Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berencana membangun seratus kampung nelayan Merah Putih pada 2025. Pembangunan kampung nelayan Merah Putih direncanakan bakal rampung dalam empat bulan, dimulai dari Agustus 2025.
Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya KKP, Trian Yunanda, mengungkapkan sejauh ini ada 910 proposal yang sedang dikurasi. KKP akan mengidentifikasi apakah lahan yang diusulkan milik pemerintah atau bukan untuk mencegah adanya klaim sepihak. Seiring itu, KKP juga menyiapkan regulasi sebagai dasar hukum.
Ada sejumlah kriteria kampung nelayan Merah Putih. Pertama, mayoritas penduduk bekerja sebagai nelayan atau pembudidaya ikan, yakni minimal 80%. Kedua, tersedia lahan dengan status yang jelas untuk pembangunan fasilitas produksi seluas lebih dari 1 hektare. Selain itu, kampung harus memiliki potensi sumber daya ikan, budi daya ikan, serta wisata bahari yang dapat dikembangkan.
KKP bakal membangun sejumlah fasilitas di kampung nelayan Merah Putih, semisal dermaga, gudang beku, balai pelatihan, pabrik es, sentra kuliner, menara pandang, docking kapal, tempat pelelangan ikan besarta drainase dan IPAL, hingga gedung perkantoran di kampung nelayan yang baru.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati meminta KKP menimbang ulang program itu. Menurut dia, pembentukan kampung nelayan Merah Putih bakal memunculkan beragam persoalan.
Pertama, terkait syarat tanah yang harus clean and clear. Dengan persyaratan semacam itu, menurut Susan, pemerintah seolah mengabaikan eksistensi kampung-kampung nelayan yang saat ini nyaris tenggelam. Padahal, warga di kampung-kampung nelayan semacam itu jauh lebih butuh bantuan dari pemerintah.
"Kampung nelayan yang nyaris tenggelam akan dengan mudah dianggap tanahnya tidak jelas," kata Susan kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (17/6).
Kedua, terkait pengawasan. Berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, Susan mengatakan program kampung nelayan Merah Putih potensial menyimpang. Ia mencontohkan rumah susun Muara Angke yang mayoritas tak dihuni nelayan.
"Itu katanya untuk nelayan. Tetapi, hari ini (rumah susun itu) tidak diisi oleh nelayan. Bagaimana negara bisa melakukan pengawasan monitoring, kemudian juga memastikan bahwa ini memang diperuntukan untuk nelayan," kata dia.
Ketiga, soal keberlanjutan program. Menurut Susan, program seratus kampung nelayan Merah Putih juga rentan tidak berlanjut dalam jangka panjang. Kampung-kampung neyalan Merah Putih yang sudah dibentuk bisa saja ditinggalkan seiring bergantinya rezim pemerintahan.
"Karena ini akan membuat kita merasa kelelahan, khususnya kawan-kawan di pesisir kalau kemudian daerah meraka itu tidak punya kejelasan status tanah. Nanti, yang ada berganti kepemimpinan, berganti sistem pembangunannya," kata Susan.
Ketimbang merilis program kampung nelayan Merah Putih, menurut Susan, KKP sebaiknya memetakan daerah-daerah pesisir. Tak berbasis spesifikasi, bantuan pemerintah semestinya digelontorkan kepada kampung-kampung nelayan yang benar-benar urgen untuk diselamatkan, semisal kekurangan sarana dan prasarana atau berkonflik dengan perusahaan.
"Kalau kita berimajinasi, kebijakan ini seharusnya berangkat dari bawah ke atas. Seharusnya, ya, KKP banyak melakukan pendekatan ke desa-desa pesisir yang justru perlu difasilitasi," kata Susan.
Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany mengapresiasi rencana pembentukan kampung nelayan Merah Putih yang digagas KKP. Namun, ia mewanti-wanti mengelola kampung nelayan tak akan mudah. Pemerintah juga perlu menyediakan sarana dan prasarana yang tidak murah, seperti cold storage, pabrik es, dan dermaga.
"Cold storage yang penting perannya untuk penyimpanan ikan sebelum dijual sering tidak bisa beroperasi dan ikan pun busuk. Untuk daerah-daerah pesisir, ketersediaan dan kapasitas listrik untuk pabrik es maupun cold storage menjadi masalah besar," kata Andy kepada Alinea.id, Rabu (18/6).
Selain itu, masalah lain adalah kepemilikan alat tangkap, mesin dan perahu yang harganya mahal bisa mencapai ratusan juta. Selama ini, banyak nelayan bergantung pada pengusaha pemilik modal dengan pola hubungan kerja patron-client atau sistem bagi hasil.
"Problem ketiga yang lebih rumit lagi, masalah infrastruktur sosial. Apakah nelayan setempat biasa bekerja individual yang memerlukan perahu kecil saja, biasa bekerja kelompok dan biasa mencari ikan jarak jauh lepas pantai, atau hanya menyusuri pantai (dekat)? Ini merlukan perahu yang berbeda dan alat tangkap yang berbeda," kata Andy.
Jika direaliasisakan, Andy mengusulkan agar warga setempat yang natinya tinggal kampung nelayan Merah Putih juga dilindungi dengan jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan, buku pelaut, pelatihan keterampilan berlayar, keselamatan dan kesehatan kerja (K3).