Terlalu banyak bicara bisa jadi sinyal gangguan mental
Mungkin Anda atau seseorang yang Anda kenal sering disebut cerewet karena terlalu banyak berbicara. Terlalu banyak berbicara, terkadang memang bisa menyebalkan bagi beberapa orang dalam sebuah percakapan. Padahal, sifat itu tidak selalu buruk. Dalam banyak profesi, justru kemampuan tersebut dianggap kelebihan.
Apalagi menentukan apa yang disebut bicara berlebihan sebenarnya cukup subjektif. Apa yang dianggap berlebihan oleh seseorang, bisa saja dianggap ramah oleh orang lain.
Verywell Health menyebut, tanda-tanda berbicara berlebihan atau berbicara kompulsif, antara lain memotong pembicaraan orang lain, mendominasi percakapan, berbicara pada waktu atau tempat yang tidak tepat, terlalu banyak berbagi informasi pribadi, berbicara secara impulsif, takut ada jeda dalam percakapan, lebih banyak berbicara daripada mendengarkan, serta mengubah atau mengarahkan percakapan ke hal-hal yang hanya menarik bagi diri sendiri.
“Ini bukan percakapan dua arah. Ini lebih seperti monolog. Anda berbicara dengan orang lain, tetapi tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk berkontribusi dalam percakapan, jadi Anda tidak terlalu menyadari keinginan atau minat mereka untuk ikut campur,” ujar psikolog asal Florida, Amerika Serikat, Carolyn Rubenstein kepada Daily Mail.
“Banyak orang bahkan tidak sadar kalau mereka terlalu banyak bicara.”
Berbicara berlebihan, menurut Verywell Health, bisa dianggap “normal” dan “tidak normal”. Dibilang normal, jika itu sekadar ciri kepribadian.
“Ciri kepribadian adalah pola khas dari pikiran dan perilaku yang mencerminkan siapa diri seseorang,” tulis Verywell Health.
Seseorang yang komunikatif dan banyak bicara biasanya dianggap ekstrover. Akan tetapi, ekstrover tidak selalu sama dengan berbicara berlebihan. Ekstrover dengan tingkat neurotisme tinggi, bisa berbicara lebih banyak karena cemas atau tidak aman. Sedangkan ekstrover dengan tingkat keramahan rendah, bisa berbicara berlebihan karena kebutuhan untuk mengekspresikan diri lebih besar daripada mempertimbangkan kenyamanan orang lain.
Sementara itu, kondisi tidak normal, menurut Verywell Health, terjadi jika berbicara berlebihan merupakan gejala dari kondisi gangguan mental atau neurodevelopmental. Kondisi ini memengaruhi cara berpikir, berperilaku, dan memproses informasi seseorang.
Gangguan mental
Kondisi gangguan mental yang terkait dengan berbicara berlebihan, menurut Verywell Health, antara lain autisme, gangguan bipolar, gangguan kecemasan sosial, obsessive-compulsive disorder (OCD), skizofrenia, narcissistic personality disorder (NPD), dan attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD).
Menurut Daily Mail, meskipun berbicara berlebihan saja tidak serta merta membuat seseorang dicap autis, tetapi itu adalah perilaku yang mungkin ditunjukkan oleh individu autis.
“(Autisme) lebih merupakan gangguan komunikasi sosial. Kuncinya adalah mengenali kebutuhan untuk berhenti sejenak, memutus, dan memantau kontak mata, semua isyarat nonverbal yang merupakan bagian dari komunikasi,” ujar Carolyn Rubenstein kepada Daily Mail.
Gangguan bipolar adalah kondisi kesehatan mental yang menyebabkan perubahan suasana hati ekstrem, yang berkisar dari depresi hingga mania. Selama episode depresi, individu bipolar mungkin akan merasa kesal, mudah menangis, gelisah, lelah, tak tertarik pada hal-hal yang biasanya mereka nikmati, dan ingin bunuh diri.
Sebaliknya, selama episode manik, seseorang yang mengalami bipolar mungkin merasa gembira tak terkendali, percaya diri, mudah teralihkan, dan mudah tersinggung. Mereka mungkin juga lebih aktif dari biasanya, berbicara sangat cepat, sangat ramah kepada orang lain, bertindak tidak seperti biasanya, dan tidur sangat sedikit.
"Bicaranya cepat sekali. Anda akan melihatnya saat sedang episode manik," kata Rubenstein.
Seseorang dengan gangguan kecemasan sosial tak selalu pendiam atau kesulitan memulai percakapan. Rubenstein mengatakan, berbicara berlebihan merupakan karakteristik umum dari kondisi tersebut.
“Ciri khas (kecemasan) adalah pikiran yang berpacu. Pikiran-pikiran itu berpacu, lalu muncul kembali sebagai pembicaraan yang berlebihan,” tutur Rubenstein.
Profesor psikologi kognitif di Otterbein University, Robert N. Kraft dalam Psychology Today menulis, berbicara berlebihan sering kali dipicu oleh kecemasan sosial dan menciptakan lingkaran yang sulit diputus. Semakin banyak seseorang bicara, semakin besar kecemasannya tentang bagaimana dia terlihat di mata orang lain.
“Pada akhirnya, kebiasaan ini bisa terasa seperti sesuatu yang tak bisa dikendalikan. Kita semua memang sering berbicara, tetapi ketika kebiasaan itu berulang terus-menerus, dia justru memperkuat dirinya sendiri dan melemahkan kesadaran diri,” tulis Kraft.
Verywell Health menjelaskan beberapa klasifikasi berbicara berlebihan, yang tergolong dalam status gangguan mental. Pertama, pressured speech, yakni bicara cepat, mendesak, dan sulit disela. Menurut Verywell Health, ciri ini umum pada mania, kecemasan berat, skizofrenia, atau penyalahgunaan zat.
Kedua, compulsive speech, yakni merasa tidak bisa berhenti berbicara. Kondisi ini terjadi pada orang dengan kecemasan, OCD, atau ADHD. Ketiga, circumstantial speech, yakni bicara berputar-putar dan menyimpang dari topik utama, yang umum pada mania atau OCD.
Keempat, hyperverbial speech, yakni bicara terlalu cepat dan panjang, yang dapat terlihat pada orang dengan gangguan kecemasan atau mania. “Jika terlalu bertele-tele hingga tidak nyambung disebut logorrhea,” tulis Verywell Health.
Terakhir, disorganized speech, yakni pikiran tidak terhubung dengan baik, bicara meloncat-loncat, dan bisa membuat kata baru (neologisme) atau mengulang ucapan orang lain (echolalia). Umumnya terjadi pada skizofrenia dan psikosis.
“Bagi mereka yang cenderung terlalu banyak bicara, menutup diri bukanlah solusi. Justru hal itu bisa menghambat kemampuan berkomunikasi dan berisiko memunculkan luapan kata-kata yang tak terkendali di kemudian hari,” ujar Kraft dalam Psychology Today.
“Yang lebih penting adalah belajar menemukan keseimbangan antara berbicara dan mendengarkan.”


