sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menjajal kereta MRT bersama duta besar Uni Eropa

Menurut dubes Uni Eropa untuk Indonesia, MRT di Jakarta lebih modern dan didukung teknologi yang lebih canggih.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Rabu, 13 Feb 2019 13:57 WIB
Menjajal kereta MRT bersama duta besar Uni Eropa

Selasa (12/2) sore, pihak PT Moda Raya Terpadu Jakarta mengundang Duta Besar Uni Eropa Vincent Geurend dan para duta besar dari negara Eropa—seperti Duta Besar Belanda, Belgia, dan Cekoslovakia—untuk menjajal Mass Rapid Transit (MRT) atau yang dikenal dengan Ratangga.

Rombongan akan mencoba kereta bawah tanah pertama di Indonesia itu, dari Stasiun Bundaran Hotel Indonesia-Stasiun Lebak Bulus.

Stasiun mewah, kereta cepat

Kami memasuki pintu stasiun, yang berada di pedestrian Jalan MH Thamrin, dengan menuruni anak tangga menuju Stasiun Bundaran HI. Dinding-dinding berlapis alumunium terlihat di stasiun ini.

Sebuah eskalator juga sudah terpasang, namun belum berfungsi. Ada pula loket tiket, dan peron penumpang dengan pintu pembatas otomatis. Terkesan wah dan mewah.

Di sisi stasiun, rencananya akan disediakan tempat khusus untuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan kios-kios. Kereta yang ditunggu pun tiba.

Usai mendengar sambutan singkat dari Kepala Divisi Perencanaan Strategis Perusahaan PT MRT Jakarta Muhammad Kamaluddin, para undangan pun dipersilakan menaiki kereta itu.

Pekerja menyelesaikan pembangunan stasiun kereta Mass Rapid Transit (MRT) Bundaran HI di Jakarta, Kamis (17/1). (Antara Foto).

Di dalam gerbong, kursi berwarna biru berbahan fiber berderet saling menghadap. Sepintas, apa yang terlihat di dalam gerbong tak ubahnya dengan kereta komuter. Setidaknya, yang membedakan papan petunjuk arah digital tujuan stasiun, yang terpampang di atas pintu masuk dan keluar gerbong. Kereta pun melaju.

Getarannya dan transisi antartikungan tak begitu terasa di dalam. Saat kereta mulai menanjak, untuk berpindah jalur dari bawah tanah ke jalur layang—antara Stasiun Senayan dan Stasiun Sisingamangaraja, getarannya pun lembut.

Laju kereta pun berjalan stabil. Dalam waktu sekitar 30 menit, tak terasa kami sudah tiba di Stasiun Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tak lama, lantas kembali lagi ke Stasiun Bundaran HI, Jakarta Pusat.

Dari Stasiun Bundaran HI menuju Stasiun Lebak Bulus, kami melintasi 13 stasiun. Enam stasiun bawah tanah, yakni Bundaran HI, Dukuh Atas, Setiabudi, Bendungan Hilir, Istora, dan Senayan. Dan, tujuh stasiun layang, yakni Sisingamangaraja, Blok M, Blok A, Haji Nawi, Cipete Raya, Fatmawati, dan Lebak Bulus.

Pekerja melintas di belakang bangunan mini information center atau pusat layanan informasi Mass Rapid Transit (MRT) di Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (4/1). (Antara Foto).

Artis Bekti Indra Tomo alias Indra Bekti, yang ikut dalam rombongan uji coba sangat gembira MRT akan beroperasi di Jakarta. Pembawa acara dan aktor ini mengatakan, selama ini dia hanya bisa mencoba MRT saat plesir ke luar negeri.

Enggak kalah lah sama luar negeri. Biasanya kan kita kalau di luar negeri naiknya MRT, karena di Indonesia enggak ada. Jadinya, saya senang,” kata Indra kepada reporter Alinea.id, Selasa (12/2).

Sebagai moda transportasi baru di Indonesia, dia berharap masyarakat yang menggunakan MRT dapat menjaga kebersihan kereta. Kehadiran MRT, menurut Indra, akan menjadi pengalaman budaya baru bagi warga, terutama di ibu kota.

“Harus dikedepankan adab antarpenumpang, misalnya dengan mempersilakan terlebih dahulu orang yang lebih tua untuk dapat mengakses kursi, mendahulukan orang yang keluar kereta dibanding yang masuk,” ujar Indra.

Lebih canggih dari Eropa

Setelah menjajal kereta, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend mengapresiasi langkah Indonesia dalam mengembangkan moda transportasi modern, seperti MRT.

“Kami mendukung kota besar seperti Jakarta memiliki transportasi massal modern seperti MRT ini,” katanya, di dalam gerbong kereta MRT, Selasa (12/2).

Vincent pun membandingkan MRT yang beroperasi di Jakarta dengan yang ada di negara-negara Eropa. Menurut dia, MRT di Jakarta lebih modern dan didukung teknologi yang lebih canggih.

Duta Besar Uni Eropa Vincent Geurend (kiri) dan Kepala Divisi Perencanaan Strategis Perusahaan PT MRT Jakarta Muhammad Kamaluddin (kanan) dalam kereta MRT, Selasa (12/2). (Alinea.id/Nanda Aria Putra).

“Di Eropa, MRT telah beroperasi lebih dari 100 tahun, dan secara teknologi telah ketinggalan,” ujar Vincent.

Vincent pun berjanji akan menggunakan moda transportasi ini bersama keluarganya, bila MRT sudah resmi beroperasi untuk umum.

“Saya suka kendaraan jenis kereta, dan MRT ini sangat sejuk dan modern. Bagus. Saya menunggu MRT ini dibuka Maret nanti,” katanya.

Sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kemacetan di ibu kota, sistem transportasi MRT sudah 98% untuk siap dioperasikan. PT Moda Raya Terpadu Jakarta rencananya akan melakukan uji coba publik pada akhir Maret 2019 mendatang.

Sistem transportasi transit cepat menggunakan kereta rel listrik ini dibangun sejak 2013 ini. Tiga bulan belakangan, moda transportasi massal ini, memang sudah mulai diuji coba.

Lebih lanjut, Vincent mengimbau agar masyarakat mau menggunakan MRT sebagai alat transportasi mereka, dan mulai meninggalkan kendaraan pribadi.

Tarif subsidi dan kurangi emisi

Petugas melakukan pengecekan kereta Mass Rapid Transit (MRT) di Stasiun Lebak Bulus, Jakarta, Kamis (17/1). (Antara Foto).

Sementara itu, Kepala Divisi Perencanaan Strategis Perusahaan PT MRT Jakarta Muhammad Kamaluddin mengatakan, diundangnya duta besar Eropa merupakan upaya untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat agar tertarik menggunakan MRT. Tak terkecuali warga negara asing yang ada di ibu kota.

“Kita juga mau menunjukkan kalau MRT ini kelas dunia, yang tidak kalah dengan negara-negara lainnya,” katanya.

Setiap hari, nantinya MRT akan mampu mengangkut sebanyak 130.000 penumpang. Setiap transit dalam satu rangkaian kereta (enam gerbong) bisa memuat 1.900 penumpang, dengan rata-rata 200-an dalam satu gerbong. Kelak, total kereta yang akan beroperasi sebanyak 19 rangkaian.

Kelebihan lainnya, kata Kamaluddin, kereta ini beroperasi dengan sistem otomatis, tanpa masinis. Kereta akan disiplin beroperasi sesuai jadwal yang sudah ditentukan.

“Orang (penumpang) hanya membutuhkan waktu lima menit untuk menunggu kedatangan kereta,” kata Kamaluddin.

Untuk tarif sekali jalan dalam jarak 10 kilometer, pihak MRT memasang harga Rp8.500 hingga Rp12.500. Dia menjelaskan, tarif itu merupakan harga subsidi pemerintah di bawah harga ekonomis, yang besaranya mencapai Rp30.000.

Menurutnya, menerapkan subsidi untuk ongkos penumpang merupakan skema yang wajar dalam dunia transportasi.

“Di semua negara tidak ada, setahu saya, yang menerapkan harga ekonomis. Semua pasti ada subsisdinya, tergantung dengan kemampuan masyarakat. Jadi, kita mending mengikuti kemampuan masyarakat dan sisanya didukung pemerintah,” kata dia.

Kereta MRT akan dikendalikan secara otomatis.

Kelebihan lainnya, selain mengurangi kemacetan, kata Kamaluddin, MRT ikut mengurangi emisi gas karbondioksida yang ada di Jakarta.

“Saya baru lihat juga tadi, ada studi yang dilakukan, dengan adanya MRT koridor satu saja bisa mengurangi emisi sekitar 8.000 ton karbondioksida per tahun,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid