Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan pembahasan revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) akan dilakukan secara matang dan tidak terburu-buru, meskipun hanya menyasar satu pasal utama. Sikap ini diambil sebagai bentuk komitmen parlemen dalam menghasilkan produk legislasi yang berkualitas, inklusif, dan berpihak pada kepentingan bangsa.
“Komisi II enggak pakai terburu-buru, lah. Komisi II ingin menghadirkan produk legislasi yang mudah-mudahan memberikan manfaat dan menjauhi mudarat,” ujar Rifqinizamy di Kompleks DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/4).
Pernyataan tersebut menjadi jawaban atas kekhawatiran publik terkait revisi UU ASN akan dilakukan tergesa-gesa dan tanpa kajian mendalam. Menurut Rifqinizamy, DPR sangat menyadari pentingnya UU ASN dalam mengatur tata kelola aparatur negara yang netral, profesional, dan adaptif terhadap dinamika pembangunan nasional.
Rifqinizamy menjelaskan, netralitas ASN masih menjadi persoalan serius, terutama saat pemilihan kepala daerah (Pilkada). ASN di level pimpinan kerap berada dalam tekanan politik, baik dari petahana yang mencalonkan diri kembali maupun dari calon yang didukung kepala daerah. Dengan memberikan kewenangan mutasi kepada presiden, diharapkan posisi ASN bisa lebih independen dari dinamika lokal yang sarat kepentingan politik.
Dalam semangat keterbukaan, Komisi II telah menugaskan Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR untuk melakukan kajian akademik dan analisis komprehensif terhadap pasal-pasal yang akan direvisi. Kajian ini tidak hanya melibatkan aspek hukum, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial, politik, dan tata kelola birokrasi.
“BKD sudah kami perintahkan di masa sidang yang lalu dan kami juga meminta mereka untuk melakukan kajian mendalam,” ungkap Rifqinizamy.
Dengan demikian, revisi UU ASN tidak akan menjadi sekadar perubahan administratif, tetapi juga upaya menyeluruh untuk memperkuat sistem meritokrasi, netralitas ASN, dan efektivitas pelayanan publik di seluruh Indonesia.
Salah satu pokok perubahan dalam revisi ini adalah penguatan kewenangan presiden dalam melakukan mutasi terhadap pejabat ASN pada level pimpinan tinggi pratama. Rifqinizamy menilai langkah ini sepenuhnya sah dan konstitusional, sejalan dengan prinsip kekuasaan pemerintahan tertinggi berada di tangan presiden.
“Tidak ada yang salah dengan rencana ini. Dalam konteks konstitusi, presiden memang memegang otoritas tertinggi dalam urusan pemerintahan, termasuk pembinaan aparatur negara,” jelasnya.
Ia menambahkan perubahan ini bukan untuk memperluas kekuasaan presiden secara sepihak, melainkan menjawab dua masalah mendasar dalam birokrasi, yakni netralitas ASN dalam pemilihan umum (Pemilu) dan ketidaksesuaian antara kapasitas sumber daya manusia (SDM) dengan lingkungan kerja birokrasi.