sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mural diberangus tanda rezim Jokowi kian alergi kritik

Berbagai mural tentang kritik terhadap pemerintah yang tumbuh subur di tengah pandemi Covid-19 diberangus aparat.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 20 Agst 2021 13:20 WIB
Mural diberangus tanda rezim Jokowi kian alergi kritik

Aparat kini "hobi" bertindak represif dalam merespons mural bermuatan kritik terhadap pemerintah. Karenanya, tidak sedikit coretan di tembok yang dihapus, seperti karakter dua ekor hewan dengan disematkan tulisan "Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit" di Pasuruan, Jawa Timur.

Beberapa mural di Tangerang Raya, Banten, juga bernasib sama. Lukisan yang memuat wajah diduga Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan digenapi "404: Not Found" di Batuceper, tulisan "Tuhan Aku Lapar" di Tigaraksa, serta "Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan" di Parung Serab, Ciledug, contohnya.

Pakar semiotika Institut Teknologi Bandung (ITB), Yasraf Amir Piliang, menilai, hal tersebut menunjukkan wajah rezim Jokowi kian alergi kritik hingga bertindak represif mencari seniman yang membuatnya. Padahal, sikap tersebut tidak bisa bersemayam di era demokrasi.

"Di era SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), hal-hal seperti itu juga ada, berupa gambar bermacam karya seni, tetapi Pak SBY, kan, paling-paling hanya mengeluh, tidak sampai melarang,” ucapnya saat dihubungi Alinea.id, Jumat (20/8).

Mural, terangnya, dapat digunakan sebagai sarana ekspresi seni guna memprotes kebijakan pemerintah atau keadaan terkini. Jejaknya dTanah Air eksis sejak berpuluh-puluh tahun silam.

Pasca-kemerdekaan, mural cenderung bermuatan protes terhadap penjajahan. Sedangkan saat ini digunakan untuk mengekspresikan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan pandemi Covid-19.

Menurut Yasraf, kecemasan pemerintah terhadap mural disebabkan mengekspresikan pesan protes yang mudah ditangkap orang. Aspek visual lukisan mural memungkinkan pesan lebih cepat dipahami khalayak dibandingkan tulisan dengan media buku.

Selain itu, mural juga unggul dalam aspek aksesibilitas. Pangkalnya, ia umumnya digambar di tembok yang terjangkau masyarakat luas, seperti fasilitas publik.

Sponsored

"Ini yang ditakutkan pemerintah karena langsung terlihat orang-orang. Rakyat kecil pun bisa langsung mengerti, ya, yang disampaikan. Kalau melalui kata-kata, belum tentu mengerti orang-orang yang tidak berpendidikan. Kalau melalui gambar, lebih jelas, lebih eksplisit," tutur Yasraf.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan, represi aparat dalam kasus mural bermuatan kritik merupakan bagian dari pembungkaman terhadap ekspresi/pendapat masyarakat.

"Kita sangat khawatir, kok, aparat menjadi sangat ketakutan, ya, terhadap kritik-kritik warga? Seharusnya itu diapresiasi karena bagian dari kreativitas yang dilindungi konstitusi,” ucapnya kepada Alinea.id.

Dirinya pun mempertanyakan alasan aparat menghapus mural dan memburu seniman pembuatnya. "Tindak pidana apa yang mereka lakukan? Harusnya kepolisian tidak boleh seperti itu."

Padahal, Isnur mengingatkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) mengamanat aparat untuk melindungi hak asasi manusia (HAM). Ekspresi masyarakat berupa mural merupakan bagian dari HAM.

Ketakutan terhadap mural, baginya, merupakan tanda kekhawatiran terhadap fakta, bahwa pemerintah tidak sanggup menangani pandemi Covid-19 secara maksimal sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, di mana biaya makan dan kebutuhan warga selama karantina wilayah ditanggung negara. "Tetapi, malah kemudian yang bersuara malah dibungkam," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid