ulasan Harsono, dapat muncul dari cerita, citra diri, dan nama yang berbeda, meskipun hanya sebagian yang berbeda dan setiap kepribadian tidak terikat satu sama lain.

Dalam hasil penelitian yang dihimpunnya, DID atau trans disosiatif cenderung mengarah pada kategori pribadi histrionik dan dependen. Kepribadian ini ditunjukkan antara lain seperti: sangat suggestible, mudah terpengaruh, suka mencari perhatian, selalu meminta persetujuan.

Secara ringkas, berikut lima kepribadian utama penderita trans disosiatif:

a. Egoistis 

Mereka selalu ingin “semau-gue” seperti anak-anak manja yang jahat dan selalu menginginkan banyak perhatian. Mereka selalu mengharapkan banyak pujian-pujian dan cinta kasih.

b. Suggestible

Atau mudah terpengaruh dan sangat sensitif terhadap pendapat orang lain. Dirinya selalu ingin melakukan semua sugesti dari orang lain untuk memperoleh perhatian, persetujuan, dan pujian.

c. Emosi yang kuat 

Mereka mempunyai rasa suka dan tidak suka yang sangat kuat, dan penilaiannya sangat dipengaruhi oleh perasaan suka-tidak suka tersebut.

d. Melarikan diri

Punya kecenderungan sangat kuat untuk melarikan diri dari situasi-situasi yang dianggapnya tidak menyenangkan.

e. Gejala perilaku fisiknya juga tampak dibuat-buat 

Semisal ditiru dengan sengaja atau dengan sengaja diperkuat agar bisa memperpanjang waktu melarikan diri.

Secara praktik, pengidap gangguan disosiatif juga kerap berpura-pura menjadi sakit demi menghindari tugas-tugas tertentu, atau menghindari situasi yang tidak disenanginya.

Pada akhirnya, simptom-simptom yang sengaja ditiru-tiru dan dibuat-buat itu menjadi tingkah laku yang membentuk suatu stereo-type. Selain itu, tulis Harsono, perilakunya menjadi penegasan karakter yang melekat terus-menerus, serta terus berlangsung—walaupun badannya sudah merasa sembuh.

Peluang terjadinya gangguan disosiatif dapat muncul dalam diri seseorang tanpa terduga sebelumnya.

Psikolog Kristi mengatakan, mengingat penyebabnya bisa sangat spesifik, DID perlu diwaspadai sejak dini, baik bagi masyarakat urban maupun non-urban.

Dia juga menuturkan gangguan disosiatif di Indonesia belum banyak diteliti oleh kalangan medis dalam negeri.

“Ini membuat kemungkinan mengenali penyebab dan penyebaran dampaknya perlu untuk lebih dikembangkan,” ucapnya. 

Berita Lainnya
×
tekid