Titik kebakaran hutan dan lahan gambut yang semakin meluas. Pantau Gambut mencatat jumlah kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) per Juli 2025 melonjak drastis. Sepanjang bulan Juli, terdeteksi 13.608 titik panas di KHG—atau 5 kali lipat lebih banyak dibandingkan bulan Juni 2025 yang hanya mencatat sekitar 2.700 titik panas.
Pejabat pemerintah berdalih lonjakan kasus karhutla pada Juli 2025 terjadi karena faktor cuaca ekstrem. Namun, argumentasi itu dibantah Manager Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana. Menurut Wahyu, cuaca ekstrem juga pernah terjadi pada Juli 2023 saat El Niño melanda. Namun, ketika itu hanya ada sekitar 2.500 titik panas.
"Narasi bahwa karhutla yang mereka bangun akibat cuaca ekstrem tidak lagi relevan karena sebaran titik panas di Juli 2025 naik hingga empat kali lipat dibandingkan Juli 2023 saat El Niño melanda Indonesia," kata Wahyu kepada Alinea.id, Jumat (8/8).
Wahyu melihat kebakaran KHG yang masif saat ini berkaitan dengan pembubaran Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada April 2025 lalu. Pasca-BRGM dibubarkan pemerintah, kewenangan pengelolaan KHG kini diampu oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
"Naiknya hotspot hampir 5 kali lipat ini menjadi indikasi ada problem dalam konteks tata kelola KHG. Kalau diurus dengan serius, fungsi pengawasan dan sistem hidrologinya harusnya terjaga—termasuk di kawasan konsesi. Kewajiban menjaga tinggi muka air tanah maksimal 40 cm sudah diatur dalam regulasi," ujar Wahyu.
Wahyu menegaskan, ketika BRGM masih aktif, lahan gambut terjaga basah sehingga risiko kebakaran minim. "Kalau gambut dijaga basah, maka tidak akan ada kebakaran hutan dan lahan, atau dalam konteks ini tidak mungkin terlihat lonjakan hotspot," kata Wahyu.
Data kenaikan hotspot lahan gambut. Sumber: Kemenhut, KLH
Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim Walhi Riau, Ahlul Fadli menilai pemerintah belum maksimal menjaga kawasan hutan dan lahan gambut dari kebakaran. Di Riau, masih banyak area hutan yang mengalami deforestasi dan pengeringan lahan.
"Masalah berulang tiap tahun adalah efektivitas infrastruktur pembasahan, seperti sekat kanal yang banyak rusak sehingga tidak berfungsi menjaga kelembapan dan mencegah karhutla," kata Fadli kepada Alinea.id, Jumat (8/8).
Fadli menambahkan, kondisi ini diperburuk karena sebagian besar gambut di Riau masih berada di bawah izin konsesi—sekitar 70% lahannya digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Hal ini menjadi hambatan utama dalam pemulihan gambut yang mengalami degradasi.
Lebih parah lagi, konsesi ini sering kali tidak selaras dengan tujuan restorasi. Perusahaan cenderung mengeringkan gambut melalui kanal untuk keperluan pertanian atau kehutanan yang justru mempercepat kerusakan ekosistem.
"Selain itu, komunikasi pemerintah pusat, daerah, masyarakat, dan sektor swasta masih lemah. Koordinasi dalam perencanaan dan evaluasi izin konsesi untuk mendukung restorasi minim. Banyak perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban restorasi dengan serius," tegas Fadli.
KLHK melaporkan hingga akhir Juli 2025 terdapat lebih dari 29.000 hotspot di seluruh Indonesia, dengan 47% di antaranya berada di wilayah gambut. Adapun BMKG mencatat suhu rata-rata Juli 2025 di Sumatra mencapai 33–35°C dengan curah hujan di bawah 50 mm.
Sebelumnya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan pemerintah akan "keroyokan" mengatasi ancaman kebakaran di area lahan gambut. Model kerja kolektif itu, kata dia, menjadi cara paling efektif dalam menangani kerusakan ekosistem gambut.