close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi artificial intelligence atau AI./Foto geralt/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi artificial intelligence atau AI./Foto geralt/Pixabay.com
Peristiwa
Jumat, 04 Juli 2025 07:00

Tanpa regulasi, AI bisa kian berbahaya

DPR dan pemerintah diminta segera menyusun regulasi khusus untuk mengatur perkembangan artificial intelligence.
swipe

Jumlah pengguna beragam aplikasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di Indonesia terus meningkat. Pada 2024, akses terhadap beragam AI dari Indonesia diperkirakan mencapai 1,4 miliar kali. Indonesia berada di bawah AS dengan 5,5 miliar akses dan India dengan 2,1 miliar akses. 

Persoalannya, penggunaan AI tak selalu untuk hal positif, semisal mengerjakan tugas bagi kalangan mahasiswa atau membantu pekerjaan sehari-hari. Banyak warganet yang justru menggunakan AI untuk menyebar hoaks, menipu dengan teknik deepfake, dan memanipulasi opini publik. 

Pakar keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya mengatakan perlu ada regulasi khusus terkait AI seiring naiknya intensitas penggunaan AI. Indonesia, kata Alfons, bisa mencontoh langkah negara-negara Eropa dalam meregulasi AI. 

"Untuk menghindari dampak negatifnya, kita bisa belajar dari negara yang sudah melakukan pengaturan, terutama Uni Eropa, ya. Kalau Amerika Serikat, (aturannya) agak longgar," ujar Alfons kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Alfons menjelaskan bahwa pendekatan regulasi berbasis risiko yang diterapkan di Uni Eropa melibatkan multisektor, termasuk akademisi, industri, dan masyarakat sipil, untuk mendorong inovasi lokal sembari menjaga etika dan transparansi. 

"Kemudian pastikan PDP (perlindungan data pribadi) itu terjaga dan mencegah penyalahgunaan algoritma. Lalu, jangan lupa yang terakhir, SDM (sumber daya manusia)-nya dibangun supaya siap melakukan transformasi AI," ujar dia. 

Alfons mengatakan regulasi AI mendesak karena AI dapat memudahkan eksploitasi dan pemalsuan video serta gambar (deepfake) serta dipakai memanipulasi opini publik lewat akun-akun robot (bot). Khusus untuk bot, menurut Alfons, pemerintah bisa mencegah penyalahgunaannya dengan menyediakan aplikasi untuk membedakan akun organik dan bot. 

Ia mencontohkan wantwor.id yang dapat membedakan bot dengan manusia. 
"Sebenarnya itu bisa membantu, jadi dengan banyaknya bot sekarang kita sulit membedakan akun bot dengan akun asli. Pemerintah perlu mencari metode untuk membedakan akun bot atau palsu dengan akun asli," jelasnya.

Dalam konteks politik, Alfons menekankan pentingnya peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Untuk pemilu, peserta partai politik atau tim kampanye, misalnya, harus diwajibkan menginformasikan kepada penyelenggara pemilu jika mereka memanfaatkan AI dalam kampanye. 

Selain mewaspadai dampak negatifnya, menurut Alfons, pemerintah juga harus bisa memaksimalkan dampak positif dari kehadiran AI. SDM harus dikembangkan, perizinan dimudahkan. Pemerintah juga perlu memberikan stimulan.

"Misalnya, untuk pengembangan AI itu perlu didukung. AI itu darahnya apa, darahnya data center, data center dipermudah, lalu perizinan dan untuk pengembangan aplikasi AI mengutamakan dalam negeri," ujar Alfons. 

Pakar informasi dan teknologi Heru Sutadi sepakat perlunya ada regulasi komprehensif untuk mengatur AI. Undang-undang terkait AI, kata harus, harus mewajibkan ada prinsip explainable AI (XAI) untuk memastikan sistem AI dapat menjelaskan keputusannya secara sederhana.

"Seperti dalam penilaian kredit, agar publik paham dan percaya. Regulasi harus mengamanatkan kampanye edukasi nasional melalui media, sekolah, dan komunitas untuk menjelaskan manfaat AI seperti untuk efisiensi, layanan kesehatan, dan risiko seperti bias algoritmik," kata Heru kepada Alinea.id.

Ia juga menekankan kolaborasi dengan akademisi, industri, dan masyarakat sipil dalam forum terbuka untuk meningkatkan pemahaman dan memastikan kebijakan terkait mencerminkan kebutuhan publik. 

Transparansi juga menjadi kunci, dengan kewajiban laporan tahunan penggunaan AI oleh perusahaan dan pemerintah dalam bahasa yang mudah dipahami.

Dalam aspek keamanan, Heru menggarisbawahi perlunya UU AI mengutamakan keamanan data dengan standar enkripsi ketat dan audit siber rutin. "Larangan penggunaan senjata otonom tanpa pengawasan manusia diperlukan untuk mencegah eskalasi konflik dan memastikan akuntabilitas," jelas Direktur Eksekutif ICT Institute itu.  

Pembentukan badan pengawas independen untuk memantau penggunaan AI juga dianggap krusial agar tidak disalahgunakan. Terakhir, Heru menyoroti pentingnya mendorong inovasi lokal. UU AI harus memberikan insentif untuk riset AI lokal oleh universitas dan startup.

"Seperti mendirikan pusat inovasi AI nasional. Kebijakan kedaulatan data yang mewajibkan pemrosesan data sensitif oleh penyedia lokal, program pelatihan SDM seperti upskilling, serta kemudahan akses pendanaan bagi start-up AI lokal juga menjadi prioritas untuk mendukung industri dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja," tuturnya. 
 

 

img
Adityia Ramadhani
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan