

Kenapa Israel menyerang Iran?

Israel akhirnya melancarkan serangan militer terhadap Iran, sebuah langkah yang selama ini hanya berupa ancaman. Serangan yang dimulai pada Jumat pagi itu dilakukan secara terkoordinasi dan menyasar fasilitas militer serta pemerintahan Iran. Beberapa tokoh penting tewas, termasuk dua jenderal papan atas: Hossein Salami, kepala Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), dan Mohammad Bagheri, kepala staf angkatan bersenjata Iran. Bahkan, seorang ilmuwan nuklir terkemuka juga termasuk di antara korban.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan serangan ini akan berlanjut "selama diperlukan", kendati saat ini Iran dan Amerika Serikat—sekutu utama Israel—masih menjalani negosiasi terkait masa depan program nuklir Teheran. Banyak analis menduga serangan ini merupakan bagian dari strategi tekanan terhadap Iran, yang ditujukan untuk menghambat potensi pengembangan senjata nuklir.
Ancaman nuklir dan kecemasan Israel
Selama bertahun-tahun, Israel memandang program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial. Meskipun Iran bersikeras bahwa programnya ditujukan untuk kepentingan damai, Israel menolak mempercayainya. Apalagi, Israel sendiri diyakini memiliki senjata nuklir, meski tidak pernah secara resmi mengakuinya.
Netanyahu menyebut bahwa Iran bisa memproduksi senjata nuklir "dalam waktu sangat singkat – bisa dalam setahun, atau bahkan beberapa bulan." Seorang pejabat militer Israel bahkan mengklaim bahwa Iran memiliki cukup bahan fisi untuk membuat hingga 15 bom nuklir dalam hitungan hari.
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya sejalan dengan penilaian internasional. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memang menyebut Iran tidak sepenuhnya kooperatif, tetapi tidak menemukan bukti bahwa Iran sedang atau akan segera mengembangkan senjata nuklir. Amerika Serikat pun, lewat laporan Direktur Intelijen Nasional Tulsi Gabbard pada Maret lalu, menyatakan bahwa Iran tidak sedang membangun senjata nuklir, dan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei belum memberikan izin untuk menghidupkan kembali program senjata nuklir yang dihentikan pada 2003.
Kenapa sekarang?
Pertanyaan besar muncul: mengapa Israel memilih menyerang Iran saat ini? Netanyahu kerap menggambarkan Iran sebagai “kepala gurita” dengan tentakel yang tersebar di seluruh Timur Tengah, merujuk pada jaringan kelompok sekutu Iran seperti Houthi, Hizbullah, dan Hamas. Setelah berhasil melemahkan Hamas di Gaza dan menyerang Hizbullah tanpa mendapat reaksi besar, Israel tampaknya melihat ada kesempatan langka untuk terus bergerak maju menyerang para sekutunya, hingga akhirnya ke Iran itu sendiri.
Ada juga spekulasi bahwa serangan ini tidak semata soal keamanan nasional, melainkan turut dipengaruhi oleh situasi politik dalam negeri Israel. Netanyahu, yang menghadapi tekanan besar sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.139 orang Israel, dituding menggunakan konflik eksternal untuk menyelamatkan posisinya di pemerintahan—dan menghindari ancaman hukuman penjara atas kasus korupsi yang membelitnya.
Sejumlah analis menilai bahwa keputusan menyerang Iran bisa jadi bagian dari strategi bertahan politik Netanyahu. “Bagi Netanyahu, tidak ada batas yang jelas antara politik luar negeri dan politik dalam negeri,” kata analis politik Israel, Ori Goldberg. Ia menambahkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menyatakan Iran benar-benar mengancam eksistensi Israel.
Dukungan politik dan ancaman baru
Menariknya, meskipun keputusan menyerang Iran ini penuh risiko, Netanyahu mendapat dukungan luas dari kalangan politik, termasuk dari oposisi. Yair Lapid, pemimpin oposisi, menyatakan dukungan terhadap langkah militer ini. Bahkan tokoh sayap kiri seperti Yair Golan pun memberikan pernyataan serupa. Hanya sedikit yang terang-terangan menentangnya, salah satunya anggota parlemen Ofer Cassif, yang menyebut serangan ini sebagai akibat dari “kecanduan Netanyahu terhadap kekerasan” dan dorongan untuk bertahan di kekuasaan.
Sementara itu, AS tetap menjadi pendukung utama Israel, termasuk di panggung internasional. Washington kerap menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk membela Israel dari kecaman, meskipun berbagai tuduhan pelanggaran hukum internasional diarahkan pada negara tersebut.
Namun, serangan terhadap Iran membuka babak baru yang jauh lebih berisiko. Iran adalah kekuatan regional dengan jaringan pendukung yang kuat di kawasan. Serangan Israel bisa memicu respons keras dan memperluas konflik ke tingkat regional, bahkan global, mengingat banyaknya pasukan AS yang tersebar di Timur Tengah.
Apakah Israel melanggar hukum Internasional?
Menurut sejumlah pakar hukum, serangan Israel terhadap Iran bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Michael Becker, pakar hukum internasional dari Trinity College Dublin, menilai bahwa tidak ada bukti cukup bahwa Iran sedang atau akan segera menyerang Israel. Artinya, tindakan Israel tidak memenuhi kriteria "pembelaan diri" seperti yang diatur dalam Piagam PBB.
"Menyerang berdasarkan prediksi bahwa suatu hari Iran bisa punya kemampuan nuklir tidak cukup untuk membenarkan penggunaan kekuatan secara sepihak,” jelas Becker.
Serangan ini bisa memperpanjang daftar pelanggaran hukum internasional yang dituduhkan kepada Israel, terutama setelah lebih dari 20 bulan perang di Gaza yang telah menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina.(aljazeera)


Berita Terkait
Peluang Indonesia di tengah krisis Israel-Iran
Skenario perang terbuka Israel-Iran setelah Salami tewas...
Yerusalem terancam kebakaran hutan besar
Tentara Israel tangkap 3 warga Palestina, hancurkan 5 rumah di Tepi Barat

