sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pemprov Banten diimbau tak berbelit salurkan dana bantuan korban tsunami

Penyaluran dana bantuan yang berbelit berpotensi menimbulkan terjadinya penyelewengan.

Khaerul Anwar
Khaerul Anwar Rabu, 09 Jan 2019 11:33 WIB
Pemprov Banten diimbau tak berbelit salurkan dana bantuan korban tsunami

Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten menyiapkan anggaran Rp70 miliar untuk penanganan pascabencana tsunami Selat Sunda, mendapatkan sorotan sejumlah pihak. Salah satunya, disampaikan organisasi antikorupsi Tangerang Public Transparency Watch (Truth), yang mendorong agar pemberian bantuan tidak dilakukan dengan prosedur yang berbelit-belit.

Koordinator Truth, Beno Novit Neang, mengatakan agar dana bantuan tidak disalahgunakan, Pemprov Banten harus menyiapkan sistem yang memudahkan korban bencana. Menurutnya, jika sistem penyaluran bantuan dilakukan melalui prosedur sebagaimana biasanya, potensi kerawanan untuk disalahgunakan juga akan semakin besar.

"Peluang korupsi di situasi bencana itu lebih tinggi dibanding situasi normal. Karena konsentrasi penegak hukum dan pemangku kebijakan yang mengawasinya, saya yakin akan lengah. Anggaran bencana pasti selalu akan besar, peluang mark up-nya juga lebih besar, karena banyak sektor yang tidak terawasi," katanya, Rabu  (9/1).

Untuk mencegah potensi itu terjadi, kata Beno, Pemprov perlu memotong jalur prosedur pemberian bantuan yang terlalu protokoler. Pemerintah daerah, menurutnya, bisa langsung memberikan bantuan kepada warga yang menjadi korban, karena pemerintah pun telah memiliki data masyarakat yang menjadi korban bencana tsunami, yang terjadi akhir tahun lalu.

"Masyarakat yang kena bencana jangankan untuk mengurus bantuan, berpikir bertahan hidup, juga untuk dapat makan, tidur mereka, sudah bagus. Sekalinya dapat bantuan, mereka diberikan jalur yang ribet. Makanya langsung dibuat by pass saja. Dari pemprov turun ke dinas, lalu dibuat lagi ke bawah, yang penting korban tahu ada bantuan, bagaiamana cara mendapatkannya, dan sistemnya enggak dibuat panjang,” ujarnya menuturkan. 

Meskipun Banten belum pernah melakukan penyaluran dana bencana, Beno meyakini bantuan akan disalurkan layaknya pemberian dana hibah dan bantuan sosial (bansos). Padahal penyaluran dua bantuan itu pernah membuat Banten disidik Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan adanya mark-up.

“Banten dalam konteks bantuan seperti ini sering kali sengaja dibuat adminitrasinya dengan jalur protokol yang ribet. Nantinya banyak potongan-potongan dari makelar atau calo di lapangan karena proses distribusinya juga panjang. Padahal bantuan ini seharusnya bisa dirasakan sama masyarakat yang memang sekarang sedang menjadi korban bencana,” katanya.

Beno juga menyampaikan penolakan, jika bantuan itu diberikan dengan sistem transfer melalui rekening bank kepada korban. Sebab menurutnya, dalam kondisi itu, banyak korban yang kemungkinan tidak bisa mengurus administrasi dan keperluan yang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Sponsored

Selain tidak efektif, penyaluran dana bantuan melalui proses transfer juga akan memberatkan korban. Menurutnya, tidak semua korban masih memiliki keluarga yang dapat membantu melakukan proses pencairan ke bank. Korban yang hidup sebatang kara akibat bencana, apalagi jika anak-anak, tidak akan bisa melakukan pencairan tersebut.

"Jemput bola saja. Kalau datanya jelas, korbannya siapa saja, datang, temui, kasih bantuan langsung. Jadi, tanpa proses transfer lagi,” ucapnya.

Hukuman berat

Dalam konteks bencana, dia melanjutkan, ada aturan yang bisa dikesampingkan dalam proses pemberian bantuan kepada korban. Karenanya pemerintah masih dapat menyalurkan bantuan tanpa sistem prosedural sebagaimana mestiunya.

“Selama pemberian bantuannya tidak menabrak aturan, saya rasa aman-aman saja. Dalam konteks ini, ada sifat mengesampingkan aturan tertentu untuk kepentingan umum. Persoalan nanti ada audit dari BPK, ya dibuat saja. Ada kok aturannya juga. Dan enggak harus ikuti aturan baku, karena ini konteksnya bencana,” katanya.

Beno pun mengatakan, siapa saja yang berani melakukan korupsi terhadap dana kebencanaan ini, harus diberikan hukuman yang berat. Bila perlu, diberikan hukuman mati agar menjadi warning bagi siapapun yang berani melakukan tindakan korupsi tersebut.

“Karena masih banyak yang berpikir sanksinya ini seperti korupsi biasa saja. Makanya penting birokrat memahami itu. Korupsi uang bencana itu ancaman hukumannya mati. Penegak hukum juga ikut melototin, dan kalau ketangkap, beri sanksi yang tegas sebagai efek jera,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid