close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kebakaran di lahan gambut. /Foto Antara
icon caption
Ilustrasi kebakaran di lahan gambut. /Foto Antara
Peristiwa
Kamis, 26 Juni 2025 10:04

Tata kelola gambut masih semerawut

Pengawasan lemah jadi penyebab perusahaan melakukan pelanggaran berulang di area konsensi gambut.
swipe

Tata kelola lahan gambut masih semerawut. Dalam laporan bertajuk 'Melacak Jejak Pengelolaan Gambut: Ancaman, Konflik, dan masa Depan Berkelanjutan' yang dirilis belum lama ini, Pantau Gambut dan Kaoem Telapak menemukan kasus-kasus kerusakan lahan gambut karena pelanggaran yang dilakukan perusahaan. 

Perlindungan lahan gambut diatur dalam PP Nomor 71  Tahun 2014 yang diperbarui menjadi PP No. 57 2016. Aturan itu dirancang melindungi ekosistem gambut, termasuk penatapan fungsi lindung pada area dengan ketebalan gambut lebih dari 3 meter dan kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi. 

Namun, Pantau Gambut dan Kaoem Telapak menemukan regulasi-regulasi perlindungan gambut tak serius dijalankan aparat penegak hukum. Dalam laporan setebal 24 lembar itu, kedua LSM sepakat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum sebagai penyebab utama kegagalan pelaksanaan kebijakan itu di lapangan.

Salah satu kasus yang disoroti ialah "perilaku" PT Agrindo Green Lestari (AGL) dan Citra Agro Abadi (CAA) yang beroperasi Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Kedua perusahaan diduga sengaja melakukan kanalisasi untuk pengeringan gambut. Padahal, kawasan yang dikanalisasi berada dalam fungsi indikatif gambut lindung. 

Pelanggaran perusahaan berulang. Pada 2017, AGL mendapat perintah Dirjen Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengambil langkah pencegahan atau pemulihan lingkungan terkait kebakaran hutan dan lahan di konsesi mereka antara 2015-2019. Setahun berselang, perusahaan itu malah kembali kena sanksi administrasi karena kebakaran kembali terjadi di lahan konsensi mereka.

AGL dan CAA memiliki luas konsesi masing-masing 8.968,2 hektare dan 9.256,2 hektare. Awalnya area hutan produksi konversi (HPK), konsensi berubah status jadi areal peggunaan lain (APL). Analisis tutupan lahan Pantau Gambut dan Kaoem Telapak menunjukkan daerah itu dominan tanah terbuka. Sisa areal hutan di area konsensi AGL seluas 4.333,5 hektar dan CAA seluas 5.111 hektar.

Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana mengungkapkan kerusakan lahan gambut akibat konsesi perusahaan kayu dan juga sawit juga masif terjadi di Sumatera Selatan. Pengawasan yang lemah oleh aparat penegak hukum jadi salah satu penyebab peristiwa kebakaran di lahan gambut terus berulang. 

"Pengulangan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi sebenarnya menjadi catatan bahwa ada proses penegakan hukum yang tidak berjalan dan ketidakefektifan kebijakan khususnya pasca-UU omnibus law (Cipta Kerja)," kata Wahyu kepada Alinea.id, Rabu (26/6).

Wahyu mengatakan kasus-kasus kerusakan lahan gambut karena pelanggaran yang dilakukan perusahaan juga terjadi karena standar keberlanjutan perusahaan pembuka lahan tidak diawasi di lapangan, baik oleh pemerintah dan lembaga sertifikasi. 

"Klaim (perusahaan) telah memiliki standar keberlanjutan. Ini juga menjadi catatan untuk lembaga-lembaga sertifikasi karena proses dan yang berjalan di konsesi itu tidak mungkin melakukan klaim mandiri terhadap standar keberlanjutan, tanpa kemudian mendapatkan asesmen dari lembaga sertifikasi," kata Wahyu.

Lemahnya pengawasan, menurut Wahyu, membuat tata kelola lahan gambut tetap semerawut. Walhasil, kebakaran hutan dan lahan kerap berulang. "Penegakan hukum yang tidak berdampak signifikan ini pun harus jadi perhatian  lebih lanjut," imbuhnya. 

Ahli gambut dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata menyebut sulit ada kompromi antara LSM dan perusahaan atau negara dalam tata kelola lahan gambut. Negara ingin lahan gambut dikelola untuk kesejahteraan. Namun, LSM ingin lahan gambut kembali ke sedia kala. 

"Berbeda pijakannya. Tim Pantau Gambut, misalnya, ingin menjadikan atau bercita-cita untuk tidak mengkonversi lahan gambut beserta hutannya dan habitatnya. Oleh karenanya, disebut-sebut (kawasan habitat) orangutan. Walaupun saya kurang yakin lahan yang dijadikan konsesi adakah habitat orang utan," kata Basuki kepada Alinea.id, Rabu (26/6).

Basuki berharap ada solusi untuk melindungi lahan gambut, tetapi tidak secara kaku. Salah satu yang tetap harus diperkuat ialah pengawasan dan penegakan hukum agar korporasi tidak merusak lahan gambut. Dengan begitu, pemanfaatan lahan gambut tidak memunculkan kerusakan lingkungan atau dampak kerusakannya minimal.  

"Jadi, poinnya pemanfaatan lahan sesuai rencana bukanlah suatu kesalahan. Apabila dalam perencanaan dirasa salah, maka urutannya adalah ubah perencanaannya dan ini dimungkinkan untuk selalu ditinjau kembali. Tentu harus memperhitungkan berbagai aspek. Untung-ruginya diperhitungkan," kata Basuki. 


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan