sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Keringanan pajak Pemprov DKI efektif jika diikuti sanksi tegas

Jangan sampai keringanan pajak justru membuat wajib pajak tidak patuh.

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Kamis, 19 Sep 2019 15:05 WIB
Keringanan pajak Pemprov DKI efektif jika diikuti sanksi tegas

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, kebijakan keringanan pokok pajak dan pembebasan sanksi pajak daerah oleh Pemerintah Provinsi DKI merupakan cara efektif untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak. Yustinus memuji langkah yang ditempuh jajaran Gubernur Anies Baswedan itu.

"Menurut saya, sepanjang diikuti law enforcement yang tegas, cara ini bisa efektif," kata Yustinus kepada Alinea.id pada Kamis (19/9).

Apalagi, kata Yustinus, apabila kebijakan keringanan diperluas, seperti tunggakan pajak lama dan perluasan jenis pajak. Tentu hal itu menjadi kesempatan bagi wajib pajak membayar tunggakannya.

Sebagai informasi, Badan Pajak Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta memberikan keringanan pokok pajak daerah terdiri dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) atas penyerahan kepemilikan kedua dan seterusnya, pajak kendaraan bermotor (PKB), dan pajak bumi pembangunan pedesaan dan perkotaan (PBB P2). Kebijakan pembebasan sanksi pajak daerah dilakukan terhadap sembilan jenis pajak yang ada di Pemprov DKI Jakarta.

Tunggakan pokok PKB dan BBN-KB kedua dan seterusnya sampai dengan 2012, diberikan keringanan sebesar 50%. Sementara untuk PKB sampai dengan 2013-2016 diberikan keringan sebesar 25% dan sanksi administrasi dihapuskan.

Kemudian, atas tunggakan pokok PBB dari 2013-2016 diberikan sebesar 25%. Kebijakan ini diberikan secara otomatis pada saat wajib pajak melakukan pembayaran.

Sementara itu, penghapusan sanksi administrasi piutang sembilan jenis pajak daerah yakni: hotel, hiburan, parkir, air tanah, restoran, reklame, dan PBB-P2 sampai dengan 2018. Kebijakan ini diberikan secara otomatis pada saat wajib pajak melakukan pembayaran.

Adapun PKB dan BBN-KB sampai dengan 2019 kebijakan ini diberikan secara otomatis pada saat wajib pajak melakukan pembayaran.

Sponsored

"Biasanya kalau pemutihan memang yang ikut banyak ya. Yang tidak pas kalau membuat psikologi massa dan membentuk persepsi bahwa akan ada pemutihan/pengampunan lagi. Sehingga mereka justru tidak patuh tapi menunggu," ujar Yustinus.

Oleh sebab itu, ia menyarankan agar kebijakan keringanan ini hanya dilakukan sekali dan diikuti dengan law enforcement. Menurutnya, agar wajib pajak taat membayar, perlu dilakukan penagihan secara aktif.

"Bahkan bisa melakukan penyampaian surat paksa, sita dan lelang, termasuk blokir rekening. Upaya persuasi yakni reschedule utang dengan skema cicilan dan garansi asset," ucapnya.

Tak hanya itu, Yustinus menyebut bahwa penunggak pajak bisa saja mendapat pengurungan atau penyanderaan (gizjeling) di lembaga permasyarakatan (lapas) apabila tak melunasi pajaknya.

Sebelumnya, Kepala BPRD DKI Jakarta Faisal Syafruddin mengatakan, penyanderaan dilakukan terhadap wajib pajak yang memenuhi empat kriteria. Pertama, wajib pajak menunggak minimal Rp 100 juta.

Kedua, wajib pajak tidak kooperatif. Ketiga, wajib pajak tidak memiliki itikad baik untuk membayar pajak. Terakhir, wajib pajak punya itikad ke luar negeri untuk menghindari pembebanan pajak.

"Wajib pajak harus membayar utangnya dalam waktu enam bulan masa penahanan. Jika wajib pajak tidak membayar utangnya, penyanderaan akan diperpanjang," ujar Faisal.

Berita Lainnya
×
tekid