close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Ist
icon caption
Ilustrasi. Ist
Peristiwa
Selasa, 27 Mei 2025 17:16

Kenapa kasus bunuh diri terus marak di Bali?

Dalam sistem budaya di Bali, setiap individu—terutama laki-laki—memiliki tanggung jawab adat, sosial, dan spiritual yang kuat.
swipe

Kasus bunuh diri kembali terungkap di Bali. Kali ini, seorang pria ditemukan tewas gantung diri di sebuah rumah kosong di kawasan Muding Mekar, Kelurahan Kerobokan Kaja, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali. 

Dari kartu identitas yang ditemukan pada dompet di saku celana, pria itu diketahui bernama Gede Budiarta. Berusia 33 tahun, Budiarta sehari-hari bekerja sebagai sopir travel. Budiarta tinggal di Uluwatu, Kuta. Jasad Budiarta ditemukan seorang pemancing, Kamis (22/5) malam.

April lalu, kasus serupa juga dilaporkan. Personel Bhabinkamtibmas Polsek Sukasada, Buleleng bernama Aiptu Made Suwenten ditemukan tewas tergantung di kandang sapinya di Banjar Babakan, Desa Sambangan. Suwenten diduga mengakhiri hidupnya karena stres didera persoalan keluarga. 

Sejak beberapa tahun lalu, kasus bunuh diri tergolong marak di Bali. Pusat Informasi Kriminal Indonesia (Pusiknas) Polri mencatat suicide rate di Bali mencapai 3,07 sepanjang 2023. Artinya, ada tiga kematian akibat bunuh diri per 100.000 orang. Rerata angka tingkat bunuh diri nasional hanya kisaran 0,2%.

Psikolog klinis forensik dari Universitas Indonesia (UI), Kasandra Putranto menilai tingginya suicide rate di Bali merupakan sebuah paradoks. Pasalnya, Bali merupakan tujuan wisatawan mancanegara mencari ketenangan. Ada banyak pusat wisata kesehatan mental di pulau itu, seperti yoga dan meditasi. 

Sayangnya, layanan kesehatan mental itu hampir seluruhnya ditujukan untuk turis dari luar Bali dan bukan untuk penduduk lokal. Penduduk lokal justru menghadapi tekanan ekonomi, sosial dan budaya yang sering tidak terlihat di permukaan. 

"Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata. Ketika pandemi Covid-19 melanda, banyak warga kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Efek ini masih terasa hingga kini, menciptakan stres berkepanjangan, terutama di kalangan pekerja informal, pemilik usaha kecil, dan keluarga muda," kata Kasandra kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Ketidakstabilan ekonomi, menurut Kasandra, sering menjadi pemicu munculnya gangguan kesehatan mental dan keputusan ekstrem seperti bunuh diri. Banyak keluarga menyembunyikan anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan mental karena dianggap memalukan. 

"Akses layanan kesehatan mental yang timpang. Fasilitas kesehatan jiwa di Bali masih minim dibandingkan dengan kebutuhan. Tenaga profesional seperti psikiater dan psikolog belum tersebar merata, dan layanan yang ada sering tidak terjangkau secara finansial atau geografis oleh masyarakat pedesaan," jelas Kasandra.

Mengacu pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018, Bali memiliki prevalensi gangguan jiwa berat tertinggi di Indonesia. Namun, tidak lebih dari setengah penderita gangguan jiwa yang rutin menjalani pengobatan.

"Gangguan seperti skizofrenia yang tidak tertangani dengan baik bisa menyebabkan kondisi kronis, dan tanpa pengobatan rutin (yang hanya dijalani oleh kurang dari 50% penderita), risiko bunuh diri meningkat signifikan," kata Kasandra.

Dalam sistem budaya di Bali, menurut Kasandra, setiap individu—terutama laki-laki—memiliki tanggung jawab adat, sosial, dan spiritual yang kuat. Mereka harus ikut upacara keagamaan secara rutin, serta berkontribusi secara finansial dan tenaga untuk upacara adat. Nama baik keluarga juga harus dijaga.

"Bagi sebagian orang, beban ini bisa sangat berat, terutama jika mereka mengalami kesulitan ekonomi atau gangguan mental. Ketika mereka tidak mampu memenuhi ekspektasi sosial, muncul rasa malu, gagal, atau bahkan kehilangan harga diri, yang menjadi faktor risiko untuk depresi atau keinginan bunuh diri," kata Kasandra.

Kasandra berpendapat perlu pendekatan multidimensi untuk menurunkan angka bunuh diri di Bali. Secara akademis, solusi yang lazim digunakan ialah peningkatan akses terhadap layanan kesehatan yang terjangkau dan berbasis komunitas serta menyediakan layanan psikolog dan psikiater di puskesmas. Seiring itu, masyarakat juga perlu dilibatkan untuk deteksi dini. 

"Pelatihan masyarakat sebagai gate keeper dapat membantu mengenali tanda-tanda awal krisis dan menghubungkan individu dengan bantuan profesional. Kemudian perlu dukungan sosial dan intervensi sosio-ekonomi.bFaktor sosial-ekonomi seperti pengangguran, utang, dan kemiskinan berkorelasi dengan risiko bunuh diri," kata Kasandra.

Upaya menurunkan tingkat bunuh diri di Bali bukan sekadar tanggung jawab sektor kesehatan saja. Inisiatif itu membutuhkan pendekatan lintas sektor berbasis bukti yang disesuaikan dengan konteks lokal. "Harus melibatkan pemerintah, masyarakat adat, tokoh agama, dan sektor pendidikan secara kolaboratif," kata Kasandra. 

Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) Rose Mini Agoes Salim mengatakan salah satu yang membuat orang mudah depresi dan berujung bunuh diri adalah kurangnya life skill dalam menyikapi masalah dan tekanan hidup. Masyarakat mudah cemas lantaran dunia sedang dilanda ketidakpastian.

"Manusia dengan pengetahuan yang luas, interaksi dan kecakapan dalam berkomunikasi diperkirakan dapat kemudian memenuhi kebutuhan hidup esensial dan memecahkan masalah-masalahnya. Pada saat itu, dia bisa mandiri sebagai manusia," ujar Rose kepada Alinea.id, Senin (26/5).

Orang-orang yang punya life skill yang bagus, kata Rose, cenderung bisa fokus menyelesaikan beragam persoalan hidup dan memiliki kontrol diri yang kuat.

Di lain sisi, komunitas juga bisa berkontribusi untuk membangun empati dan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mental.

"Ini juga seperti adanya daya lenting. Jadi, kalau sudah jatuh jangan sampai terpuruk dan harus maju lagi ke depan untuk bisa mengatasi masalah- masalahnya," kata dia.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan