sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengenal Geojurnalisme dari Pimred Ekuatorial

Ekuatorial merupakan sebuah media alternatif, yang kepemilikannya berada di bawah organisasi.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Kamis, 18 Agst 2022 16:51 WIB
Mengenal Geojurnalisme dari Pimred Ekuatorial

Konferensi Jurnalisme Data dan Komputasi Indonesia (DCJ-CI) 2022 mengetengahkan sesi bertajuk 'Jurnalisme Data di Media Lokal dan Media Alternatif' bersama tiga pemimpin redaksi, Sabtu (27/7).

Pokok bahasannya serba-serbi mereka memilah, memilih, dan menggunakan data untuk menghasilkan cerita. Menerapkan jurnalisme data di media lokal dan alternatif menjadi tantangan tersendiri bagi setiap jurnalis di ruang redaksi.

Adi Marsiela menguraikan pandangannya tentang genre geojurnalisme yang diusungnya sebagai pemimpin redaksi Ekuatorial.

"Saya ini sebenarnya generasi pertama training jurnalisme data Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Kita sekarang ada di tiga titik berbeda, namun sama-sama, karena Eko dan Roni juga adalah kontributor Ekuatorial," kata Adi.

Ronny, yang disebutnya adalah Ronny Buol, pemimpin redaksi Zonautara.com. Selain itu, Eko Widianto, pemred Terakota.id, Malang. Keduanya juga menjadi pembicara pada sesi ini.

Ekuatorial merupakan sebuah media alternatif, yang kepemilikannya berada di bawah organisasi. Organisasinya bukan organisasi profesi seperti AJI, namun SIEJ (Society of Indonesian Environmental Journalists). SIEJ, perhimpunan jurnalis lingkungan Indonesia.

"Jadi, yang punya ketertarikan, punya minat ke lingkungan hidup, dan mereka tertarik untuk mengembangkan konten yang lebih membumi untuk lingkungan hidup bisa kemudian menyumbang ke Ekuatorial. Ekuatorial ini ada sejak tahun 2014. Jadi, perancangan itu sejak kepengurusan di tahun 2012, kemudian baru diwujudkan di 2014 sampai hari ini masih merupakan media nirlaba," imbuh Adi.

Ekuatorial mengusung tagar "Data, Maps, and Storytelling". Portal ini tersedia dua bahasa, Indonesia dan bahasa Inggris. Topiknya khusus isu lingkungan dan hal-hal lain di sekeliling lingkungan. Platform Ekuatorial ini bisa digunakan oleh anggota SIEJ serta para jurnalis lainnya, tapi tetap satu benang merahnya, yakni isu lingkungan hidup.

"Kalau bicara terkait dengan topiknya tadi, kita akan bicara soal editorialnya sendiri. Ada berapa orang sebenarnya? Kalau saat ini masih empat orang, baru empat orang, tapi untuk semester ke depan sampai tahun ke depan, kami sudah mendapatkan lampu hijau karena ini media basisnya milik organisasi dan kemudian organisasi bekerja sama dengan lembaga donor dan kami kemudian bisa memasukkan, untuk menambah tenaga, bisa dilihat bahwa timnya hanya ada empat orang," ujar Adi.

"Bisa main sebagai editor, kebetulan saja saya mantan wakil pemred, tapi memang didorong karena yang lain tidak mau. Itu saja. Harus ada penanggungjawab, kata dari organisasinya. Seperti itu. Yang satu lagi sebagai editor untuk translasi ke bahasa Inggris. Kami sekarang akan menambah tim," tambahnya.

Bagaimana sebenarnya praktik jurnalisme data di Ekuatorial? Adi cs juga mempublikasi cerita dari partner atau teman-teman jurnalis yang kemudian tidak bisa mendorong karyanya di medianya sendiri. Kenapa? Karena biasanya liputan berbasis data atau liputan lingkungan hidup, ceritanya panjang. Ketika ceritanya panjang, tidak relevan dengan media tempat dia bekerja, kemudian ditawarkan ke Ekuatorial. Apabila itu sesuai dengan visi dan misi Ekuatorial, maka itu bisa masuk ke dalam portal ini.

"Kalau ditanya hanya empat orang, tapi kontennya banyak? Ya, banyak. Karena reporternya itu ya member-member Ekuatorial. Daripada dibuang sayang, kalau mereka liputan lingkungan hidup, isinya tidak bisa naik di medianya. Silakan, jika kemudian memenuhi standar dari editor Ekuatorial, maka bisa masuk," singkap Adi.

Menurut Adi, Ekuatorial juga mengedepankan kerja-kerja kolaborasi sekaligus merepublikasi karya-karya dengan isu lingkungan hidup.

"Kalau di Ekuatorial, kami punya satu layanan yang memang ini masih dikembangkan. Jadi, basisnya geojurnalisme. Ketika teman-teman ketik pencari misalkan 'Kalimantan', maka harapannya bisa dikembangkan bahwa nanti semua konten yang asalnya dari Kalimantan bisa langsung tayang dan juga ada petanya. Kenapa? Karena Indonesia luas, dari Sabang sampai Merauke. Kadang untuk orang luar kadang tidak tahu konteksnya. Maka kita menggunakan bahasa Inggris juga. Tahunya orang luar 'kan Indonesia itu Bali atau Jakarta," ucapnya.

Tapi ketika mencari tempat seperti Bolaang Mongondow masih terjadi kesulitan. Itu di mana? Ekuatorial pun menyediakan peta.

"Kita juga menggunakan data, namun secara umum, rekan-rekan yang menyetorkan liputan dengan data di dalamnya masih cenderung menggunakannya untuk pelengkap belum kemudian mendalami dengan pendekatan seperti di KataData mencari masalah, mencari penyebab, mencari dampak, dan jika ada kemudian solusinya seperti apa. Jadi solusi itu bukan misalkan di UMN banjir, terus ditanya pak Rektor solusinya kalau banjir bagaimana, bukan seperti itu," tepisnya.

"Tapi dari basis datanya. Apa kemudian sudah ada upaya solusi yang dilakukan. Tugas jurnalis kemudian seharusnya yang berbasis data adalah mempertanyakan kembali apakah kemudian keputusan misalkan untuk bikin tanggul sebagai solusi pencegah banjir itu, apakah bisa efektif dan efisien, atau bagaimana. Itu pendekatan yang kami akan coba di Ekuatorial untuk liputan berbasis data," bubuh Adi.

Diuraikannya, contoh liputan seperti volume sampah yang masuk di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dan soal terdamparnya para gergasi menjadi bagian dari fellowship yang diselenggarakan oleh organisasi SIEJ. Di tahun 2020, Ekuatorial mengadakan fellowship bekerja sama dengan Ekonusa, isunya terkait lingkungan dan kelautan.

"Jika dilihat grafik, itu sebenarnya ada anomali yang tiba-tiba membesar. Namun di dalam ceritanya, jika dibilang ini data sebagai pelengkap, si jurnalisnya belum kemudian memperdalam kenapa bisa sampai ada anomali data," telaahnya.

Adi menjelaskan, memang banyak jurnalis menggunakan data dari CSO namun belum ditelusuri lebih dalam penyebabnya seperti apa dan fokus ke visualisasi itu masih banyak. Jadi kebanyakan mereka bertanya misalkan di Ekuatorial itu bisa menampung sampai berapa MegaByte untuk satu visualisasi yang statis atau yang dinamis.

"Bisa-bisa saja karena tinggal di-save di Adobe nanti saya save as ke file for web nanti file-nya akan mengecil. Tapi yang lebih inti bukan visualisasi, namun pesan apa yang mau disampaikan dan cerita apa yang disampaikan oleh basis data," tutur Adi.

Kondisi ihwal jurnalisme data di Ekuatorial, Adi mengaku masih belajar juga mencoba mengadaptasi proses, seperti mencari masalah, dampak, penyebab, dan solusi berbasis data. Story based inquiry, kalau apa yang dikembangkan oleh para jurnalis di mancanegara.

"Intinya, kami ingin mendasarkan temuan data, dari data kita turunkan hipotesis, jadi seperti layaknya membikin karya ilmiah. Harus ada hipotesisnya, dugaan sementara berdasarkan data, kemudian kita menyusun pertanyaan, dan juga menyusun rencana wawancara terhadap otoritas yang berkaitan dengan beragam data itu," cetus Adi.

Contoh liputan lainnya mengenai pencurian ikan oleh kapal asing. Itu menarik, karena jurnalis turun ke lapangan. Kemudian cerita pencurian semacam itu cukup banyak.

"Tapi kemudian didekati dengan master file proses itu, kita cari penyebabnya, kenapa selalu banyak kapal ikan asing. Kita cek apakah ada pengawasan, menggunakan datanya adalah mencari alokasi anggaran polisi atau TNI Angkatan Laut untuk mereka beroperasi. Dalam satu tahun mereka dapat anggaran berapa. Kemudian untuk ongkos bensin kapalnya berapa," serunya.

Adi kemudian menurunkan rincian dalam hitungan setahun. Dalam setahun, kalau aparat kedua otoritas itu harus melaut dengan dana yang ada, apakah bisa mencakup operasi selama 365 hari? Atau kemudian hanya bisa satu bulan? Kemudian dilihat datanya, pencurian itu 'kan terdata. Nanti dibandingkan. Ternyata karena kurang anggaran.

Kemudian juga Adi mengemukakan liputan bersama Tirto.id di mana mereka bisa menempelkan tampilan seperti grafik. Adi dkk di Ekuatorial juga masih belajar untuk menampilkan grafik dengan cara lebih menarik. Tapi mereka tidak ingin membebani jurnalis yang kemudian pusing dengan visualisasinya, tapi ingin lebih fokus ke cerita.

"Tantangan berikutnya, ada kolaborasi juga yang direpublikasi bersama dengan Project Multatuli. Ini kaitan liputan berbasis data juga. Seri ini, berupa news game. Itu dibuat di Project Multatuli. Jadi, kita masukkan untuk melawan taipan-taipan sawit. Nanti ada gamenya. Tapi ada penjelasannya, dari perusahaan apa, kemudian ada nilainya berapa, di wilayah mana," kata Adi.

Adi menjawab salah satu tantangan, kenapa AJI mengembangkan jurnalisme data. Karena tertarik dengan niat pemerintah. Kalau diperhatikan, bila kata pencarian "masjid" seharusnya Indonesia dengan 500 lebih kabupaten-kota, minimal ada data mesjid di masing-masing kabupaten-kota. Di kategori "masjid" itu cuma ada 113 data-set. Jadi wajar kalau ada keluhan tentang keberadaan data.

Kemudian bila memasukkan pencarian kata "polusi" cuma keluar 7 data-set soal polusi. Di bagian bawahnya "emisi" ada 37 dan untuk "sampah" ada 528 data-set. Di kategori "HIV" pada lingkup kabupaten-kota itu juga cuma ada 102 data-set.

"Ini salah satu tantangan dan harapannya kita bisa saling bantu. Karena penggunaan data bersama itu 'kan semangat dari para pendata? Jadi, bagaimana kita bisa bekerjasama untuk kemudian menggunakan data dan mengembangkan cerita-cerita yang lebih berdampak pada publik," pungkas Adi.

Berita Lainnya
×
tekid