close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Pol. Jules Abraham Abast (kiri) menjelaskan peran tersangka Pegi Setiawan alias Perong (kanan, berkaus biru) dalam kasus Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky Rudiana di Cirebon tahun 2016 lalu pada konferensi pers di Map
icon caption
Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Pol. Jules Abraham Abast (kiri) menjelaskan peran tersangka Pegi Setiawan alias Perong (kanan, berkaus biru) dalam kasus Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky Rudiana di Cirebon tahun 2016 lalu pada konferensi pers di Map
Nasional
Sabtu, 01 Juni 2024 06:32

Politikus di balik ‘seksinya’ kasus pembunuhan Vina

Kasus pembunuhan terhadap Vina dan Eky delapan tahun silam menjadi sorotan publik. Membuat beberapa figur ikut-ikutan nimbrung.
swipe

Kasus pembunuhan terhadap Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky Rudiana atau Eky yang dilakukan kelompok berandalan bermotor di Cirebon, Jawa Barat delapan tahun silam, kembali viral gara-gara film. Masih banyak teka-teki yang belum terjawab terkait kasus tersebut.

Misalnya, masyarakat meragukan tersangka dan disebut sebagai otak pembunuhan, yakni Pegi Setiawan alias Perong. Orang-orang yang mengaku saksi mata ikut buka suara. Para pengacara sibuk membela tersangka dan korban. Beragam konspirasi soal kasus ini pun berseliweran di media sosial. Perhatian publik tumpah ke kasus itu.

Muncul pula sosok-sosok yang mengaku mengetahui terjadinya peristiwa tragis itu. Contohnya, sosok Mel-mel, yang mengaku sebagai teman dekat Linda dan pernah jalan bersama Vina dan Eky di malam nahas, 27 Agustus 2016.

“Seksinya” kasus ini pun ikut membuat beberapa politikus “campur tangan”. Misalnya, mantan Bupati Purwakarta dan anggota DPR Dedi Mulyadi. Beberapa waktu belakangan, politikus Partai Gerindra tersebut secara aktif ikut menelisik kasus Vina.

Di kanal YouTube-nya, ia rajin menemui keluarga Vina, keluarga Pegi, teman kerja Pegi sebagai kuli bangunan di Bandung, pengacara Vina dan Pegi, serta orang-orang yang diduga mengetahui kasus ini. Di setiap video pada kanal YouTube Dedi pun kerap menampilkan sekelompok orang yang memberi dukungannya sebagai calon Gubernur Jawa Barat 2024.

Pengacara keluarga Vina, yakni Putri Maya Rumanti—entah kebetulan atau tidak—juga diketahui merupakan calon Wali Kota Bandar Lampung untuk Pilkada 2024. Putri merupakan politikus Partai Amanat Nasional (PAN).

Menurut Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo, calon kepala daerah yang ikut “meriung” pada kasus pembunuhan Vina dan Eky sedang memainkan strategi mendompleng popularitas. Tujuannya, mendapatkan simpati publik lewat kasus itu.

“Mereka lebih pada person-person yang ingin menunggangi gelombang opini publik tentang kasus Vina ini,” ujar dosen serta peneliti komunikasi dan media ini kepada Alinea.id, Rabu (29/5).

“Jadi, kalau soal politisasi tidak. Cuma pada akhirnya, (kasus) ini ditumpangi oleh person-person yang (ingin) mendapat simpati publik lebih besar.”

Kunto menilai, para figur yang sedang “berjuang” maju pilkada tidak akan mendapat respons yang besar dari masyarakat. Sebab, sekalipun terlihat peduli pada kasus pembunuhan Vina, mereka tidak mendorong perubahan substantif yang berdampak pada masyarakat.

“Kalau kemudian bisa masuk ke hal yang substantif dalam pilkada misalnya, dia (bisa) berjanji menumpas geng motor di daerahnya. Jadi lebih oke,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI tersebut.

“Tapi kalau dia hanya sebatas gimik, dalam artian sok peduli karena memang lagi ramai diperbincangkan, akhirnya akan jadi gimik belaka.”

Politikus atau calon kepala daerah yang ikut-ikutan dalam kasus pembunuhan Vina sebagai ajang meningkatkan popularitas, menurut Kunto, belum akan mampu mendongkrak elektoral kalau tak ada gebrakan berarti bagi masyarakat.

Meski begitu, Kunto tak mempermasalahkan politikus nimbrung dalam kasus Vina, selama mereka tidak mengganggu proses hukum dan penyelidikan, serta tak membuat opini publik yang mempersulit aparat penegak hukum bekerja.

“Sebenarnya masih sah-sah saja dilakukan model riding the wave ini,” ucap Kunto.

Namun, secara etik memang politikus atau calon kepala daerah tidak tepat menunggangi kasus pembunuhan Vina untuk kepentingan popularitas, demi menarik perhatian publik. Kunto memandang, publik juga sebaiknya tidak perlu terjebak dengan permainan riding the wave yang dilakukan politikus atau calon kepala daerah.

“Media juga jangan terlalu kasih panggung ke orang-orang seperti ini,” ujar Kunto.

Sementara itu, analis politik dari Citra Institute Yusak Farchan menilai, kasus pembunuhan Vina memang rentan dijadikan ajang tebar pesona para politikus yang berkepentingan maju Pilkada 2024. Alasannya, calon kepala daerah butuh isu untuk mendompleng pemberitaan agar mendapatkan perhatian publik.

“Politik itu soal timing. Saya kira, ini bagian dari strategi komunikasi politik dengan memanfaatkan peristiwa yang sedang ramai menjadi sorotan publik,” ujar Yusak, Rabu (29/5).

Senada dengan Kunto, Yusak pun menyebut, politisasi kasus pembunuhan Vina untuk kepentingan elektoral tidak akan membawa banyak dampak pada elektabilitas kandidat, kecuali hanya sebatas efek popularitas sematas.

“Saya kira masyarakat sudah cerdas membaca manuver-manuver para politikus atau kandidat yang akan bertarung di pilkada,” tutur Yusak.

“Kalau para politikus punya kepedulian dan pembelaannya terhadap keadilan hukum di kasus Vina, harusnya tidak perlu menunggu momentum pilkada.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan