close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi ancaman polusi udara. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi ancaman polusi udara. /Foto Unsplash
Peristiwa
Selasa, 30 September 2025 18:56

Warga Jakarta perlu waspada, polusi udara bisa picu demensia

Polusi udara bisa mempercepat proses demensia. Eksperimen pada tikus menunjukkan polutan bisa mempercepat kerusakan pada otak.
swipe

Kita sering membayangkan polusi udara sebagai ancaman yang menyesakkan paru-paru. Asap knalpot, debu jalanan, atau kabut tipis di pagi hari di kota besar terasa nyata di dada. Tapi siapa sangka, apa yang kita hirup bisa juga menggerogoti otak dan memori kita. 

Sebuah riset yang baru saja diterbitkan di jurnal Science memunculkan pertanyaan menakutkan: apakah udara kotor yang kita hirup setiap hari bisa mempercepat risiko demensia, khususnya demensia badan Lewy—salah satu bentuk paling umum setelah Alzheimer?

Demensia badan Lewy dikenal dengan gejala yang campur aduk: halusinasi, perubahan perilaku, sampai penurunan kognitif yang pelan tapi pasti. Penyebab utamanya adalah penumpukan protein alpha-synuclein yang berubah jadi toksik di otak. 

Yang mengejutkan, studi ini menemukan bahwa partikel halus polusi udara (PM2.5)—yang ukurannya lebih kecil dari butiran debu—dapat mempercepat proses itu.

"Kami termasuk salah satu studi pertama yang memberikan kaitan mekanistik yang masuk akal antara polutan lingkungan umum dan patologi molekuler demensia badan Lewy,” kata Xiao Wu, salah satu penulis studi sekaligus profesor biostatistik di Columbia University, seperti dikutip dari National Geographic, Selasa (30/9). 

Tim peneliti melakukan eksperimen pada tikus. Partikel PM2.5 dari Tiongkok, Amerika Serikat, hingga Eropa dimasukkan lewat hidung tikus, seolah-olah mereka hidup di tengah lalu lintas padat. 

Hasilnya bikin merinding: dalam dua bulan, protein alpha-synuclein di otak mereka mulai berubah bentuk seperti benih penyakit. Sepuluh bulan kemudian, otak tikus menyusut, ingatan mereka meredup, dan perilaku kognitif mereka menurun drastis.

Yang menarik, ketika percobaan serupa dilakukan pada tikus yang gennya diatur agar tidak menghasilkan alpha-synuclein, hasilnya berbeda. Otak mereka tetap utuh. Itu seakan menegaskan bahwa polusi udara bukanlah penyebab tunggal, tapi semacam “pemantik” yang mempercepat kerusakan.

Kalau di tingkat hewan hasilnya begitu jelas, bagaimana dengan manusia? Para peneliti kemudian menelaah 56 juta catatan medis di Amerika Serikat. Pola yang muncul cukup konsisten: mereka yang tinggal di wilayah dengan polusi udara tinggi punya risiko lebih besar untuk dirawat karena demensia badan Lewy.

Di dunia nyata, manusia terpapar dosis PM2.5 yang jauh lebih rendah sepanjang hidup, sementara tikus dalam studi menerima dosis lebih tinggi dalam waktu singkat. Selain itu, tidak seperti manusia, tikus tidak secara alami menumpuk alpha-synuclein seiring bertambahnya usia.

Studi ini juga menemukan peningkatan risiko rawat inap sebesar 7 persen untuk penyakit Parkinson tanpa demensia. Wu berhipotesis bahwa mungkin PM2.5 lebih berpengaruh dalam memicu demensia dibanding Parkinson biasa. 

"Bisa juga pasien Parkinson tanpa demensia lebih jarang masuk rumah sakit dibanding pasien lainnya," kata dia. 

Ilustrasi penderita demensia. /Foto fizkes-Shutterstock

Ancaman serius

Salah satu keterbatasan studi adalah muatan pasti dari PM2.5 yang tidak diketahui secara pasti. Partikel halus ini bisa mengandung logam beracun, karbon hitam, dan berbagai zat lain. Tidak jelas polutan mana yang membentuk strain yang memicu percepatan demensia. 

Namun demikian, Hong Chen, ilmuwan riset kesehatan lingkungan di Health Canada yang tidak terlibat dalam studi tersebut, mengatakan ia terkesan dengan bagaimana para penulis “menyatukan” temuan ini dari berbagai sudut.

“Hasilnya sangat konsisten dan saling melengkapi. Studi ini memberikan bukti paling kuat sejauh ini yang menghubungkan PM2.5 dengan demensia badan Lewy yang saya ketahui," kata Chen. 

Bagi warga di Jakarta atau kota besar lain di Indonesia, hasil riset itu bukan sekadar angka ilmiah. Apalagi, Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia rutin diselumuti polusi udara dengan tingkat yang sangat parah. 

Jakarta terutama rutin jadi kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Ahad (28/9) lalu, misalnya, data situs pemantau kualitas udara IQAir menemukan indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada di posisi kesembilan terburuk di dunia dengan angka 148 atau masuk dalam kategori tidak sehat. 

Apa yang bisa dilakukan? Para peneliti memang menekankan perlunya riset lanjutan, termasuk mencari tahu zat apa persisnya di dalam PM2.5 yang memicu perubahan protein otak ini. Tapi mereka juga menekankan satu hal sederhana: kita harus mulai benar-benar menganggap serius polusi udara.
 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan