sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Inilah yang terjadi sebelum Lion Air jatuh

Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis laporan awal investigasi kecelakaan penerbangan JT610

Valerie Dante
Valerie Dante Rabu, 28 Nov 2018 17:11 WIB
Inilah yang terjadi sebelum Lion Air jatuh

Pada 29 Oktober 2018, pesawat Lion Air JT610 tipe Boeing 737 Max 8 jatuh di perairan Tanjung Pakis, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Penerbangan ini berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta dengan destinasi Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang.

Pada penerbangan tersebut terdapat seorang pilot dan kopilot, enam pramugari, 181 penumpang yang terdiri dari 178 orang dewasa, satu anak, dan dua balita. 

Perekam Data Penerbangan Digital (DFDR) mencatat adanya perbedaan sebesar 20 derajat antara Angle of Attack (AOA) kiri dan kanan pesawat. Kondisi tersebut berlangsung hingga akhir perekaman. Akibatnya, penunjuk kecepatan di pesawat menjadi tidak tepat. 

Pada Rabu (28/11), Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis laporan investigasi awal kecelakaan penerbangan JT610 yang didalamnya memaparkan kronologi jatuhnya burung besi bernomor registrasi PK-LQP itu.

Berikut kronologinya:

*06:20 WIB: pesawat berangkat dari Jakarta dari runway 25L dan dimaksudkan untuk mencapai ketinggian jelajah 27.000 kaki.

Tidak lama setelah keberangkatannya, pengawas menara kontrol Jakarta menginstruksikan JT610 untuk menghubungi pengawas Terminal Timur (TE). Pada pukul 06:21:22 WIB, kopilot melakukan kontak awal dengan TE yang menjawab bahwa pesawat teridentifikasi tampilan radar (ASD). Setelahnya, TE memberi aba-aba agar JT610 naik ke ketinggian 27.000 kaki.

*06:21:28 WIB: kopilot meminta TE untuk mengonfirmasi ketinggian pesawat seperti yang ditunjukkan pada layar radar pengontrol TE. Pengontrol TE merespons dengan menyatakan bahwa ketinggian pesawat adalah 900 kaki dan hal tersebut dibenarkan oleh kopilot.

Sponsored

*06:21:53 WIB: kopilot kembali menghubungi TE dan mengabarkan terjadi "flight control problem".

JT610 turun dari ketinggian 1.700 ke 1.600 kaki dan pengontrol TE menanyakan ketinggian yang diinginkan pesawat. Kopilot menyebutkan, ketinggian yang dimaksud adalah 5.000 kaki.

*06:22:05 WIB: DFDR mencatat ketinggian pesawat sekitar 2.150 kaki dan sirip sayap pesawat ditarik. Setelah sirip sayap mencapai 0, DFDR merekam trim hidung pesawat turun (AND) secara otomatis selama 10 detik diikuti dengan trim hidung pesawat naik (ANU).

*06:22:31 WIB: pengawas TE menginstruksikan JT610 untuk memanjat dan mempertahankan ketinggian 5.000 kaki dan berbelok ke kiri menuju 050 derajat. Kopilot kemudian menanggapi instruksi tersebut. Selang 17 detik, sirip sayap diperpanjang hingga 5 dan trim AND otomatis berhenti.

*06:22:56 WIB: kopilot bertanya pada pengawas TE mengenai kecepatan yang ditunjukkan layar radar. Pengontrol TE menanggapi dan mengatakan bahwa kecepatan gerak pesawat yang ditampilkan layar radar adalah 322 knot (596,3 km/jam).

*06:24:51 WIB: pengawas TE menambahkan teks "FLIGHT CONT TROB" untuk penerbangan JT610 pada sistem radar pengendali sebagai tanda bahwa penerbangan tersebut mengalami masalah kontrol penerbangan.

Tidak lama kemudian pada pukul 06:25:05 WIB, pengawas TE mengarahkan JT610 untuk berbelok ke kiri menuju 350 derajat dan mempertahankan ketinggian 5.000 kaki. Sama seperti sebelumnya, instruksi tersebut direspons oleh kopilot.

Selang satu menit setelahnya, pengawas TE kembali memberikan instruksi agar JT610 berbelok ke kanan menuju 050 derajat dan mempertahankan ketinggian 5.000 kaki.

Kopilot sempat tidak merespons saat pengontrol TE meminta JT-610 untuk berbelok ke kanan menuju 070 derajat untuk menghindari lalu lintas. Tidak lama setelahnya, pada pukul 06:27:13 kopilot baru menanggapi panggilan tersebut.

*06:29:37 WIB: pengawas TE memperhatikan bahwa pesawat mengalami penurunan. Mereka kemudian bertanya mengenai kondisi ini pada JT-610. Kopilot merespons pengawas TE dan menyatakan bahwa mereka memiliki masalah kontrol penerbangan dan memutuskan untuk terbang secara manual.

Menanggapi itu, pengawas TE mengarahkan JT610 untuk bertahan menuju 050 derajat dan menghubungi pengontrol kedatangan (ARR). Instruksi tersebut ditanggapi oleh kopilot.

Semenit setelah itu pada 06:30 WIB, JT610 menghubungi pengawas ARR dan menyatakan, mereka tengah mengalami masalah kendali penerbangan. Pengawas ARR kemudian menyarankan untuk bersiap mendarat di landasan 25L dan memerintahkan mereka untuk terbang menuju 070 derajat. Instruksi tersebut direspons oleh kopilot.

*06:30:58 WIB: kopilot menyatakan "karena cuaca LNI650 meminta untuk diarahkan ke titik acuan tertentu," yang disetujui oleh pengontrol ARR.

*06:31:09 WIB: pilot penerbangan LNI610 memberitahu pengawas ARR bahwa ketinggian dari pesawat tidak dapat ditentukan karena semua instrumen pesawat menunjukkan ketinggian yang berbeda. Pilot menggunakan tanda panggilan LNI650 selama komunikasi. Pengawas ARR menanggapi dan kemudian menyatakan "LNI610 no restriction."

Empat belas detik setelahnya, pilot meminta pengawas ARR untuk memblokir ketinggian 3.000 kaki di atas dan di bawah untuk menghindari lalu lintas. Pengawas ARR kemudian bertanya berapa ketinggian yang diinginkan, dan pilot berumur 31 tahun tersebut menjawab "lima ribu."

Tepat pukul 06:31:54 WIB, FDR berhenti merekam.

Pengawas ARR berusaha menghubungi mereka sebanyak dua kali namun tidak mendapat respons. Pada 06:32:19, keberadaan JT610 menghilang dari ASD. Setelah itu, pengawas ARR dan TE berusaha mengontak pesawat sebanyak empat kali, namun tetap tidak mendapat tanggapan.

ARR kemudian memeriksa koordinat terakhir JT610 dan memerintahkan asisten untuk melaporkan kejadian tersebut pada manajer operasi. Pengontrol ARR lalu meminta beberapa pesawat untuk mengunci posisi JT-610 yang diketahui dan melakukan pencarian visual di area tersebut.

Baru pada sekitar 07:05 WIB, personel kapal tunda menemukan sejumlah puing mengambang sekitar 33 mil laut dari Jakarta. Puing-puing tersebut kemudian teridentifikasi sebagai JT610.
 

Berita Lainnya
×
tekid