sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

"Kalau ditakdirkan mati, kita enggak bisa menolak..."

Riset mengindikasikan kalangan lansia rentan mengalami stres dan depresi sepanjang pandemi Covid-19

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Selasa, 06 Des 2022 15:30 WIB

Ketakutan akan kematian umumnya melanda warga lanjut usia (lansia) saat pandemi Covid-19 merebak. Sebagaimana diungkap berbagai studi, SARS-Cov-2 bisa sangat mematikan bagi warga lansia. Apalagi, jika pasien lansia itu punya penyakit penyerta. 

Namun, itu tak berlaku bagi Sumardi, 67 tahun. Pemilik toko kelontong di kawasan Kabasiran, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu mengaku lebih takut tak punya duit. Ketimbang soal Covid-19, ia lebih sering gamang karena pendapatannya yang terus turun. 

“Biasa pendapatan kotor Rp800 ribu sampai Rp900 ribu sehari. Bersihnya, bisa dapet Rp100 ribu sampai Rp120 ribu. Sekarang, enggak nyampe segitu," ucap Sumardi saat berbincang Alinea.id di toko kelontongnya, Sabtu (3/12).

Dari informasi di televisi, Sumardi paham warga lansia sepertinya termasuk yang rentan tertular Covid-19. Sudah sekitar 25 tahun, ia juga mengidap asam urat. Jika penyakit itu sedang kambuh, Sumardi mengaku ia bahkan sampai tidak bisa jalan.

Keganasan Covid-19 tak bikin Sumardi takut. Ia lebih khawatir harus diisolasi mandiri apabila dinyatakan positif Covid-19. Sumardi tak tahan kesepian. Ia mendengar pasien Covid-19 sama sekali tak boleh dikunjungi. 

"Kan disuruh di rumah sendiri (isolasi). Terus menyangkut Covid-19 yang jadi ketakutan, orang-orang banyak cerita, kalau yang Covid-19 itu enggak boleh ditengok," kata kakek yang sudah punya lima cucu itu. 

Ketakutan akan isolasi itu, kata Sumardi, bikin ia stres. Namun, ia tak mau bercerita soal tekanan mental itu kepada keluarganya. Ia merasa masih mampu menangani stres sendiri. "Nanti, begini-begini (dikasih saran ini-itu). Yang ada, stresnya makin menjadi," imbuh dia.

Hingga kini Sumardi mengaku masih tetap khawatir bakal tertular Covid-19. Apalagi, belum ada pengumuman pandemi telah berakhir. Selain ihwal virus, soal duit juga bikin Sumardi kerap tak bisa tidur nyenyak.

Sponsored

"Karena pendapatan (berkurang drastis). Itu yang jadi pikiran, stres. Walaupun istilahnya sekarang Covid-19 itu sudah mayoritas bisa ditangani sama dokter," ucap Sumardi. 

Awi, 68 tahun, memiliki cerita yang tak jauh berbeda. Pada awal pandemi Covid-19, ia mengaku tak terlalu paranoid. Akan tetapi, informasi yang dia terima dari televisi bikin dirinya jadi terus kepikiran dengan pagebluk.

“Saya lihat televisi saja sudah malas. Tiap nonton, pandemi lagi, pandemi lagi. (Berita) yang mati, yang sembuh. Saya enggak mau nonton begitu,” ucapnya saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (4/12).

Sama seperti Sumardi, ketakutan Awi terhadap pandemi utamanya bukan terhadap ganasnya virus itu. Akan tetapi, Awi mengaku lebih takut kalau sampai dibawa ke tempat isolasi mandiri, seperti di Wisma Atlet, Jakarta.

Tak seperti lansia sehat lainnnya, Awi tak bisa divaksin. Pasalnya, warga Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten itu menderita diabetes. Meski begitu, Awi tak putus asa. 

“Jadi, saya bilang sama dokter, ‘Dok, saya percaya Tuhan saja deh. Bodo amat, (daripada) pusing’. Kalau takdir sudah menentukan begitu (meninggal), kita enggak bisa menolak,” ujar kakek yang sudah punya 15 cucu itu.

Supaya tidak stres, Awi mengaku kini rajin menggeluti hobi memancing. Ikan-ikan hasil pancingan ia bagi ke tetangga. “Lihat mereka (tetangga) senang, akhirnya saya bahagia. Kan obat buat kita,” kata Awi.

Berbeda dengan Sumardi dan Awi, Cecep Iskandar mengaku biasa saja menghadapi pandemi Covid-19. Kakek berusia 70 tahun itu menyadari kalau memikirkan pagebluk secara berlebihan bisa bikin stres atau depresi.

"Tapi, saya tetap vaksin. Kalau ketakutan berlebihan sih enggak," ucap warga Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat itu kepada Alinea.id, Minggu (4/12).

Saat gelombang pandemi tengah memuncak tahun lalu, Cecep juga tak ambil pusing. Dia tetap berjualan batu akik di sebuah lapak yang tak jauh dari rumahnya. "Saya tegar saja menghadapinya. Saya pikir, ini dari Tuhan," imbuh dia.

Petugas medis dan Unit Pelaksana Angkutan Sekolah (UPAS) Dishub DKI Jakarta mengevakuasi pasien lanjut usia terkonfirmasi COVID-19 dari panti di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat,  (22/12/2020). /Foto Antara

Beragam faktor

Maret lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan terkait peningkatan prevalensi kecemasan dan depresi secara global selama pandemi Covid-19. WHO mencatat prevalensi stres dan depresi meningkat hingga sekitar 25% pada tahun pertama pandemi.

Ada beragam alasan yang memicu peningkatan prevalensi, di antaranya perasaan kesepian selama pandemi, takut terinfeksi Covid-19, penderitaan dan kematian diri sendiri atau orang yang dicintai, kesedihan setelah berduka, dan soal finansial.

Dirilis November lalu, riset terhadap 20.000 warga lansia di Kanada menunjukkan peningkatan prevalensi depresi di kalangan lansia. Hasil riset menemukan 1 dari 8 warga lansia mengalami depresi untuk kali pertama selama pandemi. 

Dosen psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro merinci beragam faktor yang bisa menjadi penyebab meningkatnya stres dan depresi di kalangan lansia pada masa pandemi. Pertama, ketakutan akan kematian. 

"Sebab (Covid-19) sudah memakan banyak korban," kata Koenjtoro saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (3/12).

Hingga awal Desember, jumlah pasien yang meninggal karena Covid-19 di Indonesia telah mencapai sekitar 160 ribu orang. Dari statistik itu, jumlah korban Sars-Cov-2 dari kalangan lansia mencapai sekitar 28 ribu orang. 

Faktor lainnya, lanjut Koenjtoro, ialah terbatasnya aktivitas di masa pagebluk. Kondisi tersebut lazim membuat warga kalangan lansia menjadi jenuh. 

"Nah, jenuh itu mengakibatkan stres. Saya pernah mengalami depresi berat juga ketika saya enggak bisa pergi ke mana-mana saat pandemi," ujarnya. 

Soal stres karena penurunan pendapatan, Koentjoro mengatakan, itu merupakan hal yang wajar. Idealnya, menurut Koenjoro, seharusnya warga dari kalangan lansia sudah tak lagi bekerja. Dengan begitu, stres karena tekanan hidup bisa dikurangi. 

“Saya mengatakan (seseorang dikategorikan) lansia itu karena hidupnya ada yang nanggung. Paling tidak ada anak (yang membiayai). Tapi, kalau lansia masih mencari uang, memang lebih berat. Seharusnya lansia sudah tidak cari uang," kata dia. 

Alih-alih menenangkan, Koentjoro membenarkan informasi dari media massa dan televisi kerap memicu stres dan depresi di kalangan lansia. Itulah kenapa penanganan depresi di kalangan lansia sulit dilakukan. Pasalnya, informasi-informasi soal Covid-19 masih berseliweran. 

Stres dan depresi di kalangan lansia, kata Koentjoro, tak bisa digeneralisasi. Pasalnya, ada beragam faktor yang jadi pemicu. "Sumbernya depresi apa? Kalau takut mati, ya, itu yang mesti kita tembak. Jangan (sumber depresinya) takut mati, ditembaknya pakai rekreasi. Ya, enggak bisa," jelasnya.

Sebagai solusi generik untuk paranoia terhadap kematian, Koentjoro mengusulkan pendekatan secara spiritual alias berserah diri kepada Tuhan. "Ya, siap mati. Kematian itu saya siapkan. Malah kita justru enggak cemas jadinya," ujar Koentjoro.

Ilustrasi kegiatan vaksinasi untuk kalangan warga lansia. /Foto Antara

Redam depresi

Psikolog Shanty Komalasari menilai wajar jika depresi di kalangan warga lansia terindikasi meningkat sepanjang pandemi Covid-19. Sebelum pandemi pun, menurut dia, kalangan warga lansia memang rentan dibekap stres dan depresi. 

Seiring bertambahnya usia, warga lansia mengalami penurunan kemampuan fisik, kognitif, dan afeksi atau perasaan. Hal-hal biasa dilakukan pada masa produktif, kini tak bisa lagi mereka lakukan. 

"Dengan segala keterbatasan yang semakin terbatas bagi para kelompok lansia selama pandemi, tentu membuat mereka yang rentan terhadap stres dan depresi ini. (Prevalensinya) jadi meningkat," ujar Shanty kepada reporter Alinea.id, Senin (5/12).

Banjir informasi, termasuk di antaranya hoaks, via media sosial dan media mainstream juga jadi pemicu stres. Dijejali beragam informasi, warga lansia umumnya bakal kebingungan. Shanty menyebut kalangan lansia cenderung berpikir berlebihan selama pandemi. 

"Lalu kecemasan, depresi, dan stres itu di masa pandemi juga semakin meningkat karena tidak mampu melogikakan (situasi) dan memang belum ada solusi pada saat itu. Ditambah dengan kemampuan kognitifnya menurun," jelas Shanty.

Bagi kalangan lansia, situasinya bertambah buruk lantaran aktivitas pereda stres tak bisa mereka lakukan selama pandemi, semisal ikut pengajian atau berekreasi dengan cucu-cucu mereka. Saat vaksin belum ditemukan, pertemuan tatap muka dengan keluarga jauh dilarang pemerintah. 

Infografik Alinea.id/Rhaenaldy

Dalam mengatasi depresi dan stres di kalangan lansia, Shanty menjelaskan beberapa cara yang bisa dilakukan. Pertama, menyederhanakan cara berpikir untuk meminimalisir overthinking. "Itu bisa dilakukan dengan membatasi informasi," kata dia.

Langkah kedua, lanjut Shanty, warga lansia dianjurkan untuk hanya memikirkan hal-hal yang penting saja. Ketiga, warga lansia disarankan belajar mengendalikan emosi.

"Bagaimana cara mengendalikannya? Bisa melakukan hal-hal yang membuat dia lebih nyaman, seperti pendekatan religius. Itu membuat beliau tenang, itu otomatis akan membantu merasa lebih nyaman. Selain itu, bisa melakukan hobinya," ujar Shanty.

Cara keempat yang dapat dilakukan dalam mengatasi depresi dan stres di kalangan lansia adalah berkaitan dengan fisiknya. Menurut Shanty, olahraga ringan juga perlu dilakukan oleh mereka yang sudah berusia lanjut.

"Karena yang bisa mengimbangi kesehatan psikologis itu kesehatan fisik. Artinya, perlu melakukan olahraga-olahraga ringan yang konsisten. Kalau yang kelima ini bisa berhasil dipenuhi, maka lansia itu akan sehat secara mental dan dapat menurunkan stres dan depresinya," jelas 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid