close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pelaku kejahatan. Alinea.id/Dwi Setiawan.
icon caption
Ilustrasi pelaku kejahatan. Alinea.id/Dwi Setiawan.
Peristiwa
Kamis, 19 Juni 2025 10:00

RKUHP dan urgensi perspektif kerugian korban kejahatan

Pernyataan dampak kerugian kejahatan terhadap korban kerap belum jadi acuan para hakim dalam memutus vonis.
swipe

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Achmadi meminta partisipasi aktif korban dalam peradilan diatur secara khusus dalam rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). 

Bentuk partisipasi yang disinggung LPSK berupa pernyataan dampak kejahatan yang dialami oleh korban atau victim impact statement (VIS). Partisipasi korban dalam proses persidangan, ujar Achmadi, merupakan salah satu bentuk perlindungan dan pemenuhan hak yang mendasar.

"RKUHAP hendaknya mengakomodasi hak korban untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses peradilan melalui pernyataan dampak kejahatan sebagai bentuk partisipasinya,” ucap Achmadi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (17/6) lalu. 

Menurut Achmadi, setidaknya ada tiga bagian pokok pernyataan dampak korban yang perlu diatur dalam RUU KUHAP, yakni deskripsi kondisi fisik yang diakibatkan kejahatan, kondisi psikis dan emosional korban, serta kondisi kerugian finansial yang diakibatkan kejahatan.

Achmadi menegaskan pernyataan dampak korban kejahatan ini dapat diterapkan dan tidak menyalahi aspek prosedur dalam sistem peradilan pidana saat ini. "Penyampaian dampak kejahatan yang dialami korban dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara," kata dia. 

Dosen hukum dan hak asasi manusia dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Manunggal Kusuma Wardaya sepakat pernyataan dampak kejahatan yang dialami oleh korban patut diatur dalam RKUHAP. Tujuannya untuk memberi peran lebih besar kepada korban dalam menyatakan kerugian yang mereka dialami karena kejahatan. 

Menurut Manunggal, dampak kejahatan terhadap korban seringkali tidak dijadikan acuan oleh para hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap pelaku di pengadilan. Walhasil, banyak korban kejahatan kerap merasa vonis hakim tak adil. 

"Posisi korban, selama ini, hanya jadi saksi korban. Itu bisa dimintai keterangan di pengadilan. Tapi, dampak kerugiannya seringkali tidak dinyatakan secara eksplisit, terkait apa yang menjadi kerugian korban, baik fisik dan psikis korban sehingga hakim seringkali dalam menjatuhkan pidana enggak tepat," kata Manunggal kepada Alinea.id, Selasa (17/6).

Menurut Manunggal, korban kejahatan sudah selayaknya berpartisipasi aktif dalam proses peradilan. Perspektif korban bisa jadi acuan bagi para hakim dalam menimbang dan memutuskan vonis yang adil bagi para pelaku kejahatan. 

"Jadi, para korban itu berhak menyatakan kerugian kepada hakim. Diharapkan penjatuhan pidananya, kalau (pelaku) memang terbukti (bersalah), maka ada keseimbangan," kata Manunggal. 

Senada, dosen hukum Fakultas Syariah UIN Samarinda, Suwardi Sagama juga setuju VIS diatur secara khusus dalam KUHAP. Namun, pengaturannya harus berbasis prinsip kehati-hatian. Dalam banyak perkara pidana, korban kerap mengalami trauma sehingga takut memberi keterangan atas kejadian yang dialami.  

"Sebagai contoh kasus-kasus pada urusan privat seperti kekerasan seksual  atau kekerasan jenis lainnya. Ini kerap kali menjadi tantangan dalam pengungkapannya. Peran keterangan korban menjadi krusial," kata Suwardi kepada Alinea.id. 

Di sisi lain, menuru Suwardi, hakim juga harus berhati-hati agar tak menerima pernyatan korban tanpa verifikasi lanjut. "Agar keterangan korban benar-benar keterangan yang bisa dipertanggungjawabkan," kata Suwardi.


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan