sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Adakah miscarriage of justice di kasus Vina untuk menutupi jejak pelaku?

Akhirnya, salah hukum dikenakan kepada mereka yang tidak berdaya. Orang-orang yang sekira pantas jadi kambing hitam untuk dikorbankan.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Kamis, 23 Mei 2024 16:22 WIB
Adakah miscarriage of justice di kasus Vina untuk menutupi jejak pelaku?

Pasangan kekasih, Vina dan Eky tewas pada Sabtu malam, 27 Agustus 2016. Geng motor yang tengah berkeliling diduga menjadi pembunuh. Para pelaku kemudian menganiaya keduanya, lalu melakukan pemerkosaan. Jasad keduanya dibuang begitu saja ke jembatan layang hingga seolah menjadi kecelakaan tunggal.

Kasus ini usai setelah delapan pelaku ditangkap. Namun, Kisah pembunuhan sadis ini diangkat menjadi film dan membuat polisi menjadi sorotan. Sebab, sejumlah kejanggalan diangkat lagi, termasuk adanya tiga sosok yang misterius karena sempat disebut delapan pelaku lain, namun kemudian mencabut lagi pernyataan mereka, dan tiga orang tersebut seolah gaib keberadaannya.Sejumlah spekulasi menguat bahwa ada orang kuat di belakang para pelaku yang masih bebas berkeliaran itu. 

Salah satu pelaku yang telah menyelesaikan masa tahanannya selama 4 tahun, Saka Tatal, pun keluar dengan membuat pernyataan bahwa Ia korban salah tangkap dalam kasus pembunuhan pasangan kekasih di Cirebon itu.

Dosen Kriminologi UI, Mamik Sri Supatmi menyebut, konsep ini dikenal sebagai miscarriage of justice dalam keilmuannya. Ketika, pelaku diduga terlibat namun lepas dari jeratan karena memiliki hubungan orang berkuasa, entah itu pejabat, aparat, atau tokoh tertentu.  Akhirnya, salah hukum dikenakan kepada mereka yang tidak berdaya. Orang-orang yang sekira pantas jadi kambing hitam untuk dikorbankan.

Bukan hanya memuaskan hasrat publik yang mencari keadilan. Namun juga menutupi jejak dari pelaku yang sebenarnya.

Dugaan ini muncul dari pernyataan pengacara Hotman Paris menduga ada keterlibatan oknum aparat yang membekingi ketiga pelaku pembunuhan yang sampai saat ini masih buron. Meski seorang bernama Pegi sudah ditangkap kemarin.

“Peristiwanya demikian mencari kambing hitam pihak lemah yang tidak berdaya yang dikorbankan untuk memenangkan massa seperti nampaknya polisi telah bekerja keras,” kata Mamik kepada Alinea.id, Kamis (23/5).

Praktisi hukum dari Lembaga Bantuan Hukum GP Ansor, Muhammad Hamzah menyarankan, bagi korban salah tangkap harus mencari pendamping hukum yang mumpuni melakukan pembelaan dengan pembuktian dan saksi-saksi yang baik. Sementara, untuk pihak kepolisian seharusnya memberikan pembekalan pengetahuan berkala untuk para penyidiknya.

Sponsored

“Sehingga dapat menjalankan fungsi penyidikan dengan baik dan benar,” ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (22/5).

Pengacara David Ozora ini juga menyampaikan, salah tangkap secara hukum dapat diartikan, jika ada seseorang ditahan oleh kepolisian dan setelah gelar perkara ternyata tidak terbukti bersalah.

Atau pada saat pemeriksaan di persidangan pada pengadilan dan majelis hakim memutus bebas karena terdakwa tidak terbukti bersalah dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan di pengadilan. “Jadi seseorang dapat dinyatakan salah tangkap jika ada putusan pengadilan bukan berdasarkan asumsi belaka,” ujarnya.

Namun, jika terbukti telah terjadi salah tangkap dalam proses penyidikan yang dilakukan melalui proses praperadilan maupun atas vonis bebas majelis hakim pidana, maka korban salah tangkap berhak mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi. Sebagaimana di atur dalam KUHAP pasal 95 sampai pasal 101. 

Terkait ganti kerugian dan rehabilitasi di atur pada KUHAP Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Sayangnya, tidak familiar karena jarang terjadi kasus-kasus salah tangkap dan kurangnya edukasi mengenai hukum kepada masyarakat luas Indonesia

“Dalam waktu 3 bulan sejak putusan yang membebaskan orang tersebut untuk mengajukan gugatan ganti kerugian dan rehabilitasi,” ucapnya.

BELAJAR DARI MASA LALU

Sengkon dan Karta dituduh dan dihukum secara tidak adil atas tuduhan pembunuhan dan perampokan pada tahun 1974. Selama interogasi, keduanya dipaksa untuk mengaku melakukan kejahatan tersebut, melalui penyiksaan dan intimidasi oleh pihak kepolisian.

Akhirnya, pada tahun 1977, Sengkon dan Karta dijatuhi hukuman penjara masing-masing selama 12 tahun dan 7 tahun oleh Pengadilan Negeri Bekasi. Putusan ini didasarkan pada pengakuan yang dipaksakan dan bukti-bukti yang tidak kuat.

Kemudian, pada tahun 1981, seorang narapidana lain yang bernama Asmadi mengaku bahwa dialah pelaku sebenarnya. Kasusnya pun dibuka dan setelah dilakukan investigasi lebih lanjut, terbukti bahwa Sengkon dan Karta tidak bersalah. Alhasil, pada tahun 1982, Mahkamah Agung membatalkan putusan terhadap Sengkon dan Karta. Mereka dibebaskan dari penjara dan nama baik mereka dipulihkan.

Kasus Sengkon dan Karta mengungkap banyak kelemahan dalam sistem peradilan pidana Indonesia, termasuk praktik penyiksaan dalam mendapatkan pengakuan dan ketidakadilan dalam proses peradilan. 

Selain itu, ada pula penyiksaan dan pembunuhan terhadap perempuan, yakni Sumaridjem atau lebih dikenal dengan Sum Kuning. Ia adalah seorang gadis penjual telur dari Godean yang menjadi korban pemerkosaan pada September 1970. Ia diperkosa oleh sekelompok pemuda yang diduga sebagai anak seorang tokoh masyarakat di kota Yogyakarta.

Sumaridjem sempat dituntut oleh jaksa telah memberi keterangan palsu dengan sanksi tiga bulan penjara. Tuntutan tersebut ditolak oleh hakim dan Sum dibebaskan dari tuduhan. Seorang pedagang bakso keliling dijadikan kambing hitam dan dipaksa mengaku sebagai pelakunya.

Berita Lainnya
×
tekid