close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa bertemu dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (14/01).Alinea.id/Ayu Mumpuni.
icon caption
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa bertemu dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (14/01).Alinea.id/Ayu Mumpuni.
Nasional
Jumat, 14 Januari 2022 11:43

Kejagung menaikkan perkara satelit Kemhan ke penyidikan

Penyidik menandatangani surat perintah penyidikan dugaan tindak pidana korupsi satelit Kemhan.
swipe

Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin menyatakan kasus dugaan tindak pidana korupsi satelit di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) anggaran 2015. Perkara tersebut sudah naik ke penyidikan sejak hari ini.

"Hari ini sudah ditanda tangani surat perintah penyidikan," kata Burhanuddin di Kompleks Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta Selatan, Jumat (14/01).

Sementara, Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Kejagung, Febrie Adriansyah menuturkan, pihaknya menjadikan perkara tersebut sebagai sebuah prioritas.

"Yang jelas sudah ada progres dan dari Jampidsus menjadi prioritas," tutur Febrie.

Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengungkapkan kesiapannya dalam membantu proses penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi satelit itu. Pasalnya, diduga adanya keterlibatan oknum anggota TNI dalam kasus tersebut.

Andika menerangkan, dirinya saat ini hanya tingga menunggu siapa saja anggota TNI yang diduga terlibat tersebut. Dia juga memastikan anggotanya yang terbukti akan dihukum sesuai dengan perundang-undangan.

"Selasa kemaren dipanggil Menko Polhukam. Beliau menyampaikan proses hukum sudah akan dimulai dan ada indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk proses hukum. Saya siap mendukung pemerintah untuk proses hukum. Kami menunggu nama-namanya," ucap Andika di lokasi yang sama.

Terakhir diberitakan, dugaan pelanggaran hukum dalam pengelolaan satelit untuk slot orbit 123 Bujur Timur (PT) yang terjadi sejak 2015 di Kementerian Pertahanan (Kemhan) mulai diusut.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pelanggaran hukum tersebut menyebabkan negara mengalami kerugian hingga ratusan miliar rupiah. Indonesia diwajibkan membayar uang untuk sesuatu yang secara prosedural sudah salah.

Pada 19 Desember 2015, Kemhan mengambil alih hak pengelolaan orbit 123 BT dari Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Selama kurun waktu 2015-2016, Kemhan menyewa Satelit Artemis sebagai satelit sementara pengisi orbit (floater) dengan menggaet Avanti Communication Limited (Avanti), Navajo, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat.

“Kontrak dengan nilai yang sangat besar, padahal anggarannya belum ada. Nah, berdasarkan kontrak itu, tanpa anggaran negara itu, jelas itu melanggar prosedur,” ujar Mahfud dalam keterangan pers virtual, Kamis (13/1).

Avanti kemudian menggugat pemerintah Indonesia di London Court of International Arbitration. Ini karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani pada 9 Juli 2019.

Pengadilan arbitrase di Inggris itu menjatuhkan putusan yang mewajibkan pemerintah Indonesia membayar sewa satelit tersebut. 

“Ditambahkan dengan biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling sebesar Rp515 miliar. Jadi negara membayar 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya,” tutur Mahfud MD.

Selain itu, Navajo juga menggugat pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase di Singapura. Imbasnya, pemerintah Indonesia harus membayar US$20.901.209 atau setara Rp304 miliar.

img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan