Presiden Prabowo Subianto menunjuk Letnan Jenderal (Letjen) Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Dirjen Bea Cukai) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang baru. Djaka menggantikan Askolani yang menduduki jabatan itu sejak 2021.
Sebelum jadi Dirjen Bea Cukai, Letjen Djaka menjabat sebagai Sestama Badan Intelijen Negara (BIN). Ia merupakan anggota tim Mawar yang dibentuk Prabowo saat menjabat sebagai Danjen Kopassus. Bersama 11 anggota tim Mawar lainnya, Djaka divonis bersalah dalam kasus penculikan aktivis.
Djaka sempat diisukan masih berstatus prajurit TNI aktif saat ditunjuk jadi Dirjen Bea Cukai oleh Prabowo. Namun, hal itu dibantah Djaka. Ia mengaku sudah menyerahkan surat pengunduran diri kepada TNI sejak 2 Mei 2025.
"Saya dipanggil oleh Kepala BIN, bahwa ada rencana Pak Prabowo untuk menempatkan saya di Bea Cukai. Karena ini adalah tugas negara yang merupakan tantangan untuk saya, ya saya bersedia untuk mengajukan pengunduran diri," kata Djaka dalam konferensi pers APBN KiTa di Kemenkeu, Jakarta, Jumat (23/5).
Pernyataan Djaka juga dibenarkan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Kristomei Sianturi. Ia mengatakan Djaka sudah mengajukan pengunduran dirinya dari TNI sejak awal Mei lalu. Pengunduran diri Djaka resmi setelah terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 37/TNI/Tahun 2025.
"Dengan terbitnya Keppres tersebut, maka per 14 Mei 2025, Letjen TNI Djaka Budi Utama resmi pensiun dini dan tidak lagi menyandang status sebagai prajurit aktif," ujar Kristomei dalam keterangan tertulis.
Dengan begitu, penunjukan Djaka sebagai Dirjen Bea Cukai itu tidak melanggar Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI. Dalam UU TNI yang baru, Kemenkeu bukan institusi sipil yang bisa sembarangan dimasuki prajurit TNI aktif.
Meski dianggap tak melanggar isi UU TNI, pakar kajian otonomi daerah, Djohermansyah Djohan menilai penunjukan Djaka merusak manajemen karier aparatur sipil negara (ASN) di Kemenkeu. Ia berpendapat jabatan sekelas dirjen semestinya ditempati birokrat yang meniti karier dari bawah.
"Berdasarkan prestasi dan melalui jenjang karier dari bawah sampai ke atas, kemudian terpupuk kemampuan dan kompetensi dan diasah lagi dengan mengikuti traning di diklat. Kapabilitasnya kemudian dipertajam dengan spesialisasi-spesialisasi. Jadi, tidak ada orang yang nyelonong," kata Djohermansyah kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Di luar persoalan kompetensi, Djohermansyah khawatir normalisasi prajurit atau purnawiraan TNI di jabatan sipil akan membuat lembaga sipil kehilangan marwah mereka. Ujung-ujungnya, para pegawai di kementerian dan lembaga bisa saja tidak profesional dalam memberikan pelayanan publik.
Ia berkaca pada sejarah dwifungsi ABRI pada era rezim Orde Baru. Menurut Djohermansyah, birokrasi sipil yang dikuasai elite militer pada era rezim Soeharto tak mampu melayani publik dengan baik. "Tampaknya pemerintahan sekarang tidak belajar sejarah," kata Djohermansyah.
Selain persoalan "kecemburuan sosial" di kalangan ASN, Djohermansyah mewanti-wanti "bahaya" kultur militer yang dibawa pejabat dari kalangan TNI. Militer cenderung menerapkan manajemen komando yang otoriter, sementara manajemen ASN bekerja secara kolektif.
"Pimpinan ngasih arahan dan bawahan jalankan. Padahal, keputusan itu tidak bermutu dan tidak berkualitas. Itulah yang menjadi dasar saya mengkritik. Jadi, cara militer ini tidak bisa dipakai oleh sipil karena hasilnya akan membuat kinerja merosot," kata Djohermansyah.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi mengatakan penunjukan Letjen Djaka sebagai Dirjen Bea Cukai tak boleh dilihat secara hitam-putih. Dia menilai ada persoalan manajerial di Ditjen Bea Cukai yang sedang berusaha ingin diselesaikan Presiden Prabowo dengan penunjukkan Djaka.
Namun demikian, Yogi menilai faktor kedekatan personal turut mempengaruhi penunjukkan Djaka. Hal itu tak masalah jika Djaka punya kapabilitas untuk memperkuat kinerja Ditjen Bea Cukai. Sudah ada preseden pejabat yang sukses memimpin kementerian meskipun tidak memiliki latar belakang yang selaras dengan tupoksi kementerian itu.
"Salah satunya Menteri Budi Gunadi Sadikin. Dia bukan dokter dan (pakar) kesehatan. Tetapi, dia cukup sukses memimpin Kementerian Kesehatan (Kemenkes)," kata Yogi saat dihubungi Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Yogi memandang Prabowo berusaha memberi tugas penting kepada orang-orang kepercayaannya agar kinerja mereka bisa lebih terpantau. "Jadi, memang ini lebih pada kedekatan ketimbang latar belakang (pendidikan). Saya rasa juga ada masalah manajerial yang berusaha diperbaiki," tegasnya.