sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kampanye door to door yang masih populer saat pemilu

Strategi door to door bermanfaat bagi partai politik untuk mempromosikan calon legistatif dan presiden mereka, sebelum kampanye datang.

Mona Tobing Robi Ardianto
Mona TobingRobi Ardianto Jumat, 07 Des 2018 18:04 WIB
Kampanye door to door yang masih populer saat pemilu

Sejak kampanye resmi dimulai pada 23 September, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mulai menabung popularitas. Strategi kampanye canvassing atau door to door masih dipilih untuk meningkatkan elektabilitas capres dan cawapres

Hal ini terlihat dari pantauan Alinea.id dari sejumlah kegiatan capres dan cawapres Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. 

Dalam catatan Alinea.id, sejak 23 November sampai 5 Desember 2018, capres dan cawapres nomor urut 01 Jokowi dan Ma'ruf Amin tercatat melakukan sejumlah kegiatan dengan strategi door to door. Seperti, blusukan ke pasar dengan berdialog bersama sejumlah pedagang, serta menghadiri dan melantik sejumlah relawan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Lalu, bertemu dan berdialog dengan tokoh agama, menghadiri kegiatan olahraga serta komunitas. Hingga makan di sejumlah restoran yang tengah hits.

Hampir sama dengan lawannya, capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo dan Sandiaga juga melakukan kampanye dengan strategi door to door. Seperti, mengunjungi tokoh agama dan pondok pesantren, melantik para relawan dan blusukan ke pasar. Hingga menonton bersama film Hanum dan Rangga. 


 

Door knocking dipilih partai politik pengusung capres dan cawapres untuk bertemu pemilih dalam kampanye pemilihan. Strategi ini terbukti bermanfaat bagi partai politik untuk mempromosikan calon legistatif dan presiden mereka, sebelum masa kampanye. 

Strategi ini memang diyakini paling ideal untuk menggaet suara. Sebab, cara kampanye door to door menggerakkan capres, cawapres atau calon legistatif (caleg) untuk lebih berkontribusi dengan melibatkan diri pada masalah lokal, organisasi komunitas dan pemimpin opini lokal. 

Nah, dari sejumlah strategi yang dilakukan capres dan cawapres tersebut, pengamat politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah Putra mengatakan, pasangan calon (paslon) nomor urut 01 lebih efektif dalam menyampaikan pesan. 

"Efektif karena dibebankan kepada calon legistatif atau caleg pendukung, mulai tingkat kota atau kabupaten," kata Dedi kepada Alinea.id

Strategi ini memang dinilai masih favorit untuk kandidat karena dinilai mampu membangun dukungan akar rumput. Plus, lebih tepat sasaran karena pesan kampanye sesuai dengan target.  

Meski begitu, strategi ini bukan tanpa kelemahan. Dedi bilang, butuh logistik yang besar untuk merealisasikannya. Sebab menggunakan metode dan proses voter to voter alias langsung bertatap muka dengan calon pemilih tidaklah murah. 

Sebagai informasi, strategi canvassing ini ditemukan dalam teori marketing saat seorang sales mengenalkan produk dengan cara bertatap muka langsung dengan pelanggan ataupun calon pelanggannya. Agar lebih efektif, Dedi menyarankan agar komunikasi sebaiknya cukup dilakukan dengan sistem multi level marketing (MLM) politik. 

Caranya, paslon cukup dengan menghimpun komunikasi yang bisa difungsikan sebagai agen. Agen memiliki target komunikasi sebanyak empat sampai lima keluarga di lingkungannya masing-masing. 

Pada pelaksanaannya, Dedi menyebut kalau paslon Jokowi Ma'ruf telah melakukannya dengan baik. Hal ini merunut dari target konstituen Jokowi-Ma'ruf yang terbilang cukup lengkap. 

Cawapres Ma'ruf Amin dinilai memiliki target elektoral yang berasal dari kelas muslim salafi alias tradisional. Titik temunya berada di pesantren. Berpadu dengan Jokowi yang memiliki basis elektoral dari pemilih nasionalis. 

Mencontoh negara lain 

Strategi kampanye lain yakni microtargetting yang belakangan juga booming di sejumlah negara. Meski masih terbilang baru di dunia politik, namun cukup sukses dan dapat ditiru.  

Presiden Donald Trump misalnya menggunakan big data untuk mengetahui wilayah mana yang berpotensi menjadi kantong pemenangannya. Menggunakan big data, Trump berhasil berkampanye yang tepat sasaran ke pemilihnya. 

Selain di AS, di India, Narendra Modi pada tahun 2013 juga membentuk tim analis untuk memenangkan pemilihan umum. Lalu, Uhuru Kenyatta, Presiden Kenya yang menggunakan data pemilih guna memenangkan Pemilu. Kemudian, Rodrigo Duterte, Presiden Filipina dan Presiden Iran Ahmadinejad menggunakan hal yang sama. 

Bagaimana dengan di Indonesia?

Dedi menyebut kalau strategi microtargetting mungkin belum begitu banyak dilakukan. Sekalipun Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf berkali-kali mengklaim pihaknya menggunakan strategi microtargetting tersebut. 

Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf Amin Abdul Kadir Karding mengatakan, TKN selalu melakukan pemetaan dan analisis terhadap kondisi masing-masing daerah pemilihan. Menurut Karding, terdapat 10 provinsi yang kini menjadi fokus pihaknya untuk meningkatkan perolehan suara. Sejumlah provinsi itu, antara lain Banten, Jawa Barat; Sumatra Selatan; Sumatra Utara dan lain-lain.

Strategi TKN tersebut dinilai Dedi terbilang spesifik pada pemilihan target. Pasalnya, langsung pada sasaran orang ke orang, dan bukan publik. Bonus demografi pun dikatakan Dedi amat cocok untuk menggunakan strategi ini. Sebab mudah untuk mengidentifikasi rasa ketertarikan pada setiap individu ataupun kelompok kecil tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi pemikiran, aksi, hingga keputusan mereka. 

Dalam politik strategi microtargetting cocok untuk meningkatkan elektabilitas. Maka, perlu dilakukan pemetaan secara rinci oleh tim pemenangan atau bisa pula menggunakan analisis data. 

Tujuannya, agar pesan yang dimaksud sampai kepada pemilih. Hanya saja, menurut Dedi hal yang perlu diperhatikan yaitu pemetaan target harus benar. 

"Karena menjadi sia-sia kalau target dilakukan kepada loyalis tertentu, baik loyalis petahana maupun penantang," katanya. 

Maka itu, saran dedi, microtargetting harus dilakukan di ruang abu-abu pada pemilih yang masih berpotensi untuk mengubah pilihannya. Cara kerjanya hampir sama seperti beriklan media sosial, seperti di: Facebook, Twitter ataupun Google. 

Apalagi pada era teknologi seperti saat ini, microtargetting banyak dilakukan melalui media sosial. Sedangkan cara konvensionalnya dengan menemui calon pemilih hingga ke rumah-rumah. 

Riset : Fultri Sri Ratu Handayani

Berita Lainnya
×
tekid