sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Darurat sampah di pesisir Jakarta: "Bukan ikan yang nyangkut, tapi pampers..."

Tumpukan sampah kiriman dari daratan membuat pesisir Jakarta tercemar dan mengancam mata pencaharian nelayan.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Kamis, 15 Des 2022 06:00 WIB
Darurat sampah di pesisir Jakarta:

Bersama sejumlah rekannya, Sauri, 61 tahun, sibuk merapikan jala ikan di sandaran kapal nelayan di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (9/12) petang itu. Dengan cekatan, Sauri menjahit bagian-bagian jala yang robek dan koyak. 

Jala itu rusak bukan karena besarnya bobot ikan-ikan hasil tangkapan.  Belakangan, ikan-ikan sedang sudah ditangkap. Alih-alih panen ikan, Sauri dan rekan-rekannya justru lebih sering membawa pulang sampah ke daratan. 

“Sudah enggak bisa dengan kata-kata lagi. Memang banyak benar (sampahnya). Jadi meresahkan nelayan karena sampah sudah sampai ke tengah laut,” ujar Sauri saat berbincang dengan Alinea.id.

Cemaran sampah di laut, kata Sauri, bikin ikan-ikan "menghilang" di kawasan pesisir. Jika ingin pulang dengan hasil yang lumayan, perahu nelayan harus bergerak ke tengah laut, minimal sekitar tiga kilometer dari dermaga.

“Tapi, itu juga belum tentu (ada ikannya). Kemarin saja, sampai hampir dekat pulau (Kepulauan Seribu), tetap saja kosong,” keluh pria yang sudah jadi nelayan sejak kecil itu.

Sampah di laut, terang Sauri, mayoritas berbahan plastik. Popok termasuk sampah yang paling banyak juga ditemukan para nelayan di laut. Ada kalanya sampah yang tersangkut dalam jala masih "terkemas rapi" dalam karung.  

Tak hanya jala saja yang jadi korban tumpukan sampah. Jika sedang apes, menurut Sauri, baling-baling kapal yang kena sampah di laut bisa patah. “Bukan ikan yang nyangkut (di jaring), tapi pampers (merek popok) yang nyangkut. Pampers sama ikan, (ukurannya) gedean pampers," kata dia. 

Selain di laut, sampah juga mengepung permukiman nelayan di Kalibaru. Namun, Sauri mengklaim sampah itu bukan dibuang warga setempat. Menurut dia, sampah itu kiriman dari sungai yang terbawa sampai ke pesisir dan laut.

Sponsored

“Di sini aktif dibuangin tiap minggu (sampahnya). Dan, orang sini sudah ada tempat sampahnya. Enggak ada yang buang sampah sembarangan di sini,” terang dia.

Meskipun rutin dibersihkan, menurut Sauri, kampungnya hampir setiap hari dipenuhi sampah. Saat hujan deras, tumpukan sampah biasanya tiba bersama luapan air sungai. 

"Kemarin saya berangkat saja hampir ke pulau itu sampah semua. Pokoknya, bukan dari sini saja masalah sampah, setiap sungai. Kalau air surut, sudah pasti sampah lari ke laut. Kalau pasang, mendingan. Laut jadi agak bersih,” jelasnya.

Cerita Sauri diamini Ratam, salah satu warga Kalibaru yang juga berprofesi sebagai nelayan. Saat ditemui Alinea.id tak jauh dari kapal Sauri, Ratam sedang "nangkring" di perahunya. Ratam juga sedang membenahi jala yang rusak bersama sejumlah rekannya. 

“Ada pampers yang satu karung. Pokoknya, macam-macamlah (sampahnya). Pengaruh juga untuk kita nelayan tradisional. Apalagi, kalau sudah kena sampah dari Muara Angke (Jakarta Utara). Kalau angin musim barat, akhirnya tertimbun. Gulungan itu, kayak pulau," kata dia. 

Menurut Ratam, sampah yang sampai ke pesisir Kalibaru didominasi limbah rumah tangga dari Jakarta. Sesekali, Bekasi juga mengirim tumpukan sampah ke pesisir. "Paling sampah kayu (dari Bekasi)," kata pria berusia 54 tahun itu. 

Pencemaran laut karena sampah, kata Ratam, sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Tumpukan sampah itu membuat ikan-ikan ogah mendekat ke dermaga. Situasi itu bikin para nelayan harus melaut hingga berkilo-kilometer untuk mendapat ikan.

“Dulu waktu pindah ke Kalibaru 1992, kita nyari (ikan) itu enggak susah. Kita berangkat pagi, jam sembilan (pagi) sudah pulang. Itu sudah bawa hasil di atas 50 kilogram. Itu sore bisa berangkat lagi," kata dia. 

Jika dikumpulkan, menurut Ratam, sampah di Kalibaru bisa mencapai 1 ton per hari. Ia berharap persoalan itu jadi perhatian Pemprov DKI Jakarta. Terlebih, cemaran sampah di laut sudah terasa mengancam mata pencaharian dia dan rekan-rekannya. 

"Edukasi kepada masyarakat agar tak buang sampah di sungai dan laut. Setelah masyarakat disiplin bisa menjaga kebersihan, otomatis dari kecamatan atau kelurahan kan terketuk hatinya buat bikin pengelolaan sampah," katanya.

  Sampah menumpuk pada perairan di samping sandaran kapal di Kampung Nelayan, Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (9/12). Alinea.id/Akbar Ridwan

Kiriman daerah penyangga

Tak hanya mengepung pesisir Jakarta, sampah kiriman juga rutin mengotori pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Pertengahan November lalu, misalnya, sampah kiriman dari berbagai daerah dilaporkan memenuhi bibir pantai di Pulau Kelapa. 

"Setiap memasuki musim hujan, wilayah perairan Kepulauan Seribu biasanya menerima cukup banyak sampah," ujar Muslim, Lurah Pulau Kelapa, dalam sebuah keterangan tertulis

Tumpukan sampah itu, menurut Muslim, terbawa arus dari wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Dalam sehari, sampah yang menumpuk di bibir pantai bisa mencapai puluhan meter kubik. 

Dengan alat seadanya, petugas dan warga setempat bergotong-royong untuk membersihkan sampah yang menumpuk di pinggir laut. "Pembersihan dilakukan untuk mengantisipasi pencemaran laut dari sampah," jelas Muslim. 

Koordinator Urusan Penyuluhan dan Humas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Yogi Ikhwan, menegaskan Pemprov DKI serius menangani masalah sampah laut dan pesisir. Upaya mencegah sampah dari Jakarta mencemari kawasan pesisir merupakan tugas Unit Pelaksana Kebersihan (UPK) Badan Air. 

“Ada lebih 5.000 petugasnya yang tersebar di 13 aliran sungai besar yang melintas di Jakarta dan sungai-sungai penghubung lainnya," ucap Yogi saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Jumat (9/12).

Khusus di Kepulauan Seribu, penanganan sampah menjadi tugas petugas Suku Dinas (Sudin) Lingkungan Hidup. Di setiap pulau-pulau besar di Kepulauan Seribu yang berpenghuni, sudah ada petugas khusus yang melakukan pembersihan.

“Kemudian kita punya kapal sampah. Ada delapan kapal sampah yang setiap hari melakukan penyaringan sampah di sekitar teluk-teluk Kepulauan Seribu dan di perairan laut Jakarta,” jelasnya.

Yogi mengatakan, sampah-sampah yang terbawa sampai ke Kepulauan Seribu nantinya akan dikelola di tempat. Penanganan seperti itu ditempuh karena Pemprov DKI mengupayakan agar sampah tak perlu lagi dibawa ke darat atau TPS Bantargebang.

Perihal sampah di laut dan pesisir Jakarta, Yogi mengakui, ada kendala yang dihadapi Pemprov DKI Jakarta. Ia menyebut Pemprov kesulitan menanganinya lantaran sampah yang menumpuk di perairan Jakarta umumnya datang dari daerah penyangga. 

"Misalnya, kayak sekarang musim angin barat. Sampah pasti menumpuk dari daerah-daerah penyangga khususnya bagian barat itu menuju ke pulau-pulau," jelasnya.

Yogi mengatakan, Pemprov DKI telah membangun komunikasi dengan pemda yang menjadi penyangga ibu kota. Koordinasi dan kerja sama juga dilakukan untuk meminimalisasi hanyutnya sampah hingga ke laut.

“Karena hanya Jakarta yang punya UPK Badan Air. Jadi, secara khusus hari per hari menangani kebersihan di badan airnya. Di daerah lain belum ada. Jadi, kemungkinan sampah dari daratan bisa ke laut (karena berasal) daerah lain,” ujar dia. 

  Petugas membersihkan sampah yang menumpuk di pesisir Pulau Kelapa, Kabupaten Kepulauan Seribu, Kamis (17/11). /Foto dok. Sudin Kominfotik Kepulauan Seribu

Tanggung jawab korporasi 

Hasil riset monitoring yang ditulis Intan Suci Nurhati dan Muhammad Reza Cordova dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)—sekarang dilebur menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—menunjukkan sekitar 59% sampah yang mengalir di sembilan muara sungai adalah sampah plastik yang didominasi styrofoam.

Sembilan sungai yang menjadi sumber sampah itu adalah Dadap, Angke, Pluit, Ciliwung, Kali Item, Koja, Marunda, dan Kali Bekasi. Dalam kajian itu, mereka mengestimasi ada sebanyak 8.32 ton sampah kiriman yang hanyut ke Teluk Jakarta setiap harinya. 

Corporate Plastic Campaign Project Lead Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar mengatakan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Jakarta harus turut bertanggung jawab membersihkan sampah dari pesisir Jakarta. Pasalnya, mayoritas sampah yang mengotori kawasan pesisir dan perairan ialah sampah kemasan sekali pakai. 

“Bagaimana di darat kita bisa menyetopnya, bisa meminimalisirnya, bahkan mungkin tidak akan memperparah yang ada di laut. Di sini, produsen juga perlu bertanggung jawab supaya laut tidak jadi tempat sampah,” kata Ibar kepada Alinea.id, Jumat (9/12).

Tanggung jawab produsen, jelas Ibar, sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Berdasarkan catatan Greenpeace, hingga kini baru sekitar 30 perusahaan yang telah mengirim peta jalan pengelolaan sampah kemasan ke KLHK.

“Yang diatur kan manufaktur, ritel, sama FnB (food and beverages). Walaupun sebenarnya si produsen sudah mengikat peta jalan, tapi sampai saat ini kita tidak tahu peta jalan mereka seperti apa. Kita sedang berupaya agar para produsen terbuka dengan peta jalannya," ujar dia.

Ibar menegaskan, produsen tidak bisa lepas tangan dari sampah produk mereka. Dia mengatakan tanggung jawab produsen terhadap kemasannya tidak hanya setelah konsumsi saja, tapi juga menyoal siklus sampah itu sendiri.

“Sebenarnya kan mereka bisa menjual produk mereka, memasarkan produk mereka sampai ke pelosok. Mengapa mereka enggak bisa mengambil (sampah kemasannya) lagi ke pelosok? Artinya, mereka kan sebenarnya punya jaringan,” jelasnya.

Menurut Ibar, upaya perusahaan-perusahaan dalam mengelola sampah kemasan produk masih minim. Selama ini, kebanyakan perusahaan besar mengandalkan program-program mendaur ulang atau recycling

Upaya-upaya mendaur ulang sampah oleh perusahaan, lanjut dia, jarang  dibarengi dengan upaya-upaya reuse (menggunakan kembali) dan reduce (mengurangi). "Recycling itu opsi paling terakhir. Tetapi, selama ini opsi yang diambil ke recycling tanpa mengurangi dulu," imbuhnya. 

Berita Lainnya
×
tekid