Setelah lebih dari 150 tahun mengangkut para bangsawan Inggris, Kereta Kerajaan akan mengakhiri perjalanannya. Raja Charles III memutuskan untuk menghentikan operasional moda transportasi ikonik ini, dengan alasan efisiensi dan modernisasi anggaran kerajaan.
Kereta ini pertama kali diperkenalkan pada 1869 oleh Ratu Victoria, nenek buyut Raja Charles. Dalam perjalanannya, Kereta Kerajaan telah mengalami berbagai pembaruan. Armada terakhir terdiri dari sembilan gerbong yang bisa dikaitkan dengan lokomotif komersial, dengan penambahan terakhir pada tahun 1986.
Namun dalam setahun terakhir, kereta tersebut hanya digunakan dua kali. Meski jarang dipakai, biaya operasionalnya tetap tinggi — mencapai hampir £80.000 atau sekitar Rp1,6 miliar.
James Chalmers, bendahara kerajaan yang secara resmi disebut Keeper of the Privy Purse, menjelaskan bahwa keputusan untuk menghentikan layanan ini adalah bagian dari langkah modernisasi dan efisiensi keuangan istana.
“Seperti banyak aspek rumah tangga kerajaan lainnya, sudah saatnya kita mengucapkan selamat tinggal yang pantas,” ujarnya, seraya menekankan pentingnya alokasi dana yang lebih disiplin dan relevan dengan perkembangan zaman.
Di balik keputusan ini, tersimpan nostalgia. Raja Charles dikabarkan memiliki kenangan pribadi terhadap Kereta Kerajaan, namun perawatan dan operasional jangka panjangnya dinilai membutuhkan anggaran besar. Meski demikian, belum ada rincian pasti tentang berapa besar penghematan yang akan diperoleh setelah penghentian layanan tersebut pada 2027.
Pengumuman ini bertepatan dengan publikasi Laporan Tahunan Sovereign Grant, dana publik yang digunakan untuk mendukung aktivitas resmi keluarga kerajaan, termasuk pemeliharaan istana dan perjalanan dinas. Tahun ini, nilai hibah tersebut meningkat signifikan — dari £86,3 juta menjadi £132 juta — berkat lonjakan pemasukan dari penyewaan lahan angin lepas pantai milik Crown Estate.
Tambahan dana tersebut akan digunakan untuk menutupi sisa pembiayaan renovasi Istana Buckingham senilai £100 juta, serta pemeliharaan gedung-gedung kerajaan lainnya.
Crown Estate sendiri merupakan portofolio properti besar yang secara historis dimiliki oleh monarki, tetapi dikelola oleh pemerintah sejak Raja George III menyerahkannya kepada parlemen pada tahun 1760, dengan imbalan tunjangan tetap.
Meski mendapat sorotan publik, pendanaan keluarga kerajaan Inggris tetap menjadi perdebatan. Sebagian pihak, termasuk Raja Charles, berupaya memperkecil beban anggaran dengan merampingkan struktur monarki.
Namun, di tengah upaya efisiensi itu, para kritikus mempertanyakan transparansi pengeluaran istana. Kelompok anti-monarki seperti Republic mengklaim bahwa laporan tahunan tidak mencerminkan keseluruhan biaya monarki, yang mereka perkirakan bisa melebihi setengah miliar pound.
Isu ini juga mencuat dalam laporan keuangan Kadipaten Cornwall dan Lancaster — dua sumber pendapatan utama bagi Pangeran William dan Raja Charles. Beberapa media sempat menyoroti keuntungan besar dari properti yang digunakan oleh sekolah, layanan kesehatan, dan militer.
Menanggapi kritik itu, William Bax, pimpinan Kadipaten Cornwall, mengatakan pihaknya sedang meninjau ulang sejumlah kebijakan, termasuk biaya sewa terhadap lembaga sosial dan amal.
Sementara itu, para pendukung monarki menilai bahwa keluarga kerajaan tetap memiliki nilai strategis dan simbolis yang besar bagi Inggris. Acara seperti penobatan dan pemakaman Ratu Elizabeth II menjadi sorotan dunia dan menghadirkan kekuatan diplomasi lunak yang sulit ditandingi. (theage)