Jurnalis foto kantor berita Antara, Bayu Pratama Syahputra menjadi korban pemukulan oknum polisi saat tengah meliput aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin (25/8). Awalnya, Bayu datang ke lokasi Senin (25/8) siang. Dia melihat massa mulai ricuh. Lalu, mengambil posisi berdiri di barisan polisi agar lebih aman mengambil foto.
Ketika itu, ada oknum aparat yang memukul pendemo. Bayu pun ikut dipukul. Dia mendapat pukulan di kepala dan tangan.
Bayu merasa heran mengapa dia dipukul. Padahal, dia sudah menggunakan atribut peliputan lengkap. Termasuk mengenakan helm pers bertuliskan Antara.
Direktur Eksekutif LBH Pers Mustafa Layong menilai, kekerasan berulang yang dilakukan aparat terhadap jurnalis menunjukkan tabiat buruk dalam menangani unjuk rasa. Kekerasan aparat terhadap jurnalis saat meliput aksi unjuk rasa, menurut Mustafa, harus disikapi Kapolri Listyo Sigit Prabowo dengan mengevaluasi penanganan demonstrasi yang mengedepankan hak asasi manusia dan menghentikan tindakan represif.
Menurut dia, tindakan polisi ini jelas menunjukkan mereka gagal menjalankan amanat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers untuk memberikan perlindungan hukum terhadap jurnalis dalam menjalankan tugas. Kekerasan ini merupakan pelanggaran pidana dan serangan langsung terhadap Undang-Undang Pers. Pelakunya melanggar pasal 4 ayat 3 beleid itu, yang menjamin kemerdekaan pers.
“Polri harus berbenah dan menghentikan normalisasi praktik kekerasan yang dibalut penertiban dan pengamanan,” ujar Mustafa.
“Tindakan ini cermin begitu buruknya penegakan hukum dan langgengnya praktk impunitas terhadap pelaku kekerasan apda jurnalis.”
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat, kekerasan jurnalis oleh aparat atau pihak lain, sepanjang Juni 2024 hingga Juli 2025 terdapat lebih dari 20 laporan. Kekerasan itu terjadi saat jurnalis meliput demonstrasi. Secara nasional, AJI mencatat, ada 52 kasus kekerasan jurnalis hingga Juni 2025.
Sementara itu, Koordinator Advokasi AJI Jakarta, Adil Al Hasan mengatakan, cara untuk menghindari tindakan represif oleh oknum aparat terhadap wartawan bisa dilakukan dengan kelengkapan atribut pers, seperti yang sudah dilakukan Bayu Pratama.
Menurut Adil, atribut ini menjadi penting untuk membedakan antara jurnalis dan massa aksi. Sikap jurnalis Antara, kata dia, patut ditiru karena telah mempersiapkan diri dengan baik.
“Namun, lagi-lagi polisi yang tetap brutal,” ucapnya kepada Alinea.id, Senin (25/8).
Selain itu, menurut Adil, masih dimungkinkan setiap kantor media untuk melengkapi peralatan jurnalis dengan dokumentasi body-cam atau handycam untuk menangkap momen kontak tersebut. Dokumentasi momen tersebut bisa digunakan untuk melaporkan kekerasan yang terjadi.
“Karena ini juga menjadi bukti ketika jurnalis yang menjadi korban kekerasan ketika ingin melaporkan kasus mereka. Sekali lagi, kekerasan terhadap jurnalis merupakan pidana,” ucapnya.