sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Novel cs tak lolos ASN, pakar: Nasionalisme bisa ditakar dengan tes?

Kurang bijak apabila assessment langsung dijadikan sebagai penentu bagi kelanjutan maupun pemberhentian personil.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 07 Mei 2021 14:03 WIB
Novel cs tak lolos ASN, pakar: Nasionalisme bisa ditakar dengan tes?

Tidak lolosnya 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagian dari seleksi ujian Aparatur Sipil Negara (ASN) terus mendapat sorotan.

"Persoalannya, apakah nasionalisme bisa ditakar hanya dengan mengandalkan tes? Dan apakah layak jika nasib seseorang ditentukan sepenuhnya hanya berdasarkan tes?," kata Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel, kepada Alinea.id, Jumat (7/5).

Reza mengatakan, banyak peneliti yang mengingatkan bahwa nasionalisme sejatinya punya makna lebih luas dari sekedar urusan ideologi. Ada sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk menilai seberapa jauh rasa cinta Tanah Air, yaitu tingkat kejahatan, perusakan fasilitas publik, pembajakan musik, dan korupsi.

"Sayangnya, hal-hal semacam itu cenderung terlupakan, sehingga jiwa kebangsaan ditinjau sebagai masalah ideologi semata," ujar dia.

Reza mengatakan, dengan penyempitan makna seperti itu, maka tidak lulus tes bermakna tidak cukup berwawasan kebangsaan alias tidak nasionalis.

"Karena tidak nasionalis, maka yang bersangkutan adalah cikal-bakal pengkhianat. Karena berpotensi makar, maka harus dipecat. Ini penarikan simpulan sekaligus penyederhanaan langkah yang overdosis," jelasnya.

Reza berpendapat bahwa tes memang penting. Apalagi bagi penegak hukum, sangat baik jika tes dilakukan secara berkala. Di Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, misalnya, Reza merekomendasikan agar assessment dilakukan paling sedikit dua tahun sekali.

"Assessment rutin akan membuat personel merasa terawasi, sehingga terdorong untuk terus-menerus bekerja dengan baik," tukas dia.

Sponsored

Reza mengatakan, assessment idealnya tidak hanya mengandalkan tes sebagai format satu-satunya. Banyak cara lain yang perlu juga diselenggarakan dan diintegrasikan dalam sebuah program assessment kinerja. Program assessment yang menerapkan pendekatan beragam (multi approach) akan menghasilkan simpulan lebih utuh tentang personil penegakan hukum.

"Beda dengan tes, yang jika dijadikan sebagai pendekatan tunggal,  rawan menghasilkan gambaran yang terlalu simplistis tentang diri personel," ujar dia.

Lagi pula, lanjut Reza, kurang bijak apabila assessment langsung dijadikan sebagai penentu bagi kelanjutan maupun pemberhentian personil. Yang tepat, assessment diselenggarakan guna mengumpulkan data yang nantinya dipakai untuk memberikan feedback kepada personel, sekaligus sebagai dasar pemberian rekomendasi bagi pengembangan diri dan karir personel bersangkutan.

"Jadi, alih-alih dimanfaatkan sebagai alat penebas leher personel, hasil assessment justru dipakai untuk pengembangan karir yang bersangkutan," kata Reza.

Reza menambahkan, tes merupakan pendekatan diambil dalam episode singkat. Beda dengan penilaian kerja sehari-hari. Misalnya, bagi masing-masing personel KPK, bisa dicek clearance rate-nya, response times-nya, dan enforcement productivity-nya.

Pengecekan hal-hal konkret semacam itu justru lebih jitu untuk menyimpulkan seberapa tinggi produktivitas personel. Semakin tinggi produktivitasnya, dimaknakan semakin tinggi pula profesionalismenya. 

Semakin profesional dia, semakin tinggi pula sesungguhnya derajat nasionalismenya selaku pengemban amanat rakyat dalam memberantas korupsi.

"Begitulah sepatutnya nasionalisme dimaknai dan diterjemahkan ke dalam program pembinaan personel KPK," pungkas Reza.

Berita Lainnya
×
tekid