sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jalan lurus RS Soekanto: Menolak nama Belanda, teguh tak berpolitik

Kapolri pertama RS Soekanto ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Sabtu, 14 Nov 2020 11:39 WIB
Jalan lurus RS Soekanto: Menolak nama Belanda, teguh tak berpolitik

Raden Said Soekanto Tjipto Tjokrodiatmodjo tak pernah bermimpi bakal jadi kepala kepolisian Indonesia yang pertama. Saat ditawari posisi itu oleh Presiden Sukarno, Soekanto menolaknya. Dengan rendah hati, ia menyebut masih banyak seniornya yang lebih pantas menduduki posisi itu. 

"Tidak, saya ingin kamu yang jadi kepala kepolisian negara. Hubungi saja yang lain supaya bergabung dan bangun polisi nasional," kata Sukarno dalam buku biografi Jenderal Polisi R.S Soekanto Tjokrodiatmodjo karya Awaloedin Djamin dan Ambar Wulan yang terbit pada 2016. 

Instruksi itu diutarakan Sukarno kepada Soekanto dalam rapat kabinet perdana pada 29 September 1945. Kala itu, Soekanto masih berusia 37 tahun dan bertugas sebagai instruktur calon polisi dari kalangan bumiputera sekolah polisi milik Jepang di Sukabumi. 

Pada masa itu, banyak perwira kepolisian yang lebih senior ketimbang Soekanto, semisal R. Soemarto (Pekalongan), Ating Natakusumah (Palembang), Asikin Natanegara (di kantor Keimubucho), Yusuf Snouk Hugronje (Bandung) dan Soedjono (Kantor Jaksa Agung).

Alasan Soekanto soal senioritas itu ditepis Sukarno. Sang proklamator bersikeras menunjuk Soekanto sebagai kepala kepolisian negara yang pertama. Soekanto pun menyerah dan menerima pinangan Sukarno. 

Soekanto sebenarnya tidak sengaja ikut dalam rapat tersebut. Ia diajak Sartono, anggota Dewan Nasional yang ditugasi Jepang untuk mempersiapkan pemerintahan nasional Indonesia. Sartono dan Soekanto bersahabat karena pernah sama-sama bersekolah di rechts hooge school (RHS). 

Sehari sebelum rapat itu, Soekanto mendatangi kediaman Sartono. Di rumah itu, Iwa Kusuma Sumantri ternyata sedang bertamu. Kepada mereka, Soekanto berkeluh kesah mengenai gagalnya upaya dia menuntut Jepang menyerahkan sekolah polisi di Sukabumi ke tangan pemerintah RI.

Menurut Soekanto, Departemen Dalam Negeri Jepang (Keimubucho) menyatakan tidak berhak lagi mencampuri urusan domestik Indonesia karena kalah perang. Segala urusan domestik bakal diserahkan kepada pasukan pasukan sekutu di Jakarta.

Sponsored

Merasakan kegundahan Soekanto, Sartono dan Iwa pun membawa ia ke rapat perdana kabinet Sukarno. Ketika itu, Indonesia belum punya kepolisian nasional. Iwa dan Sartono pun membujuk Sukarno agar menunjuk Soekanto sebagai kepala polisi pertama. 

Soekanto memang dikenal sederhana dan bukan tipe pengejar jabatan. Lahir di Bogor, Jawa Barat pada 7 Juni 1908 dari pasangan R. Martomihardjo dan Kasmirah, Soekanto merupakan sulung dari enam bersaudara. 

Ayah Soekanto, Martomihardjo, ialah seorang pamong praja yang berasal dari Ketangi Daleman, Purworejo, Jawa Tengah. Sejak kecil, Soekanto dididik secara disiplin. Sang ayah pun mengajarkan kecintaan terhadap tanah air dan rekan sebangsa. 

Karena lahir di keluarga priyayi, Soekanto berkesempatan mengenyam pendidikan ala Barat. Soekanto sekolah di frobel school (TK), europese lagere school (ELS), hoogere burger school (HBS), dan rechts hooge school.

"Pendidikan Belanda berpengaruh pada dirinya terhadap proses kultural dan peningkatan intelektualitas dan dispilin dalam dirinya yang juga ditanam dari keluarga," tulis Awaloedin Djamin dan Ambar Wulan.

Kapolri pertama RS Soekanto. /Foto dokumentasi Direktorat Sejarah Polri

Menolak nama Belanda

Meski dididik ala Barat, Soekanto tidak lupa akan "akarnya". Saat sekolah di ELS Bogor, dia menolak diberi nama Belanda. Padahal, murid ELS dari kalangan pribumi lazimnya diberi nama Belanda dan justru cenderung bangga dengan nama asing mereka. Saat bersekolah di HBS, Soekanto pun menolak punya nama Belanda.

Pada 1928, Soekanto melanjutkan bersekolah di RHS atau sekolah tinggi hukum di Jakarta. Selain Sartono dan Iwa, Soekanto juga berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya seperti Teuku Mohammad Hasan, Iskaq Tjokrohadisurjo, Soepomo, dan Mohammad Roem. 

Pada saat yang sama, Soekanto juga aktif dalam perguruan rakyat yang dipelopori Ki Hadjar Dewantara. Di sinilah, Soekanto meminati bidang kepanduan yang kelak jadi modal menjadi polisi. Namun, Soekanto hanya setahun bersekolah di RHS. 

"Dia terpaksa meninggalkan RHS karena kondisi perekonomian ayahnya yang telah pensiun dari jabatan wedana Tangerang," tulis Awaluddin Jamin dan Ambar Wulan.

Setelah mendapat masukan dari sahabat-sahabatnya di RHS, Soekanto pun mencoba peruntungan dengan melamar ke Comissarisen Cursus. Itu adalah lembaga pendidikan tinggi kepolisian bikinan Belanda yang memberikan kesempatan karier kepada pemuda dari kalangan pribumi. 

Akan tetapi, lamaran Soekanto ditolak. Ia malah ditawari untuk ikut Hoofd Agent van Politie (kursus agen polisi) di Sukabumi. Soekanto tak mau. Ia paham Hoofd Agent van Politie ialah kursus polisi bagi orang berijazah rendah.

Baru pada tahun berikutnya, Soekanto diterima di sekolah polisi. Setelah tiga tahun dididik, ia lulus dengan pangkat Aspiran Komisaris Polisi Klas III. Itu pangkat tertinggi bagi polisi dari kalangan pribumi di era kolonial. 

Saat bersekolah di Sukabumi, Soekanto berkenalan dengan Bua Hadidjah Lena Mokoginta, gadis Bolaang Mongondow, Manado. Lena adalah sahabat Soenarti, adik Soekanto. Soekanto jatuh cinta dan menikahi Lena pada 1932. 

Karier Soekanto di kepolisian cepat menanjak. Salah satunya didorong rumor Soekanto keturunan Belanda karena perawakannya yang tinggi besar. Setelah beberapa kali pindah tugas, Soekanto ditempatkan di Kepolisian Karesiden Jakarta pada 1942.

Pada 1943, Jepang--yang ketika itu menguasai Indonesia menggantikan Belanda--mempromosikan Soekanto ke lembaga pendidikan polisi Jawa Keisatsu Gakko di Sukabumi. Dua tahun berselang, tepatnya pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan sekutu. Tak lama setelah itu, Soekanto bertemu Sukarno dan ditawari jabatan Kepala Kepolisian Nasional (KKN).

Menjabat sebagai KKN di era pergolakan fisik tak mudah. Apalagi, polisi ketika itu juga berstatus sebagai kombatan. Soekanto dan korpsnya turut menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Soekanto juga berjuang menumpas pemberontakan di berbagai daerah, termasuk usaha kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama di Madiun. 

Saat Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, Kepolisian Nasional berubah nama menjadi Djawatan Kepolisian Negara yang mencakup seluruh wilayah Indonesia, kecuali Irian Barat (Papua kini). Berbarengan dengan perubahan itu, Soekanto pun kian serius membenahi institusi yang ia pimpin.

Sejumlah terobosan diluncurkan. Soekanto mendirikan unit-unit khusus kepolisian, semisal Polisi Perairan dan Seksi Polisi Udara, Polisi Perintis, Polisi Kereta Api, Polisi Wanita, membentuk laboratorium kriminal, serta mendirikan unit Interpol. Ia juga mengubah Akademi Polisi menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). 

Kepala kepolisian nasional pertama Raden Said Soekanto (duduk di sebelah kiri). /Foto dokumentasi Polri

Teguh tak berpolitik 

Saat KKN berganti nama menjadi Menteri Muda Kepolisian pada 1959, Soekanto mulai tersingkirkan. Dalam wawancara dengan Deddy S Komaruddin pada 1983, Soekanto mengungkapkan, ketika itu institusi kepolisian mulai dirasuki kepentingan-kepentingan politik. 

Komaruddin mewawancarai Soekanto untuk keperluan pembuatan skripsi di PTIK. Ketika itu, menurut Komaruddin, Soekanto menunjukkan sebuah map yang isinya dokumen-dokumen lama yang berisi pidato dia jelang pemberhentian sebagai KKN dan potongan-potongan berita lawas di koran.

"Soekanto diskors Presiden Sukarno karena adanya kemelut politik yang telah memasuki tubuh Polri melalui perwira-perwiranya," tulis Komaruddin. 

Komaruddin juga mencatat kesaksian dari Toeti Soebadi, sekretaris pribadi Soekanto pada masa itu. Menurut Toeti, Soekanto tidak menduga ia bakal dipecat dengan tidak hormat. 

Salah satu ingatan yang membekas di benak Toeti ialah saat Soekanto tetap bekerja separti biasanya pada 16 Desember 1959 atau sehari sebelum serah terima jabatan. 

Tidak ada drama ketika itu. Menurut Toeti--sebagaimana dicatat Komaruddin--Soekanto ke kantor hanya untuk memilih buku untuk dibawa pulang dan memeriksa uang operasional yang ada di brankas. 

"Saat memilih-milih buku itulah Toeti menyaksikan keaslian kepribadian Soekanto yang sederhana, penuh ketabahan, dan sabar menerima kenyataan walaupun semua itu memojokkan dirinya," tulis Komaruddin. 

Infografis Alinea.id/Oky Diaz

Keesokan harinya, Soekanto muncul dalam serah terima jabatan kepala kepolisian. Dalam acara yang dihadiri Letnan Jenderal A.H Nasution sebagai Menko Pertahanan dan Keamanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Soekanto tak bersedia memakai baju dinas dan hanya mengenakan pakaian sipil.

Paham akan situasi di tubuh kepolisian ketika itu, "protes" Soekanto dimaklumi Nasution. "Keteladanan Soekanto kita anggap sebagai suatu mercusuar untuk kita dapat tetap dalam tugas kita dan kewajiban kita melaksanakan apa yang menjadi jawatan kita," kata Nasution.

Setelah upacara selesai, Soekanto menyalami semua staf yang hadir di markas besar kepolisian. Tanpa banyak berkata-kata, menurut Toeti, semua personel kepolisian yang hadir dalam acara serah terima hanyut dalam keharuan. 

"Soekanto sangat berpegang teguh pada tugas utama kepolisian, yakni menjaga keamanan dan ketertiban umum, jangan berpolitik. Tapi, akhirnya Soekanto menjadi korban politik karena semua aparat pemerintah sudah kemasukan pengaruh politik, termasuk militernya," kata Toeti. 

Soekanto sebenarnya sempat ditawari jabatan duta besar oleh Sukarno. Namun, Soekanto menolaknya. Ia mengaku ingin tetap berada di Indonesia dan mengikuti perkembangan kepolisian yang sudah dibangunnya selama 14 tahun terakhir.

Meski tersingkir, jasa Soekanto tak dilupakan. Berdasarkan Keputusan Presiden RI tertanggal 18 Mei 1961, Soekanto mendapat penghargaan Satya Lencana Peringatan Perjuangan, Satya Lencana Karya Bhakti, Satya Lencana Jana Utama dan Satya Lencana Karya Kelas 1.

Tepat pada peringatan Hari Bhayangkara di Lapangan Mabak, Jakarta pada 1 Juli 1968, Presiden Sukarno menyematkan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Soekanto. Lewat Keputusan Presiden No.168/ABRI/1968, Sukarno juga menaikkan pangkat Soekanto menjadi jenderal polisi. 

Jasa Soekanto pada era perjuangan dan era kemerdekaan juga tak dilupakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada 10 November 2020, Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada kepala kepolisian pertama RI itu. 
 

Berita Lainnya
×
tekid