sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Prabowo dan Amien Rais dituding dalang kerusuhan 22 Mei

Sejumlah kalangan menuding keterlibatan Prabowo Subianto dan Amien Rais sebagai dalang aksi kerusuhan 22 Mei 2019.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Rabu, 29 Mei 2019 21:27 WIB
Prabowo dan Amien Rais dituding dalang kerusuhan 22 Mei

Sejumlah kalangan menuding keterlibatan Prabowo Subianto dan Amien Rais sebagai dalang aksi kerusuhan 22 Mei 2019.

Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto menilai peristiwa kerusuhan 22 Mei 2019 di Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak muncul begitu saja. Rangkaian aksi terjadi sejak 17 April, setelah proses hitung cepat (quickcount) berlangsung.

"Itu kan pemanasan sudah dimulai. Prabowo bilang 'mari kita langgar aturan', Amien Rais juga bilang 'mari kita turun ke jalan'. Dari sini ini sudah mulai, yang membonceng kegiatan ini sudah mulai berdatangan dan menghitung, apa yang akan saya dapat dari kegiatan ini, masing- masing sudah menghitung," tutur Soleman dalam diskusi yang digelar di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Rabu (29/5).

Soleman menjelaskan, ada beberapa kelompok yang menunggangi peristiwa ini. Ia mencurigai kelompok tersebut salah satunya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

Menurut dia, penunggangan aksi dapat terbaca ketika dipancing hingga ke Petamburan. Setelah mereka masuk Petamburan, lalu kericuhan mulai pecah.

Para penunggang berharap agar ormas Front Pembela Islam (FPI) yang bermarkas di Petamburan dapat muncul saat di lokasi itu ricuh. Namun, nyatanya FPI justru tidak keluar lantaran tidak ada di Petamburan.

Buktinya, kata dia, saat Habib Muchsin mengatakan dia sedang di luar dan FPI tidak pernah memberikan komando untuk menggelar aksi. Soleman memastikan para perusuh itu bukanlah kelompok FPI dan massa aksi 21-22 Mei.

"Mereka bukan orang dalam, dari Tasik segala macam, di sini sudah kelihatan yang ada di sini adalah kelompok-kelompok dari luar," kata dia.

Sponsored

Dalam pristiwa 22 Mei, kata dia, memang kuat diduga ada pihak-pihak yang menginginkan kerusuhan terjadi. Hal itu dapat dilihat ketika ditemukan beberapa ambulans yang membawa massa bayaran.

Lebih lanjut, Soleman mengatakan, sebenarnya pemerintah sudah membaca rencana aksi ini. Sehingga, pemerintah menutup sejumlah ruas jalan di tiap titik wilayah menuju Jakarta.

"Sudah jelas kok siapa orang yang bayar dan nyuruh. Dapat dilihat dari indikasi diawal, ini datangnya dari proses politik, tinggal faktanya saja harus dibuktikan," kata dia.

Ditegaskannya, polisi harus membuktikan atas indikasi-indikasi yang ada. Tindakan hukum sangat diperlukan selain proses politik. "Indikasi itu ya dari ajakan Pak Prabowo dan Amien Rais. Jadi dalangnya siapa? Tinggal polisi membuktikan karena tidak bisa kita menghukum hanya berdasarkan indikasi," ucapnya.

Kasus Malari

Sementara itu, Profesor Riset Bidang Perkembangan Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Profesor Hermawan Sulistyo menilai peristiwa yang terjadi pada aksi 21-22 Mei memiliki pola yang sama dengan apa yang pernah terjadi di tahun 1974 dalam peristiwa Malari.

"Setiap terjadi peristiwa seperti ini, polanya sama. Ada momentum politik, ada kontestasi antar berbagai pihak, lalu ada yang punya kepentingan berkaitan langsung dengan isu dalam pertarungan politik itu atau kepentingan yang lain," ungkap Hermawan pada kesempatan yang sama.

Peristiwa Malari mengacu pada kejadian Malapetaka 15 Januari 1974. Aksi ribuan mahasiswa saat era Soeharto itu berujung kerusuhan dan menyebabkan 11 orang tewas, 685 mobil hangus, 120 toko hancur, 128 orang luka berat dan ringan.

Menurutnya, peristiwa kerusuhan 22 Mei ini memiliki tujuan agar situasi politik menjadi chaos dan kekuasaan menjadi vakum. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh sebuah pertarungan para elite untuk membuktikan siapa yang kuat, akan mempunyai kekuasaan atau bahkan proteksi-proteksi ekonomi. 

Bisnis kerusuhan

Sejumlah kalangan memandang, demi penegakkan hukum guna mengusut tuntas aksi kerusuhan 21-22 Mei di depan Bawaslu, kepolisian perlu memanggil pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai saksi. 

Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens mengatakan, akar mula terjadinya kerusuhan 21-22 Mei adalah karena adanya penolakan Prabowo dan Sandi terhadap kemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan menyatakan pemilu curang. 

Kemudian, paslon 02 tersebut juga dinilai gagal dalam memperlihatkan kejiwabesaran mereka untuk merespons hasil pemilu. Terlebih, kubu Prabowo-Sandi juga tidak memiliki sikap tegas untuk menyatakan tindakan aksi 21-22 Mei adalah tindakan yang di luar akal sehat. 

"Yang jadi persoalan, ketika Prabowo-Sandi tidak memiliki sikap tegas dalam mengutuk segala kekerasan kerusuhan pada 21-22 Mei dan mungkin yang akan terjadi ke depan," kata Boni saat ditemui di bilangan Karet, Jakarta Selatan, Rabu (29/5). 

Untuk itu menurut Boni, kepolisian perlu memanggil Prabowo-Sandi untuk dimintai keterangan dan harus bertanggung jawab terhadap kerusuhan yang terjadi. 

"Dalam konteks ini, Prabowo-Sandi harus juga dimasukkan ke dalam kategori orang yang bertanggung jawab terhadap kerumitan, kekerasan, kerusuhan yang terjadi," ucap Boni. 

Dalam pengamatan investigasi yang dilakukan LPI, lanjut Boni, pihaknya menemukan ada sekelompok orang yang memiliki kegiatan bisnis kerusuhan dalam menumbangkan demokrasi. 

Kelompok bisnis ini dikelola oleh kaum konglomerat yang pernah berjaya di masa lalu dan berkolaborasi dengan kaum radikal yang ingin mendirikan negara khilafah atau negara berbasis agama. 

"Mereka besar di tangan Soeharto dan mereka sudah biasa mengambil untung kekayaan negara dari penegakkan hukum, tanpa ada yang mengawasi mereka. Dan sekarang ingin kembali berkuasa," tuturnya. 

Kendati demikian, dalam mengusut tuntas kaum konglomerat dan kaum radikal yang bersekutu ini cukup sulit. Namun, Boni meyakini aparat penegak hukum di Indonesia bisa menguak kasus ini secara tuntas. 

"Karena mereka cerdas untuk melarikan diri dari pengusutan hukum dan tidak mudah. Saya percaya, aparat sedang bekerja keras dan mampu membuka kotak pandora aksi ini," jelas Boni. 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers tentang situasi terkini, di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (22/5) sore.

A post shared by Sekretariat Kabinet (@sekretariat.kabinet) on

Cuci tangan

Pada kesempatan yang sama, Sosilog Universitas Indonesia (UI) Kastorius Sinaga mendukung pernyataan Boni Hargens untuk memanggil Prabowo-Sandi sebagai saksi atas kerusuhan ini. 

Pasalnya, aksi kerusuhan ini dilatarbelakangi adanya ketidakpuasan para pendukung Prabowo-Sandi yang tidak puas atas hasil penetapan perolehan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketidakpuasan itu memiliki motif untuk membentuk political deadlock, dan membuat situasi chaos sehingga merugikan demokrasi. 

"Prabowo harus diperiksan minimum sebagai saksi atas kerusuhan ini. Karena fakta di lapangan menunjukkan banyak yang menuju ke dia, timnya dia," ujarnya. 

Kastorius mencontohkan, adanya senjata yang diselundupkan dari Aceh, lalu uang untuk membayar para preman atau perusuh, serta adanya ambulans yang berisi batu untuk mengamunisi perusuh melakukan kerusuhan. 

"Ya polisi harus memanggil Prabowo untuk dimintai keterangan dan diperdalam kembali dan termasuk Amin Rais untuk mengkonstruksikan kasus besarnya," ujar dia. 

Tokoh Muda Nahdlatul Ulama (NU) Guntur Romli menambahkan, kubu Prabowo-Sandi tidak boleh cuci tangan dan secara kuat diduga terlibat dalam aksi kerusuhan 21-22 Mei. 

Pasalnya kubu Prabowo sebelumnya, saat KPU memutuskan penetapan suara Pilpres 2019 sudah melakukan provokasi untuk tidak mau mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Guntur juga menuding kubu Prabowo-Sandi akan mengerahkan masa untuk turun ke jalan. 

"Kita melihat ambulans dan tokoh-tokoh orang yang terlibat di sana, dan sebagainya. Ini urusan politik dan minta Prabowo jangan cuci tangan dan polisi ungkap jelas dan tegakkan hukum sejelas-jelasnya. Jangan pakai lagi isu agama, jihad itu ke Allah bukan bela Prabowo," kata Guntur dalam kesempatan yang sama. 

Guntur Romli juga mendukung upaya Polri untuk tidak hanya menindak pion-pion perusuh yang membuat kerusuhan. Tapi bisa menangkap siapa dalang yang membayar pelaku kerusuhan. 

"Ini benar-benar kerusuhan yang by design dan harus dibuka siapa itu. Apa mereka menurunkan masa yang damai dan mereka yang rusuh?" tuturnya. 

Polri kurang bukti

Kepolisian masih kekurangan bukti dalam mengungkap aktor intelektual di balik kericuhan Aksi 22 Mei dan terus melalukan pendalaman.

"Perlu pendalaman alat bukti yang dimiliki, nanti kalau misalnya alat bukti yang dimiliki sudah cukup dari hasil analisis gelar perkara, pasti nanti akan ditetapkan sebagai tersangka dan akan kami sampaikan," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Gedung Mabes Polri, Jakarta.

Ia menegaskan belum diungkapnya aktor intelektual bukan lantaran terdapat tekanan dari pihak lain.

Polisi dalam bekerja mengusut kasus disebutnya berdasarkan fakta hukum dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah sehingga tidak terburu-buru dalam mengungkap kasus.

"Proses pembuktian yang dilakukan oleh Polri adalah proses pembuktian secara ilmiah, bukan hanya dari satu perspektif, tetapi dari berbagai perspektif, ini proses pembuktian hukum, demikian," ucap Dedi Prasetyo.

Sebelumnya polisi telah menangkap enam orang pemasok senjata untuk kerusuhan aksi 22 Mei 2019, yakni seorang perempuan berinisial AF alias Fifi, warga Rajawali, Pancoran, Jakarta Selatan, serta HK alias Iwan, AZ, IR, TJ dan AD.

Dari semua tersangka, empat orang di antaranya bertugas sebagai eksekutor yang membuat rusuh di aksi 22 Mei dan merencanakan membunuh empat tokoh nasional.

Keempat tersangka adalaj HK, AZ, IR, dan TJ. Dua lainnya adalah penyuplai dan penjual senjata api, yakni AD dan AF. (Ant).

Berita Lainnya
×
tekid