sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Evaluasi HAM di Indonesia, ICJR serahkan sejumlah dokumen ke PBB

Pemerintah diharapkan dapat meratifikasi Protokol Opsional kedua KIHSP.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Senin, 04 Apr 2022 12:16 WIB
Evaluasi HAM di Indonesia, ICJR serahkan sejumlah dokumen ke PBB

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengirimkan empat dokumen Laporan Peninjauan Berkala Universal atau Universal Periodic Review (UPR) ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk beberapa isu reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. Dokumen itu terbagi ke dalam dua jenis laporan, yaitu sebuah laporan yang dilakukan ICJR secara mandiri, dan tiga laporan bersama dengan koalisi masyarakat sipil.

Peneliti ICJR, Adhigama A. Budiman mengatakan, hal itu dilakukan karena pada tahun ini, Indonesia akan melalui proses peninjauan berkala universal yang ke-4 kalinya oleh mekanisme Hak Asasi Manusia (HAM) PBB. Tujuannya, untuk menilai komitmen Indonesia terhadap pemenuhan HAM di dalam negaranya. 

Dalam mekanisme ini, lembaga swadaya masyarakat diberikan kesempatan untuk mengirimkan laporan situasi HAM di Indonesia.

“Pertama, Laporan mandiri ICJR adalah terkait akses perempuan terhadap keadilan,” kata Adhigama dalam keterangan, Senin (4/4).

Adhigama menjelaskan, laporan ini diambil dari kerja-kerja riset ICJR, yaitu pertama melaporkan mengenai perempuan dalam pidana mati, diambil dari riset berjudul Yang Luput Dibahas-Perempuan dalam Pusaran Pidana Mati (2021). Riset ini melaporkan situasi perempuan di Indonesia secara spesifik dalam melihat aspek kerentanan gendernya dalam peradilan pidana mati, penghormatan atas hak peradilan yang adil, pengaruh slogan War on Drugs dalam mengadili perempuan berhadapan dengan pidana mati

Kedua, riset ICJR dan SAFEnet tentang Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), diambil dari riset berjudul Jauh Panggang dari Api Menilik Kerangka Hukum Kekerasan Berbasis Gender Online di Indonesia (2022). Hasil riset ini melaporkan terkait perihal akses bagi perempuan yang mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online.

Selanjutnya, ada tiga laporan bersama koalisi masyarakat sipil (joint submission), seperti bersama Rumah Cemara (RC) dalam laporan mengenai Kekerasan Polisi dan Masalah Hukum Acara Pidana, bersama KontraS mengenai pidana mati; dan ketiga, dan bersama Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (HATI) juga mengenai pidana mati.

Adhigama menyatakan, di dalam laporan mengenai Kekerasan Polisi dan Masalah Hukum Acara Pidana, pihaknya memberikan rekomendasi supaya pemerintah Indonesia melakukan pembaharuan hukum acara atau KUHAP. Sehingga, dapat menempatkan Jaksa sebagai dominus litis, memperkuat pengawasan lembaga yudisial/pengadilan dalam pelaksanaan upaya paksa, untuk mengatur mengenai standar minimum bagi tahanan, penguatan dalam hukum pembuktian, meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT).

Sponsored

Pihaknya dan KontraS juga memberikan masukan terhadap situasi umum penerapan pidana mati di Indonesia. Rekomendasi bagi pemerintah Indonesia itu terkait dorongan melakukan komutasi bagi para terpidana mati yang sudah lebih dari 10 tahun di dalam deret tunggu. Selain itu, membentuk pedoman penerapan prinsip peradilan yang adil bagi orang yang berhadapan dengan pidana mati, dan merevisi PERMA No. 7 tahun 2014. 

Pemerintah diharapkan dapat meratifikasi Protokol Opsional kedua Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP), dan melanjutkan proses pembaharuan hukum pidana (KUHP) secara transparan, serta penghapusan total terhadap pidana mati. 

Pihaknya juga berharap ada pelatihan HAM bagi hakim dan jaksa, dengan mengutamakan pemidanaan alternatif di dalam politik kebijakan pidana di Indonesia dengan dengan melihat standar HAM dan implementasi Restorative Justice. Ditambah, layanan medis dan psikologi bagi para terpidana mati di dalam deret tunggu.

“Sehingga terpidana mati bisa melakukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali,” ucap Adhigama.

Sebagai catatan, Indonesia sebelumnya juga telah mendukung sebuah rekomendasi dari negara Austria, Namibia, dan Italia untuk melakukan penangguhan (moratorium) terhadap pidana mati secara hukum (de jure) dan mengambil langkah untuk penghapusan total pidana mati. Hal ini sayangnya di dalam implementasinya, tuntutan, dan putusan menggunakan pidana mati masih digunakan. 

Sampai 2021 ada sebanyak 404 terpidana mati di dalam deret tunggu eksekusi mati. 63 orang di antaranya (15%) sudah diam di dalam deret tunggu lebih dari sepuluh tahun.

Berita Lainnya
×
tekid