sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Simalakama layanan Starlink di Indonesia 

Starlink berpotensi membangkrutkan perusahaan penyedia jasa internet domestik dan menghadirkan risiko keamanan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Rabu, 22 Mei 2024 17:12 WIB
Simalakama layanan Starlink di Indonesia 

Layanan internet Starlink resmi dikomersialisasikan di Indonesia sejak Minggu (19/5) lalu. Peresmian Starlink dihadiri langsung oleh pengusaha asal Amerika Serikat pemilik SpaceX, Elon Musk di Denpasar, Bali. Puskesmas Pembantu (Pustu) Sumerta Kelod di Denpasar, Bali, dipilih sebagai salah satu konsumen perdana Starlink. 

"Ini (Starlink) untuk kesehatan dan saya rasa bisa ditransformasikan untuk pendidikan juga. Kalau Anda bisa mengakses internet, Anda bisa pelajari segalanya,” kata Elon Musk kepada wartawan usai peresmian Starlink. 

Mengenakan batik hijau, Elon didampingi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sakidikin dalam peresmian Starlink. Kepada awak media, Budi mengatakan Starlink utamanya bakal dimanfaatkan untuk menyediakan internet bagi puskesmas-puskesmas di daerah terpencil.

"Kita kan ada 10 ribu puskesmas. Sebanyak 2.700 itu koneksinya buruk. Selain itu, 700 dari 10 ribu tidak ada koneksi sama sekali. Dengan adanya Starlink, 700 (puskesmas ) yang tidak memiliki akses internet itu sekarang bisa mendapatkan akses internet," kata Budi. 

Starlink sebenarnya sudah beroperasi di Indonesia sejak dua tahun lalu. Di ibu kota Nusantara (IKN), setidaknya sudah ada lebih dari 10 fasilitas publik yang memanfaatkan layanan internet berbasis konstelasi satelit itu. Namun, ini kali pertama Starlink dikomersialisasi untuk publik. 

Jika dibandingkan layanan internet yang disediakan perusahaan domestik, Starlink tergolong mahal. Untuk memperoleh perangkat keras pada layanan residensial dan jelajah, konsumen harus merogoh kocek Rp 7,8 juta. Harga layanan internet tetap sebesar Rp750 ribu per bulan, sedangkan regional senilai Rp990 ribu per bulan. 

Kehadiran Starlink memicu beragam respons. Salah satunya ialah dosen komunikasi dan media Universitas Airlangga Henri Subiakto. Curhat di akun X (dulu Twitter) @henrysubiakto, Henri mengaku tak setuju Starlink diizinkan beroperasi di Indonesia. 

Tak hanya berpotensi membangkrutkan perusahaan nasional di bidang telekomunikasi dan penyedia jasa internet, Starlink juga menghadirkan risiko keamanan. Menurut Henri, layanan Starlink bisa digunakan kelompok kriminal atau separatis. 

Sponsored

"Starlink juga bisa dimanfaatkan kekuatan separatis seperti KKB/OPM dan lain-lain untuk komunikasi mereka tanpa terdeteksi negara atau pemerintah Indonesia. Starlink berpotensi akan mengoyak NKRI," tulis Henri. 

Starlink lebih banyak digunakan oleh negara-negara satelit atau pendukung Amerika Serikat (AS). Satelit Starlink memiliki perbedaan signifikan dibandingkan satelit biasa seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1, dan satelit-satelit lain milik Eropa maupun AS. 

Starlink menggunakan satelit low earth orbit yang beroperasi dengan ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 km di atas permukaan bumi. Starlink berukuran kecil yang jumlahnya ribuan dan dirancang bekerja bersama secara sinkron menyediakan layanan internet. "Mereka seperti BTS terbang," imbuh Henri. 

Dikembangkan sejak 2015 oleh SpaceX, Starlink tidak butuh mitra dan bisa melayani langsung ke publik tanpa pihak ketiga. Jika tidak diregulasi, Henri khawatir layanan Starlink yang potensial semakin kompetitif bakal membunuh perusahaan-perusahaan penyedia jasa layanan internet domestik. 

Saat dikonfirmasi, Henri mengatakan pemerintah "melupakan" banyak hal saat mengizinkan Starlink beroperasi di dalam negeri. Yang utama ialah persoalan kedaulatan. Dengan hadirnya Starlink, negara seolah membiarkan ruang udara nasional dikelola oleh asing. 

Selain itu, pemerintah juga seolah mengabaikan produk-produk teknologi dalam negeri dan infrastruktur internet nasional. Selain Palapa, Indonesia sudah mengoperasikan Satelit Republik Indonesia (Satria) 1 sejak 2023. Rencananya, Satria 2 bakal segera diluncurkan. 

"Satria 2 yang penggunaannya masih sekitar 15% dari kapasitas. Tiba tiba datang Elon Musk diberi karpet merah oleh Pak Luhut (Pandjaitan) dan Kemenkes. Mereka lebih dahulukan perusahaan asing dari pada milik sendiri yang sudah direncanakan dan disiapkan sejak sepuluh tahun lalu," ucap Henri kepada Alinea.id, Selasa (21/5).

Belum optimalnya infrastruktur internet, kata Henri, seharusnya menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan pemerintah. Negara tak seharusnya "potong kompas" dengan memberikan keleluasaan bagi perusahaan asing beroperasi di ruang-ruang udara Indonesia. 

"Ini jelas menunjukkan inkonsistensi kebijakan dan lemahnya sinergi antar kementerian. Nampak ada kebijakan top-down yang memotong keberlanjutan kebijakan digitalisasi nasional," ucap Henri.

Karena punya satelit sendiri, Starlink bisa mengumpulkan data pengguna mereka. Beluma ada regulasi yang mewajibkan Starlink untuk melaporkan data sensitif atau berbagai informasi-informasi berisiko membahayakan keamanan nasional. 

Ketua Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja sepakat beroperasinya layanan Starlink menghadirkan risiko keamanan. Terlebih, jika layanan internet Starlink sudah menembus "pasar retail". Artinya, semua jenis konsumen bisa mengakses dan membeli layanan yang disediakan Starlink. 

"Kalau sudah seperti itu, (layanan internet Starlink) akan semakin susah dikendalikan dan diawasi sehingga bisa jatuh ke kelompok teroris, separatis, dan kelompok kejahatan terorganisir," ucap Ardi kepada Alinea.id, Selasa (21/5).

Ardi menilai risiko keamanan dan kebocoran data akan selalu mengintai jika Indonesia negara bergantung pada teknologi yang diproduksi pihak asing. Ia sepakat pemerintah seharusnya tak memberikan karpet merah bagi Starlink dan mengutamakan teknologi buatan sendiri. 

"Ada kepentingan, hype, dan fomo (fear of missing out) tanpa mengindahkan faktor dan prinsip manajemen risiko. Ini perkara ketergantungan, sedangkan buatan dalam negeri diabaikan walaupun sudah punya pengalaman lebih lama dari Elon Musk," ucap Ardi. 

Pendapat sedikit berbeda diutarakan peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Parasurama Pamungkas. Ia menilai Starlink bisa jadi solusi efektif untuk menghadirkan layanan internet di ribuan titik buta yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. 

"Adanya Starlink itu memberikan kita akses kepada internet yang mana dia merupakan bagian dari pemenuhan atas hak kebebasan berekspresi atau dalam bahasa yang sederhana adalah pemenuhan terhadap hak-hak atas informasi. Bagi saya, itu malah bagus di saat akses terhadap internet itu tidak merata," ucap Parasurama kepada Alinea.id, Selasa (26/5).

Menurut Parasurama, banyak daerah yang tidak terkoneksi ke jaringan internet karena pemerintah dan perusahaan penyedia jasa internet belum punya kapabalitas untuk menjangkaunya. Menyoal ancaman kebobolan data, ia berpendapat kehadiran Starlink justru bisa digunakan untuk menguji efektivitas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). 

"Tinggal nanti menunggu apakah Kominfo akan melihat Starlink sebagai apa. Apa dia diperlakukan sebagai penyedia internet? Kalau semisal dia diperlukan sebagai penyedia internet, dia berada di pengawasan Kominfo sebagai mana provider lainnya," ucap Parasurama.
 

 

Berita Lainnya
×
tekid