sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Strategi menebar ketakutan untuk memenangkan pemilu presiden

Strategi calon presiden agar menang dengan cara menebar ketakutan negara akan krisis, utang menumpuk, hingga serbuan dari asing.

Sukirno
Sukirno Sabtu, 07 Apr 2018 23:14 WIB
Strategi menebar ketakutan untuk memenangkan pemilu presiden

Pemilu presiden sebentar lagi. Strategi pemenangan sudah dirancang sedemikan rupa agar kandidat yang diusung keluar sebagai jawara.

Seorang calon presiden yang dikenal arogan, tidak disukai, temperamental, dan segala sifat negatif pada dirinya, akan bertarung dalam pemilu presiden langsung. Popularitasnya hanya 3%, jauh berada di posisi ke-8 dibandingkan dengan calon lainnya. Padahal, waktu hanya 90 hari lagi menjelang pemilu presiden.

Itu adalah kisah dalam film "Our Brand is Crisis" yang rilis pada 2015. Film fiksi yang diterjemahkan dari dokumenter pemilihan presiden Bolivia 2002 itu dibintangi oleh Sandra Bullock, Billy Bob Thornton, dan Anthony Mackie, mengisahkan pertarungan politik menjelang pilpres.

Film dokumenter mantan presiden Bolivia Gonzalo Sánchez de Lozada itu dibuat dengan judul yang sama dan rilis pada 2005. Kali ini, produser George Clooney dan Grant Heslov itu membungkus drama komedi politik satir. 

Dikisahkan, pada 2002, politisi Bolivia yang tidak populer bernama Pedro Castillo, merekrut konsultan politik asal Amerika Serikat demi memenuhi ambisinya. Jane Bodine (Sandra Bullock), yang sebenarnya sudah pensiun dari dunia konsultan, akhirnya dikirim untuk menjadi tim strategi Castillo.

Tak mudah mengerek elektabilitas Castillo dalam waktu singkat untuk mengalahkan calon-calon lain yang sangat populer dan disukai masyarakat. 

Tim konsultan pemenangan pemilu dari firma Greenberg Carville Shrum (didirikan oleh Stan Greenberg, James Carville dan Bob Schrum. Stan Greenberg adalah konsultan politik pada kampanye Presiden Joko Widodo), disewa langsung dari Amerika Serikat. 

Konsultan komunikasi politik beranggotakan “Calamity” Jane Bodine (Sandra Bullock), Rich (Scoot McNairy), Ben (Anthony Mackie), Nell (Ann Dowd), dan LeBlanc (Zoe Kazan). Mereka berhadapan dengan rival yang selalu memimpin jajak pendapat di media massa, calon presiden Rivera (Louis Arcella) dan konsultan komunikasi politiknya, Pat Candy (Billy Bob Thornton). 

Sponsored

Segala cara dilakukan kedua pihak untuk mengalahkan satu sama lain. Tak jarang mereka meneror lawannya dengan kampanye-kampanye negatif dan kampanye hitam.

Strategi kampanye Castillo berubah 180 derajat. Awalnya, tim sukses memaksakan agar calon yang diusungnya membuat citra yang lebih tampak baik dan disukai banyak orang. Tapi, karakter asli tidak bisa diubah.

Kejadian tiba-tiba terjadi saat di depan publik, Capres Castillo terkena provokasi dan langsung memukul orang tanpa berfikir panjang, statemen yang keluar pun tak bisa diatur lagi. Itu adalah karakter asli Castillo.

Akhirnya, strategi kampanye berubah. Dibuatlah isu bahwa negara sedang menghadapi krisis, baik itu krisis sosial, ekonomi, hingga politik. Isu itu dihembuskan secara masif di seluruh penjuru negeri.

Satu-satunya orang yang siap dalam menghadapi krisis tersebut hanyalah Castillo yang temperamental itu. Iya, dia adalah orang yang paling siap bertempur melawan krisis. Saat masyarakat semakin takut akan terjadi krisis, maka Castillo inilah jawabannya.

Ajaib, dalam waktu 10 hari saja, elektabilitas Castillo ini melejit. Langsung mendapat 10% dan naik ke posisi 5 besar. Strategi semakin masif dilakukan. Kampanye negara akan krisis semakin gencar. Tampilan pakaian capres diubah. Dia selalu mengenakan pakaian yang informal yang artinya Castillo selalu siap menghadapi bahaya.

Saat bersamaan, isu negatif juga dihembuskan untuk menggembosi calon lawan. Kasus perselingkuhan dimunculkan meski terjadi bertahun-tahun silam. Bukan, bukan perselingkuhan si calon lawan, tapi perselingkuhan Castillo sendiri yang seolah-olah dihembuskan oleh calon lawan. Kesannya, Castillo didzalimi.

Lalu serangan sesungguhnya dimulai. Kampanye hitam untuk menjatuhkan calon lawan yang memiliki elektabilitas tertinggi. Isu korupsi, menarik pajak tinggi tapi dia mengemplang pajak, berhutang kepada asing, hingga menjual aset negara.

Castillo pun tak lepas dari serangan secara personal. Keluarganya yang berantakan, kehidupan anaknya yang tak mencerminkan masyarakat umum, terus diserang bertubi-tubi. Castillo sampai tak mau menghadapi media. Tapi, tim strategi kampanye malah mengubah ini menjadi peluang.

Tim kampanye membuat Castillo harus mau jujur dan mengakui bahwa keluarganya memang berantakan, dia tak dekat dengan anaknya, sampai si capres harus menangis di depan acara talk show. You know what? itu sangat menyentuh hati masyarakat, dan elektabilitas malah makin melesat. Persentase sampe 19% di posisi ke tiga pada H-24 pemilu.

Kurang 8 hari lagi pemilu, posisi elektabilitas hanya terpaut masing-masing 2% saja. Castillo masih di urutan ketiga. Segala koneksi sudah dikerahkan, termasuk menggunakan relasi di Kedubes AS, sentimen anti-AS malah menguat dan menambah elektabilitas capres lawan.

Selanjutnya, simulasi kampanye besar dan debat kandidat. Semua pertanyaan disiapkan, gestur diperhatikan, cara bicara harus sesuai dengan tema besar sejak awal. Penekanan pada negara sedang menghadapi krisis.

Pesannya sangat kuat, mengambil hati orang-orang yang memiliki harapan. Tapi ternyata, terjadi kesalahan fatal dalam debat kandidat. Calon lawan mengatakan slogan yang biasanya disebutkan oleh seorang militer anti-demokrasi. Padahal slogan itu dibisiki oleh tim strategi kampanye Castillo.

Pemilu tiba, warga mulai memilih. Ketika penghitungan cepat, ternyata Castillo berhasil menyalip pada detik-detik terakhir menjelang pemilu. Iya, Castillo akhirnya menang dengan 23,5%, disusul capres lawan yang sejak awal selalu unggul, hanya mendapatkan 22,8%, dan posisi terakhir 21,9%. Sangat tipis, tapi dipastikan menang.

Ternyata, setelah menang, Castillo tetap bekerjasama dengan IMF. Padahal saat kampanye, dia tidak akan berutang ke asing. Itulah politik, datang dengan janji setinggi gunung, lalu menguap begitu saja.

Gelombang demonstrasi tak terhindarkan. Kedua tim strategi kampanye kembali ke Amerika Serikat. Meninggalkan negara yang tengah kacau dilanda demonstrasi besar-besaran.

Film itu tampaknya masih relevan untuk ditonton. Bahkan, Donald Trump juga menerapkan strategi yang sama untuk memenangkan pemilu presiden di AS. 

Apakah strategi kampanye pemilu presiden ini ada kesamaan dengan yang ada saat ini di Indonesia? Ketakutan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), ketakutan serbuan intervensi dari China, ketakutan pembengkakakan utang negara, ketakutan krisis ekonomi, hingga ketakutan negara akan bubar pada 2030? Mirip? Entahlah. Semoga hanya kebetulan belaka.
 

Berita Lainnya
×
tekid