Dari okupasi Gaza hingga Proyek E1: Bagaimana Israel mengubur Solusi Dua Negara
Setelah gencatan senjata singkat, miiter Israel kembali membombardir Jalur Gaza. Teranyar, rudal Israel menghantam Rumah Sakit Nasser di Khan Yunis di Jalur Gaza, Palestina, Senin (25/8). Setidaknya 20 orang tewas karena serangan itu, termasuk di antaranya 5 jurnalis dari berbagai media.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, hingga 30 Juli 2025, korban tewas mencapai lebih dari 63.000 jiwa, termasuk 61.805 warga Gaza dan 1.983 warga Israel. Korban tewas termasuk di antaranya 217 pekerja media, 120 akademisi, dan lebih dari 224 pekerja bantuan kemanusiaan. Diperkirakan 80% korban Gaza adalah warga sipil.
Saat ini, Israel telah mengerahkan setidaknya 60 ribu pasukan cadangan untuk menguasai Gaza sebagaimana instruksi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Seiring itu, warga Palestina terus-menerus berbondong-bondong meninggalkan Gaza yang hampir tak layak lagi ditinggali manusia.
Awal Agustus lalu, Kabinet Keamanan Israel telah menyepakati sebuah rencana untuk mengokupasi seluruh Jalur Gaza. Dalam sebuah wawancara dengan Fox News, Netanyahu berdalih akan menyerahkan Jalur Gaza ke militer Arab setelah dikuasai.
Selain rencana menguasai Gaza, Netanyahu juga menyepakati pembangunan area permukiman baru bagi warga Israel di Tepi Barat. Diberi nama Proyek E1, pembangunan area permukiman baru itu akan secara efektif memisahkan area Tepi Barat yang dikuasai Israel dari Jerusalem Timur dan membagi kawasan menjadi dua.
Otoritas Palestina mengutuk keras rencana tersebut. Dalam solusi dua negara (two state solution), kawasan Jerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza adalah area yang diinginkan bangsa Palestina sebagai teritori mereka ketika benar-benar merdeka.
Solusi dua negara adalah konsep penyelesaian konflik paling sering dibahas dalam konteks Israel-Palestina. Sederhananya, wilayah yang diperebutkan akan dibagi menjadi dua negara berdaulat yang berdampingan secara damai.
Pertama, negara Israel yang sudah ada sekarang. Yang kedua, negara Palestina yang mencakup wilayah yang diduduki atau disengketakan, semisal Tepi Barat, Jalur Gaza, dan kemungkinan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Solusi ini sudah lama jadi dasar pembicaraan diplomatik, misalnya, dalam Perjanjian Oslo (1993), Peta Jalan Perdamaian (2003), dan berbagai resolusi PBB. Namun, pelaksanaannya terhambat oleh isu-isu besar, semisal perbatasan, status Yerusalem, keamanan, permukiman Israel, dan hak kembali pengungsi Palestina.
Meskipun diprotes Sekjen PBB Antonio Guterres dan sejumlah pemimpin Eropa, Israel berkukuh menjalakan rencana pengembangan permukiman baru di Tepi Barat. Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich bahkan menyerukan agar Netanyahu juga menyusun langkah-langkah untuk menguasai Tepi Barat sepenuhnya.
"Negara Palestina sedang dihapus dari meja perundingan, bukan dengan slogan, tetapi dengan tindakan nyata. Setiap permukiman, setiap lingkungan, setiap unit hunian baru adalah paku tambahan di peti mati dari ide yang berbahaya ini," kata Smotrich seperti dikutip dari BBC.
Para penentang proyek E1 memperingatkan bahwa rencana itu akan memupus kemungkinan berdirinya negara Palestina. Apalagi, pembangunan di kawasan tersebut akan memutus jalur penghubung antara wilayah utara dan selatan Tepi Barat.
Pembangunan permukiman baru juga akan menghalangi perkembangan kawasan perkotaan Palestina yang berkesinambungan di bagian tengah yang seharusnya menghubungkan Ramallah, Yerusalem Timur, dan Betlehem. Akan sulit bagi negara Palestina bisa berdiri jika wilayah mereka nantinya dipisahkan oleh teritori Israel.
Dalam analisis bertajuk "What Killed The Two State Solution" yang tayang di The NewYorker, belum lama ini, Hussein Agha dan Robert Malley berpendapat Solusi Dua Negara hanya sekadar retorika dan sudah lama mati.
"Ceritanya melampaui demagogi dan penyesatan, lalu bergerak menuju absurditas. Solusi dua negara sudah mati—bahkan sudah lama mati sebelum 7 Oktober—dan setelah peristiwa itu, semakin tampak mustahil untuk diwujudkan," jelas Agha dan Malley.
Masa depan suram Solusi Dua Negara jadi tema utama yang dibahas Agha dan Malley dalam buku Tomorrow Is Yesterday: Life, Death, and the Pursuit of Peace in Israel/Palestine. Buku itu sudah resmi dijual di Amazon.
Menurut keduanya, AS dan para pemimpin Eropa tak pernah benar-benar serius menjalankan Solusi Dua Negara. Apalagi, Solusi Dua Negara terbilang gagal direalisasikan ketika bangsa Palestina masih bersatu dan ketika opini publik Israel pada umumnya bisa menerima hasilnya.
"Ketika pemukiman masih hanya sebagian kecil dari yang ada saat ini; dan ketika kedua bangsa masih bisa membayangkan semacam hidup berdampingan secara damai," tulis Agha dan Malley.
Solusi alternatif
Tak peduli formatnya, isi, tokoh, atau pendekatannya, menurut Agha dan Malley, hasilnya selalu sama. Setiap rencana merealisasikan Solusi Dua Negara selalu disambut dengan pertanyaan, keraguan, penolakan, kebingungan, kekerasan, dan, baru-baru ini, ketidakpedulian.
"Para pendukung terus mencari alasan untuk tetap percaya pada kemungkinan realisasinya... Di lubuk hati, para penganut solusi dua negara, meski dihadapkan pada semua alasan untuk menyerah, tetap kembali pada satu argumen: tidak ada alternatif realistis," jelas mereka.
Pakar ilmu politik dari German Institute of Development and Sustainability (IDOS), Mark Furness mengatakan gagasan Solusi Dua Negara saat ini hanya jadi "jualan" para petinggi negara di panggung diplomatik. Negara-negara Eropa terutama terkesan tak pernah benar-benar berani menunjukkan sikap tegas terkait konflik Israel dan Palestina.
"Dengan beberapa pengecualian penting, pemerintah-pemerintah Eropa sejauh ini membatasi diri pada seruan untuk membuka akses kemanusiaan ke Gaza dan mendesak pembebasan sandera yang ditahan Hamas, sambil tetap memasok senjata ke Israel," kata Furness.
Mau tidak mau, menurut Furness, negara-negara di Eropa harus segera mengambil sikap terkait konflik Israel dan Palestina. Skenario-skenario alternatif harus dipertimbangkan. "Dan Eropa harus memutuskan, skenario mana yang bisa mereka terima,” imbuh dia.


