

Jalan mundur Gubernur Jawa Barat

Fenomena politisi blusukan memang bukan hal baru, Presiden ke 7 Joko Widodo yang selama ini dicitrakan sebagai tokoh blusukan juga bukan tokoh awal yang lakukan strategi tersebut. Justru, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi lebih awal melakukan blusukan sejak masih bertarung sebagai Wakil Bupati Purwakarta di periode 2003-2008. Dan, masih menjalankan strategi yang sama hingga saat ini.
Tidak keliru, juga bukan kegiatan buruk, blusukan membuat politisi atau pejabat publik mengetahui kondisi paling dekat dengan realitas terkait masyarakatnya. Tetapi, memuji setinggi Rinjani pada aktivitas blusukan juga tidak bijak, faktanya blusukan kian hari bukan lagi sebagai bentuk relasi pejabat publik dan masyarakat, tetapi memudar menjadi industri citra dan manipulatif.
Terbukti, Purwakarta hingga saat ini –Dedi Mulyadi sudah memimpin sejak Wakil Bupati dan Bupati dengan dua periode—, tidak membuat Puwakarta lebih sejahtera dibanding Kabupaten atau Kota lain, layanan publik juga tidak lebih tertib dibanding yang lain. Blusukan hanya menjadi pertunjukan politis, performing political art, menyenangkan tetapi tidak mengenyangkan.
Jalan mundur
Di Jawa Barat, terjadi reformasi dan perubahan corak kepemimpinan sejak Ahmad Heryawan berkuasa, berlanjut dengan inovasi teknologi birokrasi di era Ridwan Kamil. Tentu, setiap masa kekuasaan miliki keburukannya sendiri, tetapi ada titik penting yang ditinggalkan pada tiap periode. Dan, Dedi Mulyadi potensial membuat ritme pembangunan Jawa Barat alami stagnansi, bahkan mundur.
Pertama, kemajuan sebuah kota atau pemerintahan daerah dapat dilihat dari terbangunnya sistem. Melayani masyarakat perlu kesetaraan, dan kesetaraan hanya bisa diperoleh dengan sistem yang matang, sehingga akan berlaku untuk semuanya.
Kesetaraan layanan dengan sistem yang baik akan membuat setiap warga negara merasa sama dihadapan pelayan publik. Tetapi Dedi Mulyadi, justru lebih riuh dan heroik melakukan tindakan yang bersifat anti sistem, misalnya; memerankan dirinya sebagai diri sendiri, bukan sebagai Gubernur.
Apa yang ia kehendaki, akan secara langsung ia ekspresikan tanpa menimbang kebijakan dan keajegan program. Situasi ini membuat Dedi Mulyadi terkesan cepat bertindak, tetapi itu harus dikritik agar apa yang ia putuskan miliki dampak jangka panjang, bukan hanya gimmick politik dan sekedar pertunjukan.
Acapkali Dedi Mulyadi mengutarakan keinginannya secara langsung tanpa prosedur yang tepat dan efisien, bahkan seringkali melawan batasan birokratis yang layak. Ia pernah mengupayakan pemecatan seorang Kepala Sekolah, mengkritik sekolah yang lakukan tes masuk, menegur Kepala Desa, dan banyak perintah personalnya di lingkungan pemerintah tanpa memperhatikan kebijakan dan sistemnya.
Padahal, sebagai pemimpin publik, Dedi Mulyadi seharusnya membangun sistem delegasi, jika untuk urusan teknis Gubernur turun sendiri, maka berhentilah fungsi di bawahnya, mulai dari kedinasan, jabatan Bupati dan Walikota hingga Camat. Ini tidak membuat Dedi Mulyadi hebat, justru ia merusak alur pemerintah yang seharusnya dikuatkan serta diperbaiki.
Menyenangkan? Tentu, bagi masyarakat ini heroik, ia potensial dianggap pahlawan, tetapi ini bisa saja sebaliknya bagi kelangsungan birokrasi. Jawa Barat suatu saat ketika tidak lagi dikuasai Dedi Mulyadi bisa alami kebangkrutan birokrasi dan sistem tata kelola yang baik, ini yang disebut kemunduran Jawa Barat.
Kedua, harmoni antar stakeholder juga mempengaruhi kemajuan Kota atau pemerintah. Dengan durasi kekuasan awal Dedi Mulyadi, ia sudah menciptakan konflik dengan parlemen Jawa Barat, bahkan menyaksikan sekaligus memantik konflik Wakil Gubernur dan Sekretaris Daerah karena secara timpang tidak melibatkan Wakil Gubernur dalam kerja-kerja pemerintah.
Jika Gubernur tidak menghormati posisi Wakil Gubernur seperti yang terjadi di Jawa Barat, maka Dedi Mulyadi sudah menciptakan situasi power syndrome berbahaya. Elite penguasa di Jawa Barat akan bergeser dalam aktivitas, dari melayani masyarakat, menjadi melayani Gubenur. Dan, ini tentu keliru sekaligus berbahaya.
Dedi Mulyadi mungkin mendapatkan banyak asupan pujian dari masyarakat, baik itu yang organic, pujian murni yang tumbuh dari penilaian masyarakat, maupun pujian non-organic, pujian yang direkayasa secara politis oleh loyalis atau bahkan Dedi Mulyadi sendiri untuk kebutuhan propaganda di media sosial.
Tetapi, imbasnya pada masyarakat hanya menjadi objek propaganda, masyarakat tidak benar-benar dibantu dan disejahterakan, Dedi Mulyadi potensial melakukan abuse of power secara sosial, hanya mementingkan reputasi politiknya dibandingkan dengan maju atau mundurnya sebuah provinsi bernama Jawa Barat.
Tata kelola pemerintah yang baik juga memerlukan partisipasi, keterbukaan dan kolaborasi antar pihak. Jika pemerintah Jawa Barat alami konflik yang cukup kental nuansa politisnya, pemerintah tidak lakukan kolaborasi dengan parlemen, lalu di antar elite di pemerintah juga tidak elaboratif, maka Jawa Barat sebenarnya hanya menunggu waktu terpuruk.
Dedi Mulyadi memang jenius dalam menjalani peran sebagai politisi, ia mengetahui dan memahami kebutuhan pemilih dalam Pemilu dan Pilkada, performansi Dedi Mulyadi dalam panggung yang ia buat memang menarik, tetapi yang perlu dipahami oleh masyarakat, pemimpin politik tidak hanya muncul dengan rupa populis.
Wajah pemimpin sebuah kota harus sistemik dan birokratis, jika selama ini pemerintah dianggap lambat, itu karena faktor birokrasi yang menghambat, sehingga perlu diperbaiki agar kembali progresif, birokrasi adalah mesin sebuah pemerintahan, berjalan atau tidak tentu bergantung dari baik atau buruknya mesin.
Semoga Jawa Barat kian maju dan memajukan.


Tag Terkait
Berita Terkait
Kontroversi pendisiplinan orang dewasa di "barak" Dedi
Wali Kota Cimahi hanya bertugas 2 bulan, Ridwan Kamil: Sesuai takdir Allah SWT
Gubernur Ridwan Kamil optimistis, target investasi pada 2022 terealisasi
Pemprov Jabar: Kami tetap memperhatikan pemerataan dan unsur keadilan

