sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Risiko megaproyek giant sea wall Pantura Jawa yang didorong Prabowo

"Mengapa Prabowo tiba-tiba menunjukkan perhatian besar kepada Pantura Jawa? Padahal, ... kami tidak menemuka track record kepeduliannya."

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Jumat, 12 Jan 2024 11:42 WIB
Risiko megaproyek giant sea wall Pantura Jawa yang didorong Prabowo

Program pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall/GSW) kembali mengemuka. Kali ini, pengerjaan megaproyek sarat kontroversi tersebut didorong Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto.

Prabowo mengklaim, megaproyek GSW merupakan solusi untuk menyelesaikan persoalan abrasi dan kenaikan permukaan laut di Pantai Utara (Pantura) Jawa. Apalagi, kontribusi kawasan tersebut terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai 20%.

Ia melanjutkan, dibutuhkan anggaran sekitar US$60 juta atau setara Rp934 triliun untuk mengerjakan GSW Pantura Jawa. Adapun megaproyek diprediksi rampung setelah 40 tahun dikerjakan.

"Berhasilnya giant sea wall ini mungkin terwujud 25 tahun, 30 tahun, bahkan 40 tahun yang akan datang. Tapi, di situlah tanggung jawab kita untuk generasi yang di bawah kita," ucapn Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Prabowo mengakui bahwa wacana GSW sudah dimulai sejak belasan tahun silam. Adapun alasannya mendorong program ini kembali digulir berdasarkan hasil kajian Universitas Pertahanan (Unhan) yang dimintanya usai mengunjungi beberapa daerah di Pantura Jawa.

"Saya pernah kampanye dan kunjungi daerah di situ dari 2014 sampai sekarang. Saya melihat keluarga itu yang hidup di ruangan tidur dan makannya itu air setinggi lutut. Anak mereka hidup di tengah air seperti itu, di tengah lalat, nyamuk, dan sampah," tuturnya.

Prabowo mengklaim, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dan beberapa menteri yang menghadiri seminar GSW sepakat membentuk gugus tugas (task force) guna mengkaji dan mempercepat persiapannya. Ia pun menugaskan Unhan melakukan kajian lebih dalam tentang GSW.

Kendati begitu, dalam lampiran 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, program tanggul laut hanya difokuskan di 5 kota (Jakarta, Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Demak) sepanjang 100,9 km dengan anggaran Rp54,9 triliun. Pun Kementerian Pertahanan (Kemhan) tidak dilibatkan sehingga tak tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemhan 2020-2024 (Peraturan Menhan/Permenhan Nomor 10 Tahun 2021).

Sponsored

Jalan panjang GSW

Seperti disinggung Prabowo, sejatinya GSW bukanlah hal baru. Mulanya, pemerintah Belanda mendorong pembangunan tanggul laut di Teluk Jakarta untuk mengatasi fenomena banjir rob akibat penurunan permukaan tanah (land subsidence) sekitar 1-15 cm/tahun. Usulan itu seperti yang dilakukan Belanda dalam mengatasi bencana selain membangun 13 bendungan raksasa.

Tawaran tersebut disambut positif hingga dibentuklah Program Jakarta Coastal Development Strategy (JCDS), yang melibatkan beberapa institusi dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di bawah koordinasi Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian. Pelaksaan JCDS dimulai sejak 2007 dan direncanakan berlangsung 20-25 tahun dengan alokasi anggaran US$25 miliar.

Beberapa tahun kemudian, pemerintah mengganti JCDS menjadi National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Nilai proyek pun membengkak menjadi sekitar US$40 miliar.

Program ini dibagi menjadi 3 tahapan. Fase A berupa pembangunan tanggul pantai dan tanggul muara sungai sepanjang 46 km. Sepanjang 13 km sudah terbangun, sedangkan 33 km sisanya akan dikerjakan Kementerian PU (11 km) dan Pemprov DKI (22 km senilai Rp1,38 triliun).

Pemprov DKI telah mengerjakan 11 km sehingga tersisa 11 km senilai Rp595 miliar, yang berada di Muara Angke (3,471 km), Pantai Mutiara (1,058 km), Sunda Kelapa (2,07 km), dan Kali Blencong (1,708 km). Dikerjakan mulai 2023 dan dijadwalkan beres pada 2025.

Adapun fase B adalah pembangunan tanggul laut luar barat dan waduk besar, sedangkan fase C mencakup pembangunan tanggul luar timur. Mulanya, terdapat reklamasi 17 pulau—yang dicanangkan Presiden ke-2 RI, Soeharto, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995—terintegrasi pulau besar berkonsep burung garuda yang terbentang dari tanggul laut fase B hingga fase C (NCICD versi 2014).

Lantaran berpolemik, terutama saat kepemimpinan Gubernur DKI 2017-2022, Anies Baswedan, tidak semua pulau palsu itu terealisasi. Pun demikian dengan reklamasi pulau berkonsep burung garuda.

Pemerintah kembali mengganti nama megaproyek ini dari NCICD menjadi Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (PTPIN). Dalam program ini, reklamasi pulau berbentuk burung garuda sudah hilang. Pada 2019, namanya kembali berubah jadi Rencana Keselamatan Banjir Terpadu (Integrated Flood Safety Plan/IFSP).

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyinggung megaproyek GSW ketika meresmikan Bendungan Ciawi di Kabupaten Bogor, Jabar, pada akhir Desember 2022. Awal Januari 2023, ia lantas memerintah Pj. Gubernur DKI, Heru Budi Hartono, segera memulai pembangunan GSW. Untuk penganggarannya, selain mengandalkan uang negara (APBN dan APBD), Heru memunculkan wacana keterlibatan swasta melalui reklamasi pulau.

Proyek ini bukan tanpa cela. Pangkalnya, tanggul pantai (fase A) NCICD di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman (PPSNZ) Muara Baru, Jakarta Utara, roboh sepanjang 100 meter pada 3 Desember 2019. Proyek ini dikerjakan Kementerian PUPR. Akibatnya, air laut masuk dan menggenangi kawasan pelabuhan. Sayangnya, belum ada penjelasan dari pelaksana proyek tentang insiden tersebut sehingga tidak diketahui pasti penyebab tanggul roboh. 

Seiring waktu, Kementerian PUPR membenahinya. Bahkan, meninggikannya hingga 2 meter. Kendati begitu, masyarakat sekitar tetap dirundung kekhawatiran karena tinggi air laut sejajar dengan tembok itu ketika pasang. Apalagi, terdapat keretakan dan berlubang di beberapa bagian tanggul sehingga mengucurkan air.

Delapan dampak negatif

Sementara itu, koalisi organisasi sipil yang tergabung dalam Maleh Dadi Segoro (MDS) berpandangan, munculnya kembali wacana tanggul laut untuk mengatasi ancaman banjir rob dan tenggelamnya kawasan Pantura Jawa sebagai bentuk kegagalan Prabowo dkk dalam memahami akar masalah. MDS pun mempertanyakan dasar Prabowo tiba-tiba membahas masalah ini. 

MDS beranggotakan 13 organisasi sipil. Yakni, Rujak Center for Urban Studies, Yayasan Amerta Air Indonesia, Sustainable Development Research Center at the Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Walhi Jateng, LBH Semarang, DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Semarang, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Komunitas Pekakota, Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata.

"Kami menilai, bahwa pemerintah kembali gagal memahami akar masalah dari penyebab mengapa ada bagian Pantura Jawa yang tenggelam," kata Koordinator MDS, Martha Kumala Dewi. "Mengapa Prabowo tiba-tiba menunjukkan perhatian besar kepada Pantura Jawa, terutama di Jakarta dan Semarang? Padahal, selama 4,5 tahun sebelumnya, kami tidak menemukan track record kepeduliannya terhadap Pantura Jawa."

Ia pun mencurigai munculnya kebijakan ini secara tiba-tiba tidak lepas dari kepentingan reklamasi pulau untuk kepentingan komersial oleh swasta mengingat sebelumnya tak berjalan mulus di era Anies. "Sangat mungkin."

Martha kemudian mencontohkan dengan kasus di Demak dan Semarang, di mana krisis sosial ekologis yang terjadi di sana, seperti rob dan abrasi pantai, mengakibatkan tanah warga tenggelam. Masyarakat setempat pun terpaksa menjual tanahnya dengan harga murah: Sayung, Demak, sekitar Rp5.000/m2 dan Mangunharjo, Semarang, Rp9.000/m2. Tanah-tanah itu banyak dibeli sejumlah perusahaan.

"Tanggul laut akan membuat tanah-tanah yang sudah tenggelam itu bisa dipakai kembali, tapi sudah menjadi milik perusahaan-perusahaan. Ini adalah sebuah proses perampasan tanah melalui mekanisme krisis sosial-ekologis: memanfaatkan krisis sosial-ekologis untuk merampas tanah, lalu memperparah krisis dengan tanggul laut yang akan mempersempit area tangkap ikan, area hutan mangrove yang akan makin menghilang, banjir rob yang akan tetap datang di titik-titik lain, atau bahkan banjir larian dari daratan karena permukaan tanah yang ambles, lalu lanjutannya bahkan bisa kita pikirkan sendiri," urainya kepada Alinea.id.

MDS lantas mengurai 8 dampak negatif tanggul laut. Pertama, infrastruktur itu hanya akan mengonsentrasikan pembangunan dan aktivitas ekonomi di Pantura Jawa sehingga kontraproduktif dengan kondisi ekologi setempat yang mengalami amblesan tanah.

"Pembangunan infrastruktur dan aktivitas ekonomi yang semakin padat pasti mendatangkan beban dan membutuhkan air, di mana kebutuhan akan air untuk rumah tangga dan industri di Pantura Jawa banyak dipenuhi melalui ekstraksi air tanah dalam. Jadi, konsentrasi ekonomi di Pantura Jawa yang datang bersama dengan tanggul laut akan semakin memperparah amblesan tanah melalui pembebanan fisik dan ekstraksi air tanah dalam yang akan semakin bertambah," ulasnya.

Kedua, orientasi membangun tanggul laut mengalihkan perhatian dari usaha mengurangi terjadinya amblesan tanah. Lalu, hanya menguntungkan wilayah yang kuat seperti kawasan industri yang diutamakan pengembangannya dan merugikan yang lemah macam perkampungan nelayan lantaran kian terpapar perubahan arus air laut yang memicu abrasi pantai. Ini seperti kejadi pada proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD).

Keempat, tanggul laut menimbulkan ketimpangan geografis antara wilayah barat dan timur serta daratan dan pesisir Pantura. Selain itu, sekalipun mengurangi dampak banjir di wilayah daratan, tetapi merusak ekosistem pesisir.

Kemudian, tanggul laut mempersempit dan menutup ruang tangkap nelayan. Keenam, mematikan mangrove dan ekosistem pesisir. Selanjutnya, memperparah banjir karena air dari darat terkepung di belakang tanggul sebagaimana kasus di Kampung Tambak Lorok, Semarang. Terakhir, menciptakan kesenjangan wilayah antara perkotaan dan pedesaan lantaran pembangunan terkonsentrasi di perkotaan.

Solusi alternatif krisis Pantura

Oleh karena itu, Martha melanjutkan, MDS mendorong pemerintah agar mengubah pendekatannya dari cenderung mengatur air laut tak membanjiri daratan menjadi memahami kompleksitas permasalahan terkait air, seperti ekstraksi air tanah, amblesan tanah, rob, abrasi, dan ekosistem pesisir, di Pantura Jawa.

"Pendekatan lain, misalnya, adalah dari sisi manajemen air tanah agar ekstraksi air tanah dalam semakin dikurangi agar laju amblesan semakin berkurang," jelasnya. Sayangnya, "Pemerintah secara kontraproduktif justru mendorong program ekstraksi air tanah dalam, misalnya lewat Program  Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat), sementara pemenuhan kebutuhan air [untuk rumah tangga dan industri] yang bebas dari air tanah-dalam tidak terwujud sampai sekarang."

MDS juga mendesak pemerintah menumbuhkan kembali hutan mangrove selaku pelindung alami pesisir. Dicontohkannya dengan hutan mangrove seluas 75 ha di Mangunharjo, Kota Semarang, berkat upaya kolektif masyarakat setempat melakukan penanaman sejak tahun 2000-an.

"Manfaat yang dirasakan oleh warga [Mangunharjo] adalah tidak adanya rob, memulihkan/memunculkan daratan baru, memukul mundur laut, dan menciptakan ekosistem baru sehingga nelayan mudah mendapat ikan. Pembangunan yang berorientasi pada manusia, tidak hanya infrastruktur semata, akan mendorong kota menjadi lebih nyaman ditempati oleh semua golongan masyarakat," jelas Martha.

Berita Lainnya
×
tekid