close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Eugene Dubois./Foto Woudloper/wikipedia.org
icon caption
Eugene Dubois./Foto Woudloper/wikipedia.org
Sosial dan Gaya Hidup
Sabtu, 04 Oktober 2025 11:00

Sisi kelam Eugene Dubois menemukan Pithecanthropus erectus

Ada kekerasan dan eksplitasi saat Dubois meneliti fosil-fosil di Trinil.
swipe

Pekan lalu, bertepatan dengan kunjungan kerja Presiden Prabowo Subianto ke Belanda, Menteri Kebudayaan Fadli Zon secara resmi menerima pengembalian koleksi Eugene Dubois, termasuk fosil manusia purba Pithecanthropus erectus—yang kini diklasifikasikan sebagai Homo erectus—dari Pemerintah Belanda. Upacara serah terima itu dilakukan di Museum Naturalis, Leiden, Belanda, pada Jumat (26/9).

Koleksi Homo erectus itu menjadi bagian dari sekitar 28.000 artefak fosil yang ditemukan paleoantropolog dan geolog Eugene Dubois di Trinil, Ngawi, Jawa Timur pada 1891-1892. Fosil “manusia Jawa” koleksi Dubois terdiri dari bagian atas tengkorak, tulang paha, dan gigi.

Dari Sumatera ke Jawa

Pengembalian fosil tersebut menyisakan sisi gelap bagaimana Eugene Dubois menemukannya. Menurut Britannica, awalnya dia seorang dosen anatomi di Universitas Amsterdam. Kegiatannya meneliti anatomi komparatif laring pada vertebrata, membuatnya tertarik pada evolusi manusia. Dia juga sempat membaca publikasi Charles Darwin, yang membuatnya terobsesi mencari missing link soal evolusi manusia lewat fosil.

Pada 1887, dia pergi ke Hindia Belanda, sebagai seorang dokter militer Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL). Menurut publikasi yang ditulis Paul C.H. Albers, Julien Louys, dan Alexandra A.E. van der Geer berjudul “Eugene Dubois work in Sumatra”, selama dua tahun Dubois menjelajahi gua di Dataran Tinggi Padang, Sumatera Barat. Penelitiannya menyasar gua Lida Ajer, Jambu, Sibrambang, dan beberapa gua kecil.

“Bagi Dubois, masa pengabdiannya di Sumatera berakhir dengan kekecewaan. Dia berharap dapat menemukan nenek moyang manusia, tetapi isi gua-gua tersebut tidak cukup tua untuk menghasilkan apa yang dia cari,” tulis Albers, Louys, dan van der Geer.

Apalagi, kondisinya jauh lebih berat dari perkiraannya. Dia nyaris mati dari beberapa serangan malaria. Salah satu sersan yang ditugaskan menemaninya, Fanke, mati karena malaria tiga bulan setelah mulai bertugas.

Selain itu, perang di Aceh yang berlangsung sejak 1873 membuat penduduk di Sumatera kurang “bersahabat” dengan Belanda. Dia tak memperoleh dukungan dari penduduk lokal.

Beberapa koleganya menyuruhnya ke Belanda, terutama ketika tengkorak Wajak ditemukan seorang insinyur pertambangan BD van Rietschoten pada 1888. Namun, Dubois masih melanjutkan penelitiannya karena keberhasilannya menemukan beberapa fosil di Lida Ajer. Baru pada Mei 1890, dia berangkat ke Jawa.

“Saat ini, koleksi Dubois di Naturalis Biodiversity Center di Leiden memiliki lebih dari 10.000 nomor koleksi dari temuan di gua-gua Sumatera,” tulis Albers, Louys, dan van der Geer.

Akhirnya, di sungai yang ada di Trinil, Jawa Timur, Dubois menemukan fragmen rahang, sebuah tempurung kepala, dan tulang paha. Dubois, disebut Britannica, menamai fosil itu Pithecanthropus erectus atau "manusa kera tegak", untuk menunjukkan fase peralihan dalam evolusi, yang dipercaya berasal dari nenek moyang kera yang punya postur tegak—ciri manusia modern.

Usai mempublikasikan penemuannya pada 1894, dia kembali ke Eropa pada 1895 dan menjadi profesor geologi di Universitas Amsterdam. Anehnya, menurut Britannica, selama lebih dari tiga dekade, Dubois tidak mengizinkan ilmuwan lain untuk memeriksa tengkorak dan tulang paha yang ditemukannya.

“Meski akhirnya dia menyerah pada 1923, perilakunya yang penuh rahasia seputar fosil-fosil tersebut—ditambah dengan isi surat-suratnya menjelang kematiannya pada 1940 yang menyiratkan bahwa fosil itu mungkin milik makhluk primitif mirip kera atau siamang, bukan manusia—membuat sebagian kritikus menuduh bahwa manusia Jawa hanyalah tipuan,” tulis Britannica.

“Namun, setelah diteliti lebih lanjut oleh ahli biologi Amerika, Ernst Mayr, pada 1944, fosil itu akhirnya diklasifikasikan sebagai bagian dari spesies Homo erectus.”

Rekonstruksi Pithecanthropus erectus yang disumbangkan Dubois kepada Pemerintah Belanda pada 1931./Foto Het volk, 1 Desember 1931.

Ketidakadilan di balik penemuan

Sikap Dubois yang penuh rahasia menjelang kematiannya pada 16 Desember 1940, ternyata menyimpan tabir yang sangat gelap saat melakukan penelitian di Trinil. Tabir kelam itu terbuka usai ada permintaan Pemerintah Indonesia terkait repatriasi koleksi Dubois—termasuk fosil Homo erectus yang dikelola Naturalis Biodiversity Center—pada 2022.

Dari sana, atas permintaan Colonial Collections Committee (CCC) atau Komite Koleksi Nasional Belanda, Naturalis Biodiversity Center sebagai pengelola koleksi harus melakukan penelitian asal-usul koleksi Dubois dan mengeluarkan laporan temuannya pada Juni 2023.

Lantas, setelah berkonsultasi dengan Naturali Biodiversity Center, dalam laporan Colonial Collections Committee Recommendation disebutkan, diputuskan penelitian tambahan dari para ahli untuk mendapat informasi, di antaranya hak atas tanah tempat penggalian dilakukan, pandangan lokal mengenai temuan dan pengambilan materi sejarah, serta perjanjian antara pemerintah dan pihak-pihak terkait mengenai kepemilikan dan tujuan koleksi.

Penelitian tambahan ini dilakukan peneliti dari Expert Centre Restitution di NIOD (Institute for War, Holocaust and Genocide Studies), terutama dilakukan di Belanda. Dibantu pakar hukum Tristam Moeliono dan Jelle Jansen, serta peneliti sejarah Yuanita Wahyu Pratiwi yang meriset arsip di Indonesia. Peneliti independen Paul C.H. Albers juga membagikan korespondensi Dubois.

Salah satu yang disoroti dalam laporan penelitian tambahan tersebut adalah masalah kepemilikan tanah tempat Dubois menggali untuk menemukan fosil di sungai di Trinil.

Berdasarkan penelitian, NIOD menyimpulkan, fosil-fosil itu ditemukan di lapisan tanah bawah air. Foto dan peta historis menunjukkan, adanya sawah dan aktivitas pertanian di bantaran sungai. Walau tak menemukan pasti siapa pemilik tanah lokasi penggalian, tetapi ada kemungkinan sebagai tanah garapan warga lokal.

Moeliono menyebut, meski tak ada catatan khusus soal hukum adat di wilayah Trinil, sangat mungkin aturan adat ada dan berlaku. Keberadaan sawah, misalnya, menunjukkan adanya sistem kepemilikan dan pengelolaan tanah berbasis adat.

Menurut Moeliono, logis untuk mengansumsikan, tanah tempat penggalian dimiliki penduduk lokal, sehingga seharusnya ada kompensasi yang dibayarkan. Sedangkan menurut Jansen, jika tanah digunakan penduduk lokal, maka tanah itu tidak bisa dianggap sebagai milik negara.

“Meski ada indikasi bahwa penggalian dilakukan di atas tanah pertanian lokal, NIOD tidak menemukan bukti Dubois membayar kompensasi. Padahal, dari surat Raden Saleh diketahui, pembayaran semacam itu pernah dilakukan dalam penggalian lain, artinya ada pengakuan atas kepemilikan penduduk lokal,” tulis laporan Colonial Collections Committee.

Kemudian soal kehidupan sosial-ekonomi penduduk lokal. Laporan NIOD mengungkap, banyak lokasi penemuan fosil sebenarnya sudah dikenal masyarakat lokal. Pengetahuan ini terdokumentasi dari intelektual Jawa, seperti Raden Saleh dan Raden Mas Arya Candranegara V.

“Pengetahuan lokal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para kolektor Eropa; misalnya, Dubois memulai penggaliannya di Jawa di lokasi-lokasi yang sebelumnya pernah dikunjungi Raden Saleh,” tulis laporan Colonial Collections Committee.

Fosil juga sering ditemukan di tempat-tempat yang memiliki makna khusus, bahkan mitologis, bagi masyarakat sekitar. Menurut Moeliono, hal ini menunjukkan masyarakat di sekitar Trinil, menghargai temuan arkeologis baik sebagai bukti keberadaan makhluk mitologis maupun sebagai harta bernilai yang bisa dijual kepada pedagang Tionghoa atau ilmuwan Eropa.

Bagi penduduk sekitar, fosil punya nilai ekonomi. Sebelum kedatangan Dubois, mereka menjual banyak tulang dengan cara ditimbang per pikul (sekitar 62 kilogram) kepada orang Tionghoa.

Lalu soal eksploitasi manusia. Dalam penggalian, digunakan tenaga kerja paksa. Dubois mempekerjakan 50 pekerja paksa yang disediakan Asisten Residen Ngawi, G. A. Hogenraad, dengan pengawas seorang mandor.

Kondisi kerja sangat keras. Dubois sendiri menyebut lokasi penggalian di Trinil sebagai “neraka Jawa.” Banyak pekerja paksa melarikan diri, dan ada pula yang sakit atau meninggal. Surat-surat Dubois juga menunjukkan adanya kekerasan terhadap penduduk yang menolak menunjukkan lokasi fosil.

Dubois, yang akhirnya bekerja di bawah Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda saat melakukan penelitian, dibantu dua kopral KNIL yang mengawasi mandor, pekerja lokal, dan puluhan pekerja paksa.

Atas temuan penelitian tersebut, Komite Koleksi Nasional Belanda akhirnya menyimpulkan, masuk akal jika koleksi Dubois kemungkinan besar tidak pernah menjadi milik sah Belanda.

“Komite juga berpendapat, cara fosil-fosil itu diperoleh menunjukkan, pengambilannya kemungkinan besar bertentangan dengan kehendak penduduk setempat, sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi mereka,” tulis laporan Colonial Collections Committee.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan