Masuk dalam Prolegnas 2025, revisi Undang-undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) mulai digarap DPR RI. Selama dua bulan terakhir, Komisi IV DPR RI rutin menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk meminta masukan pihak-pihak terkait dalam pembahasan revisi.
Selain dari kalangan masyarakat sipil, masukan dari kalangan pengusaha ditampung. Pekan lalu, misalnya, DPR mengundang Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (PERSAKI), Yayasan Sarana Wana Jaya, Indonesian Petroleum Association, dan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PAPI) untuk dimintai pendapat.
Kepala Divisi Kehutanan & Keanekaragaman Hayati Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Difa Shafira mengatakan banyak persoalan yang harus diperhatikan dalam revisi UU Kehutanan. Yang paling utama, revisi harus memperhatikan pembagian fungsi hutan secara ketat.
Menurut Difa, pembagian hutan menjadi kawasan konservasi, lindung, dan produksi diui UU yang lama sudah tidak relevan lagi dengan upaya perlindungan hutan dan target pengurangan emisi di sektor Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030.
Fungsi hutan, kata dia, sebaiknya cukup dibagi menjadi hutan tetap dan hutan cadangan. Hutan tetap merupakan hutan yang mutlak tidak boleh diubah dan harus dilindungi, sedangkan hutan cadangan bisa dikelola untuk kebutuhan tertentu jika benar-benar diperlukan.
"Pembagian itu membiaskan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat. Hutan tetap yang kami usulkan itu merupakan hutan yang harus dijaga keberadaanya untuk tidak dibebankan konsesi," kata Difa kepada Alinea.id, Senin (30/6).
Menurut Difa, UU Kehutanan harus dipastikan mengatur aktivitas produksi hanya dilakukan di area hutan yang memang sudah rusak atau tidak lagi produktif, bukan di hutan alam yang masih utuh. Namun demikian, lahan yang telah rusak karena aktivitas pertambangan ataun perkebunan tetap harus direhabilitasi.
"Namun, karena biayanya yang mahal, upaya yang dikedepankan adalah menjaga yang masih ada. Revisi UU Kehutanan perlu memberikan batasan-batasan untuk melindungi hutan alam yang tersisa agar sesuai dengan target FOLU Net Sink 2030. Perlindungan terhadap ekosistem penting, seperti gambut, harus menjadi fokus dalam Revisi UU Kehutanan," kata Difa.
Untuk melindungi hutan dari kerusakan akibat konsesi, menurut Difa, perlu ketentuan mengenai perlindungan hutan yang tersisa. Yang perlu ditekankan ialah kepatuhan melindungi hutan dari perizinan yang telah diterbitkan.
Pembagian fungsi hutan, lanjut Difa, juga perlu mempertimbangkan kebutuhan pemerintah daerah,masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup di sekitar kawasan hutan. Selain itu, daya dukung dan daya tampung lingkungan suatu wilayah juga perlu menjadi pertimbangan—yakni sejauh mana wilayah tersebut mampu menanggung aktivitas manusia tanpa merusak ekosistemnya.
"Bukan lembaga baru yang dibutuhkan. Setidaknya ada tiga hal yang dapat dijawab melalui revisi UU kehutanan. Pertama, memperkuat rekognisi dan perlindungan bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat yang tinggal di dan sekitar hutan. Kedua, keterbukaan informasi agar masyarakat bisa melakukan pemantauan yang efektif untuk perlindungan hutan. Ketiga, penguatan kelembagaan di tingkat tapak," kata Difa.
Senada, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, menilai pembagian fungsi hutan harus memperhatikan fungsi ekosistem esensial, baik itu lahan basah, ekosistem gambut dan jenis lahan lainnya. Menurut Wahyu, pembagian konsesi lahan kerap mengabaikan fungsi- fungsi ekosistem, termasuk ekosistem gambut.
"Penting diperhatikan dalam revisi Undang-Undang Kehutanan, ekosistem tertentu, seperti ekosistem gambut enggak bisa dibagi-bagi pada batas- batas administratif, pada provinsi, atau kabupaten. Karena kemudian kesatuan hidrologis gambut kerap kali melampaui wilayah- wilayah administrasi yang sudah ditetapkan pemerintah. Itu yang penting jadi perhatian," kata Wahyu kepada Alinea.id
Wahyu menilai revisi UU Kehutanan mesti memastikan penguatan perlindungan pada ekosistem hutan, termasuk ekosistem gambut. Selain itu, muatan dalam UU Kehutanan juga mesti didesain untuk menghapuskan perluasan- perluasan konsesi yang mengabaikan fungsi hutan.
"Jika serius pemerintah dalam membahas UU Kehutanan, dalam konteks perlindungan, maka harusnya ini juga bisa direvisi. Soal, misalnya, (perkebunan) sawit dalam kawasan hutan yang ilegal. Itu bukan diputihkan, tapi kemudian dilakukan penegakan hukum," kata Wahyu.