sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Debat keempat Pilpres 2019: Prabowo ganas, Jokowi trengginas

Jokowi atau Prabowo? Siapa yang unggul dalam debat?

Ayu mumpuni Kudus Purnomo Wahidin Achmad Al Fiqri
Ayu mumpuniKudus Purnomo Wahidin | Achmad Al Fiqri Minggu, 31 Mar 2019 04:33 WIB
Debat keempat Pilpres 2019: Prabowo ganas, Jokowi trengginas

Debat keempat Pilpres 2019 wajib menjadi ajang pembuktian bagi calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Pasalnya, ini kali terakhir Prabowo beradu gagasan dengan calon petahana Joko Widodo (Jokowi). Di debat terakhir nanti, Prabowo harus berbagi panggung dengan pasangannya Sandiaga Uno. 

Debat yang mengambil tema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional, itu penting lantaran di baku debat perdana dengan Jokowi, Prabowo dianggap melempem. Di debat dua debat lainnya, pasangan penantang pun tak dianggap unggul. 

Artinya, peluang dan waktu Prabowo untuk meyakinkan para pemilih gamang untuk memilih pasangan nomor urut 02 kian sempit. Dikurangi masa tenang selama 3 hari, total hanya ada 13 hari tersisa untuk berkampanye meyakinkan publik bahwa ia dan Sandiaga pasangan terbaik di perhelatan pilpres kali ini. 

Karena itu, wajar jika akhirnya Prabowo tampil lebih ganas dalam debat keempat yang dihelat di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (30/3) malam. Sejak peluit debat dibunyikan, Prabowo langsung meluncurkan sejumlah peluru kritik. 

Di segmen pertama, saat berdebat soal ideologi, selain mengklarifikasi, Prabowo sekaligus mengkritik para pendukung Jokowi yang menudingnya bakal menganti Pancasila dengan khilafah jika memenangi Pilpres 2019.

"Ini tidak masuk akal. Ibu saya seorang Nasrani. Saya lahir dari seorang Nasrani. 18 tahun saya sudah membela Pancasila. Kenapa saya dituduh? Sungguh kejam sekali itu," ujar Prabowo. 

Jokowi langsung mencoba 'menenangkan' Prabowo. "Saya juga percaya kok Prabowo itu Pancasilais. Saya juga percaya Prabowo nasionalis. Saya percaya Prabowo itu patriot. Tapi, masalah tuduh-menuduh, saya juga banyak dituduh. Pak Jokowi PKI. Saya juga biasa-biasa saja," ujar dia. 

Selain retorika soal korupsi yang diibaratkan bak kanker stadium 4 dan bocornya triliunan keuangan negara, Prabowo juga mengeluarkan sejumlah kritik anyar, semisal maraknya jual beli jabatan di kementerian dan lembaga, serta langkah pemerintah memberi izin kepada perusahaan asing untuk mengelola sejumlah bandara dan pelabuhan. 

"Bandara dan pelabuhan itu objek vital dan tidak boleh dikelola asing. Masalah bandara bagi kami dalam strategi perang ini masalah strategis, bukan masalah pedagangan. Bukan masalah ekonomi semata," ujar Prabowo. 

Terkait itu, Jokowi berdalih Indonesia tidak bisa membangun infrastruktur sendirian. "Karena negara lain juga mengundang untuk berinvestasi ke negara kita. Yang paling penting adalah orang kita ada di dalam. Tapi, soal kedaulatan tidak sesenti pun akan kita berikan (ke asing)," ujar dia. 

Kritik berulang dilontarkan Prabowo menyoal postur alat utama sistem pertahanan (alutsista) dan minimnya anggaran Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Menurut dia, Indonesia tidak dipandang oleh negara-negara lain karena postur alutsista yang 'kerdil'. 

Anggaran Kemenhan, termasuk di antaranya untuk regenerasi alutsista, hanya 0,8% dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, menurut Prabowo, anggaran pertahanan negara-negara tetangga nilainya sampai 3% dari PDB. 

"Kalau kita bangun Divisi (Infanteri) 3 (Kostrad) tapi, pelurunya enggak ada, buat apa? Buat apa buat Divisi 3 markasnya bagus, tapi enggak bisa perang? Briefing-briefing yang bapak terima perlu untuk dikaji kembali?" ujar Prabowo. 

Dengan trengginas, Jokowi berkelit dengan mengatakan bahwa ia masih percaya TNI masih mampu menjaga kedaulatan NKRI. Diakui dia, saat ini pemerintah lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur. 

"Tapi, saya yakin dari informasi intelijen strategis yang masuk ke saya, 20 tahun ke depan invasi dari negara lain ke negara kita dapat dikatakan tidak ada," tuturnya. 

Prabowo langsung mencecar. Menurut dia, Jokowi dibohongi para bawahannya. Sesuai 'ilmu' dan pengalaman yang dia himpun sejak menjadi perwira TNI, Prabowo menegaskan, negara harus selalu siap menghadapi perang. Karena itu, membangun alutsista ialah sebuah keniscayaan.   

"Saya waktu masih Letda, saya juga dapat pengarahan dari jenderal-jenderal saya tahun 74, bahwa dalam 20 tahun tak akan terjadi perang terbuka. Tahu-tahu tahun 75, (perang) Timor Timur meletus. Yang beri briefing ke bapak, aduh, aduh, aduh. Siapa yang beri briefing itu, Pak? Tidak boleh di bidang pertahanan-keamanan kita anggap tidak akan ada perang. Si vis pacem, para bellum. Kalau mau damai, harus siap untuk perang," tuturnya. 

Serangan paling tajam--yang cenderung menyerang personal--disemburkan Prabowo di penghujung segmen ke-4. Ketika itu, Prabowo mempertanyakan dugaan mobilisasi aparatur negara dalam pemenangan salah satu 'kontestan'. 

"Bapak komit kepada demokrasi, tetapi maaf bocor di mana-mana surat-surat dari pejabat bapak yang menggunakan aparat dalam (memenangkan) salah satu kontestan dalam pemilihan. Ini kan tidak sesuai dengan kaidah demokrasi?" ujar Prabowo.

Pertanyaan itu, sebagaimana dikonfirmasi juru bicara BPN Prabowo-Sandi, Andre Rosiade usai debat, mengacu pada beredarnya tangkapan layar WhatsApp Group bernama 'Pilpres 2019' yang isinya diduga arahan dari Kapolres Bima Erwin Ardiansyah kepada para kapolsek untuk memenangkan Jokowi. 

Sayangnya, pertanyaan Prabowo itu tidak dijawab oleh Jokowi lantaran waktu untuk menanggapi sudah habis. Di segmen berikutnya, isu mobilisasi aparatur sipil negara itu 'lupa' diulas oleh Prabowo lebih lanjut. 

Meskipun Prabowo tampil galak, debat berakhir dengan damai. Di penghujung debat, kedua calon presiden berjanji tali persahabatan tidak akan putus hanya karena panasnya kontestasi perebutan kekuasaan. 

"Pak Prabowo, saya ini senang naik sepeda dan sering naik sepeda itu rantainya putus, tetapi rantai persahabatan kita tidak pernah putus. Begitu juga rantai persahabatan antara kiai Ma'ruf dan Sandi juga tidak pernah putus," ujar Jokowi. 

Ajakan 'damai' itu direspons positif Prabowo. "Jadi, memang karena ini debat, Pak. Audiens, kalau kita terlalu bersahabat ini kan kurang (menarik). Jadi, gimana ya? Kita juga bersahabat dengan beliau. Jadi inilah perbedaan kita tentang negara," tutur Prabowo. 

Siapa unggul? 

Pakar komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menilai Jokowi hanya sedikit unggul dari Prabowo dalam debat tersebut. Petahana terutama unggul saat berdebat terkait tema pemerintahan. "Secara substansi dan pemaparan lebih unggul karena dia (Jokowi) incumbent," katanya kepada Alinea.id. 

Dari narasi yang dibangun, menurut Nyarwi, Jokowi dan Prabowo memiliki sasaran pemilih yang berbeda. Jokowi lebih menyasar kaum milenial. Hal itu setidaknya tersirat dari konsep 'Dilan' (digital melayani) yang ia tawarkan sebagai strategi membenahi pelayanan publik. 

Sedangkan Prabowo, Nyarwi memandang, lebih ingin menyasar kepercayaan publik secara umum. Itulah kenapa narasi yang dibangun Prabowo berkutat menyoal pemerintahan yang bersih dan antikorupsi. "Bidang pemerintahan, cara pandang keduanya beda. Masing-masing ditujukan untuk membidik segmen pasar yang beda," katanya. 

Adapun terkait tema ideologi, Nyarwi memandang, tak ada perbedaan signifikan antara kedua kandidat. Polarisasi cukup tajam antara Jokowi dan Prabowo terlihat pada tema pertahanan dan hubungan internasional. Namun, sulit bagi Nyarwi untuk menentukan siapa yang unggul.

"Untuk pertahanan dan keamanan dan (politik) luar negeri keduanya memiliki perspektif dan cara pandang berbeda. Para pemilih, khususnya swing voters dan undecided voters-lah yang bisa menentukan mana di antara keduanya yang lebih unggul," katanya.

Pernyataan senada diutarakan pengamat politik Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah. Menurut Dedi, Prabowo terlihat lebih mengutamakan pertahanan dengan kekuatan militer dalam visi misinya, sedangkan Jokowi dianggap lebih mengutamakan ideologi. 

"Kubu 01 tidak memiliki gagasan spesifik terkait tema, hanya bagian ideologi yang memiliki porsi cukup banyak, karena berisi program revolusi mental dan pembinaan ideologi Pancasila," ujarnya. 

Di sisi lain, fokus di bidang militer saat debat juga dinilai Dedi tak lantas membuat Prabowo unggul. Pasalnya, kondisi militer Indonesia sekarang tidak sama dengan kondisi saat Prabowo masih menjadi Komandan Jenderal Kopassus. 

"Meskipun masih dalam uraian normatif, tetapi ada hal yang harus dipuji, yaitu ide menggabungkan relasi internasional melalui diplomasi budaya. Hal ini menggambarkan bahwa Prabowo menyadari kekuatan militer tidak sepenuhnya relevan dalam menjaga kedaulatan," ujarnya. 
 

Respons warganet

Penghuni Twitter juga terbelah dalam menyikapi hasil debat Prabowo vs Jokowi. Dikutip dari akun Twitter @i-wulung, respons warganet terhadap pernyataan-pernyataan keduanya dalam debat cukup berimbang di tiap segmen debat. 

 

Pada segmen pertama, Prabowo memperoleh share of voice hingga 50,83%, sedangkan Jokowi meraup 49,17%. Tingkat sentimen positif terhadap Jokowi sebesar 59,27% sedangkan Prabowo 55,85%. Sentimen negatif yang diperoleh Prabowo sebesar 24,71% sedangkan Jokowi 23,87%.

Pada segmen ini, warganet lebih memihak Jokowi dengan tingkat trust sebesar 13,94%. Prabowo hanya mendapatkan 8,88% kepercayaan warganet. Komentar disgust (jijik) juga ditunjukkan 8,4% percakapan warganet menyinggung Prabowo. Jokowi yang hanya mendapat 4,5%.

Pada segmen kedua, Jokowi dan Prabowo mendapatkan proporsi sentimen positif dan negatif yang cukup berimbang. Sentimen negatif bagi Jokowi mencapai 26,27%, sedangkan Prabowo 26,11%. Di sisi lain, sentimen positif Prabowo mencapai 56% sedangkan Jokowi 55,71%.

Pada segmen ketiga, Prabowo unggul telak. Raihan sentimen positif Prabowo mencapai 54,95% sedangkan Jokowi sebesar 49,67%. Sentimen negatif terhadap Prabowo juga lebih rendah ketimbang yang didapat Jokowi pada segmen itu. 

 

Pada segmen keempat, cuitan negatif warganet bernada emosi ditujukan pada Prabowo dengan 2.718 tweets, sedangkan Jokowi hanya mengantongi 1.346 tweets. Dalam aspek kepercayaan, Jokowi lebih unggul dengan raihan 23,17% sedangkan Prabowo yang hanya mendapat 15,03%.

Memasuki segmen kelima, respons disgust terhadap Prabowo naik dengan persentase sebesar 17,97% atau 2.500 cuitan sedangkan Jokowi hanya memperoleh 15,39% atau 1.160 cuitan. Jokowi mendapat peningkatan dalam respons trust dengan total 24,87% sedangkan Prabowo sebesar 17,72%.

 

Pada segmen terakhir, respons disgust warganet masih lebih banyak ditujukan pada Prabowo dengan persentase 14,76% atau 1.700 tweets, sedangkan Jokowi memperoleh 13.33% atau 919 cuitan. Tingkat kepercayaan terhadap Jokowi juga lebih tinggi ketimbang Prabowo pada segmen pamungkas itu. 

Berita Lainnya
×
tekid