sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
M Rahmat Yananda

Dilema antara kesehatan dan ekonomi melawan Covid-19

M Rahmat Yananda Jumat, 15 Mei 2020 14:25 WIB

Dilema antara melakukan intervensi kesehatan atau intervensi ekonomi di masa pandemi, mengemuka dalam pernyataan pemerintah saat mengambil kebijakan atau tindakan di lapangan. Dilema tersebut muncul sejak awal pandemi ketika pemerintah memilih untuk membuka pintu untuk wisatawan ketimbang membatasi kedatangan orang yang berpotensi membawa Covid-19.

Dilema terjadi juga dalam keputusan memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dilema kembali berlanjut dalam keputusan untuk tetap menjalankan moda transportasi atau membuka pabrik di masa PSBB. Terakhir muncul wacana untuk melakukan relaksasi sementara angka-angka pasien positif dan meninggal korban virus masih terus naik.

Dilema kesehatan versus ekonomi dapat diselaraskan diwadahi oleh kepercayaan (trust) antarsektor (kesehatan, transportasi, ekonomi, dan lainnya) dan antarpemangku kepentingan, publik, privat, dan masyarakat. Landasan berpikirnya adalah kemampuan sektor kesehatan mengelola Covid-19 dengan hasil yang nyata membangun kepercayaan yang akan mengungkit (leverage) sektor lain bergerak menyiapkan diri melakukan pembukaan (reopen).

Sebaliknya, ketidakmampuan pengelolaan sektor kesehatan tanpa hasil yang nyata akan menyebabkan terjadinya keraguan atau ketidakpercayaan sektor-sektor dan pemangku kepentingan untuk memulai berkegiatan. Dalam skala yang lebih luas, investor atau manufaktur belum bersedia datang ke Indonesia.  Jadi, capaian kinerja sektor kesehatan menjadi panduan sektor atau pemangku kepentingan, termasuk investor luar negeri.

Menurut survei yang dilakukan Edelman Trust Barometer (2020, Spring Update): Trust and the Covid-19 Pandemic, negara (pemerintah) mendapatkan kepercayaan paling tinggi menghadapi pandemi. Di Mei 2020, pemerintah mendapatkan indeks 65 poin di atas LSM dengan indeks 62 poin, bisnis dengan indeks 62 poin dan media dengan indeks 56 poin. Survei dilakukan di Kanada, China, Perancis, Jerman, India, Jepang, Meksiko, Saudi Arabia, Korea Selatan, Inggris and Amerika Serikat dengan total responden 13,200 orang. Indeks kepercayaan di Mei 2020 terhadap negara tersebut meningkat 11 poin dari indeks Januari yang berada di posisi 54 poin.

Di Januari 2020, posisi indeks negara masih berada di bawah indeks LSM dengan indeks 58 poin dan bisnis dengan indeks 58 poin. Seiring kenaikan poin indeks muncul fakta bahwa pemerintah mendapatkan mandat yang tinggi dari publik untuk merespons pandemi di semua area. Area-area tersebut adalah mengantisipasi pandemi (73), menginformasikannya ke publik (72), memberikan bantuan dan dukungan ekonomi (86), membantu penduduk menghadapi pandemi (72), dan mengembalikan ke situasi normal (79).

Sementara itu, media mendapatkan mandat terbatas untuk lebih menginformasikan pandemi kepada publik dengan indeks 58 poin, bisnis diharapkan dapat memberikan bantuan dan dukungan ekonomi dengan indeks 56 poin, dan LSM diharapkan dapat membantu orang menghadapi pandemi dengan indeks 47 poin. Tidak dapat disangkal, publik menaruh harapan tinggi kepada pemerintah sebagai wakil negara untuk mengelola permasalahan. Perolehan indeks negara di semua area melampaui harapan publik kepada aktor-aktor lain. Melihat kompleksitas permasalahan pandemi, harapan publik tersebut sangat realistis. Negara melalui pemerintah harus hadir membela warga berperang melawan Covid-19.

Survei tersebut juga menemukan bahwa untuk mengembalikan situasi dan memulai kehidupan sehari-hari seperti pembuatan keputusan untuk kembali bekerja, otoritas kesehatan mendapatkan kepercayaan tinggi. Otoritas kesehatan mendapatkan indeks 32 poin diikuti oleh pemerintah dengan indeks 27 poin, pemerintah daerah dengan indeks 16 poin, CEO dan manager senior dengan indeks 11 poin, dan karyawan dengan indeks 7 poin. 75% responden mengharapkan CEO harus bersikap konservatif untuk kembali ke operasi normal bahkan perlu menunggu sampai virus dapat dikendalikan. Hanya 25% responden yang menyatakan bahwa CEO harus agresif untuk kembali ke operasi normal mendahului saran otoritas kesehatan.

Kesehatan terkelola, ekonomi bergerak

Berkaca dari survei tersebut dan perkembangan pandemi di tanah air, pemerintah harus menyadari bahwa publik menaruh harapan tinggi dengan mengutamakan penuntasan masalah di sektor kesehatan. Berdasarkan urutan prioritas, kesehatan sebagai fokus utama pemerintah tidak dapat ditawar-tawar.

Sektor kesehatan akan menjadi pengungkit (leverage) sektor ekonomi dan sektor-sektor lainnya. Alasannya, terkelola dan kemajuan penanganan Covid-19 akan memunculkan kepercayaan terhadap keseriusan dan kemampuan pemerintah.

Kehadiran rasa aman karena pemerintah mampu mengelola sektor kesehatan akan meyakinkan banyak pihak. Dan orang-orang akan berani memulai aktivitas harian, khususnya di sektor ekonomi. Sebaliknya, kegagalan penanganan Covid-19 akan memunculkan keraguan publik dan mereka enggan untuk keluar rumah, yang menjadikan gerak sektor-sektor lain lambat, khususnya ekonomi.

Semenjak awal pandemi sampai saat ini, pemerintah ternyata lebih fokus mengantipasi dampak ekonomi Covid-19. Pernyataan dan kebijakan pemerintah seringkali menyisipkan pesan-pesan ekonomi, mengkhawatirkan kondisi ekonomi, bahkan mulai mendorong pembukaan ekonomi.

Padahal publik membutuhkan langkah nyata yang terukur dalam rangka mitigasi. Mereka berharap kesehatan menjadi sektor priotas untuk memandu mereka memahami perkembangan pandemi. Nantinya, sektor kesehatan juga akan memandu mereka berkegiatan normal untuk mulai bekerja, melepas anak-anak ke sekolah, beribadah, mengunjungi keluarga dan lain-lain.

Oleh karena itu, langkah-langkah pemerintah saat ini terasa tanggung dan setengah hati di sektor kesehatan. Tidak heran PSBB yang tidak diselenggarakan dengan sepenuh hati ditambah dengan segala bentuk kebijakan “pelonggaran” mendapatkan kritikan publik. Apalagi angka pasien positif dan meninggal Covid-19 terus bertambah.

Dilema antara kesehatan dan ekonomi dapat diselaraskan dengan mengedepankan konsep kepercayaan (trust) meminjam pemikiran ekonom John Maynard Keynes. Kepercayaan sangat penting dalam dunia ekonomi yang realitasnya penuh ketidakpastian (uncertainty) dan kompeks (complex).

Sebagai catatan, pandemi juga memunculkan realitas yang sama. Ketidakpastian dan kompleksitas ekonomi datang dari interaksi banyak aktor dengan banyak kepentingan di banyak sektor dan di berbagai ruang. Menghadapi kenyataan tersebut, hampir tidak mungkin para aktor hanya mengandalkan rasionalitas, seperti membuat perhitungan dan prediksi yang efektif, untuk bertindak mencapai tujuan-tujuan ekonomi.

Menurut John Maynard Keynes (1883-1946), pendiri mahzab ekonomi Keynesian, di tengah ekonomi yang penuh ketidakpastian dan kompleks, telah menjadi fakta penting bahwa pengetahuan dasar terkait keputusan ekonomi memiliki potensi kerawanan untuk membuat prospek estimasi hasil.

Pengetahuan tersebut sangat sedikit dan seringkali tidak memadai untuk merancang investasi yang dapat mendatangkan hasil, seperti berinvestasi sepuluh tahun ke depan di kereta api, tambang tembaga, pabrik tekstil, obat paten, kapal, dan bangunan. Bahkan pengetahuan yang sangat sedikit dan terkadang tidak memadai tersebut juga tidak dapat merancang prospek hasil untuk investasi lima tahun ke depan (dalam Morgan dan Sheehan, 2014).

Mengatasi keterbatasan pengetahuan (informasi) tersebut, para aktor mengandalkan kepada kepercayaan untuk menjadi wadah pengambilan keputusan. Kepercayaan muncul dari pengelolaan ketidakpastian. Semakin tinggi perasaan ketidakpastiaan tumbuh, semakin banyak orang bersandar kepadanya karena kepercayaan mampu menyediakan kepastian dan andal.

Komponen kepercayaan, baik yang rasional maupun yang irasional, secara dinamis dapat mengelola tindakan, menyebarkan peran pengganti atau penyelesaian, dan memperlambat atau mempercepat proses. Jika dikelola dengan baik, hal tersebut dapat menjadi alat ekonomi, sosial dan politik yang luar biasa (Padua, 2014).

Keynesian memandang adanya saling ketergantungan organik dalam kompleksitas lingkungan sistem sosial ekonomi. Keadaan kompleks menyebabkan ketidakmampuan untuk memprediksi, kebutuhan akan visi holistik, dan sebab tidak harus memunculkan dampak.

John Maynard Keynes menjelaskan perlunya mengatur ulang pola pikir dengan beralih dari budaya kepastian ke budaya ketidakpastian, dari kalkulasi ke intuisi, dari probabilitas ke konvensi, dari antisipasi ke adaptasi, dan dari aksi ke relasi (Padua, 2014), yang diwadahi oleh mekanisme kepercayaan. 

Saat menghadapi pandemi ini, dengan ketidaklengkapan perhitungan dan prediksi ke masa depan, para aktor mengandalkan sebagian keputusannya kepada emosi, yaitu mempercayai situasi dan aktor-aktor lain yang akan bertindak sesuai harapannya. Kepercayaan menuntun aktor-aktor mengambil keputusan dan bertindak dengan sepenuhnya sadar bahwa mereka tidak memiliki informasi yang memadai.

Saat ini. informasi pemerintah, publik, bisnis dan aktor-aktor lain terkait pandemi dan dampaknya juga tidak memadai. Pandemi adalah krisis yang memunculkan ketidakpastian dan kompleksitas karena belum tersedianya obat dan tidak diketahui kapan mereda. Oleh karena itu, kepercayaan diandalkan menjadi modal yang mengerangka keselarasan tindakan para aktor.

Meminjam semangat berpikir Keynesian di tengah ketidakpastian dan kompleksitas pandemi, sektor kesehatan harus menjadi prioritas penanganan pandemi. Apabila pemerintah bertindak sungguh-sungguh akan muncul kepercayaan dari publik dan sektor-sektor lain, dengan sendirinya akan membuka jalan perbaikan ke sektor ekonomi.

Pemerintah harus memandang kebijakan dan langkah di sektor kesehatan adalah kebijakan dan langkah awal mengembalikan aktivitas ekonomi. Pemerintah harus menyadari bahwa tidak relevan lagi mendikotomikan kesehatan dan ekonomi. Pemerintah harus berhenti memunculkan dilema antara sektor kesehatan dan ekonomi. Pernyataan pemerintah terkait dilema tersebut hanya akan berdampak negatif serta menambah keraguan publik atas langkah dan keseriusan pemerintah mengatasi pandemi.

Sebagai catatan tambahan untuk pemerintah, membangun kepercayaan membutuhkan kerendahan hati. Pernyataan yang terlalu percaya diri terkait kondisi ekonomi Indonesia pascapandemi, seperti angka perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia atau akan terjadinya permintaan tinggi di sektor pariwisata, harus dikurangi.

Publik belum lupa bahwa rezim yang sama di masa lalu, bahkan tanpa pandemi tidak mampu mewujudkan janji kampanyenya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5% selama lima tahun, membangun infrastruktur secara besar-besaran yang ternyata tidak maksimal kegunaannya, dan berambisi memindahkan ibu kota dengan kondisi kas negara yang pas-pasan.  

Beberapa hari lalu, publik dikagetkan oleh kenaikan iuran BPJS di tengah-tengah lesunya ekonomi, pengangguran tinggi, dan menurunnya daya beli. Publik juga masih terheran-heran dan kesal karena tidak mengerti mengapa harga BBM tidak turun ketika harga minyak dunia anjlok ke titik terendah.

Rezim ini harus berhenti menampilkan wajah yang penuh dengan bedak tebal di bidang ekonomi. Tampilkan saja wajah polos dengan senyum ramah sebagai wujud simpati dan empati. Wajah itu dapat tampil di ikhtiar menjaga dan merawat kesehatan rakyat melawan Covid-19, yang membangun harapan dan kepercayaan sebagai modal bersama melalui ketipastian dan kompleksitas pandemi.

Berita Lainnya
×
tekid