Over kapasitas atau overcrowding merupakan salah satu masalah menahun yang dialami lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia. Apa sebenarnya permasalahan yang terjadi dengan hukum di Indonesia?
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara, menyebutkan, berdasarkan data yang diolah ICJR sejak 2013 - 2017, persentase overcrowding di Rutan dan Lapas di Indonesia terus meningkat.
Pada 2013 overcrowding mencapai angka 143%, kemudian di 2015 mencapai 147%. Angka tersebut terus meningkat hingga di 2017 yang mencapai 188%.
Sementara pada Agustus 2018 menujukkan, jumlah total penghuni sebanyak 248.543 orang dengan kapasitas 124.953.
"Artinya persentase overcrowding di Laps dan Rutan di Indonesia sudah mencapai 199%, sudah dikategorikan sebagai extreme overcrowding," jelas Anggara saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (23/9).
Anggara sendiri melihat permasalahan overcrowding terjadi pada masa pra-persidangan. Hal itu memiliki pengaruh signfikan terhadap kondisi overcrowding.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Sistem Database di Rutan dan Lapas, jumlah tahanan pra-persidangan terdapat 71.561 orang dari total penghuni sebanyak 248.543, atau mencapai 28,8%.
"Penahanan pra-persidangan menjadi salah satu penyebab dari overcrowding dikarenakan penggunaanya yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh adanya paradiga penegak hukum bahwa, penahanan merupakan suatu keharusan," paparnya.
Hal yang tidak kalah rumitnya adalah persoalan penanganan narkotika, yang seharusnya bisa dilakukan dengan pendekatan kesehatan, bukan pidana.
Hukuman pidana yang diberikan kepada pengguna narkotika terus meningkat sampai dikeluarkannya UU No.35 Tahun 2009 tentang narkotika.
Berdasarkan data di Juli 2018, jumlah pengguna narkotika yang dijatuhi pidana penjara di Lapas tercatat 39.961 orang dari total penghuni lapas 176.063 orang atau sebanyak 22,7%.
"Padahal seharusnya penanganan terhadap pengguna narkotika adalah dengan menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat dan bukan pendekatan pidana," tegas Anggara.
Oleh karena itu, untuk mengatasinya perbaikan secara sistematis perlu dilakukan di seluruh sektor.
Diantaranya, perlu diadakan reforamsi terhadap KUHAP. Kemudian, alternatif pemindanaan non-pemenjaraan harus menjadi perhatian dalam pembahasan RKUHP. Serta, perubahan pendekatan terhadap pengguna dari punitif menjadi kesehatan masyarakat.
Senentara Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Sri Puguh Budi Utami menceritakan sulitnya membenahi lapas-lapas seluruh Indonesia, karena kurangnya sumber daya manusia.
Pegawai saat ini sendiri sebanyak 44 ribu, dengan kapasitas lapas yang hanya diperuntukkan untuk 124.973 orang. Tapi, penghuni lapas sampai dengan 2018 berjumlah sekiar 249.000 orang
Kendati begitu, Utami memiliki solusi untuk menangani over kapasitas di lapas dengan melakukan revitalisasi. Napi di lapas akan dimasukkan ke tahanan dengan kelasnya masing-masing.
"Kelas high risk dengan pengamanan maksimum. Di bawah high risk yaitu, kelas maksimum, medium dan minimum. Di kelas minimum para napi akan diberikan pekerjaan sesuai kemampuannya. Cara itulah yang membuat overcrowding dapat berkurang," terang Utami.