Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait dan Wakil Menteri PKP Fahri Hamzah terlihat semakin tak akur. Terbaru, keduanya bersilang pendapat soal attachment earnings atau skema pembiayaan beli rumah lewat pemotongan upah calon pemilik setiap bulan.
Attachment earnings diusulkan Fahri sebagai solusi pembiayaan rumah bagi pekerja agar tidak membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta mengurangi risiko perbankan. Namun, usul itu tak disampaikan langsung ke Maruarar selaku "bos" Fahri.
"Saya tunggu kalau ada usulannya. Saya tunggu aja, ya. Kan saya menterinya. Tentu soalnya (perumahan) ke saya, ya," ujar Ara, sapaan akrab Maruarar, ketika ditanya wartawan soal skema attachment earnings itu, Jumat (4/7).
Ara mengaku Fahri belum berkomunikasi dengannya terkait attachment earnings ini. Ia juga menekankan bahwa tugas prioritas Fahri selaku Wakil Menteri PKP saat ini adalah mendorong investasi dari luar negeri untuk sektor perumahan.
Namun, keduanya juga "berkonflik" pada skema pinjaman luar negeri. Saat Fahri sedang berkeringat mencari pinjaman luar negeri untuk mendukung pembangunan rumah murah ke sejumlah lembaga global, Ara mengumumkan skema pinjaman luar negeri tak lagi jadi opsi.
Ia berdalih Presiden Prabowo Subianto lebih memilih memaksimalkan pendanaan domestik seperti dari BPI Danantara dan skema FLPP. "Saya hentikan pinjaman dari luar negeri untuk sektor perumahan," ujar Ara kepada wartawan, akhir Juni lalu.
Tak hanya itu, keduanya juga tak sepakat soal ukuran rumah subsidi. Ara ingin luas rumah subsidi disunat hingga 18 meter persegi demi memangkas harga, sedangkan Fahri berpendapat rumah seluas itu tak manusiawi.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menilai skema attachment earning yang diusulkan Fahri sebenarnya bukan barang baru. Usulan itu tak akan bikin Ara meradang jika dikomunikasikan terlebih dahulu.
"Tidak relevan untuk pembiayaan rumah subsidi karena penerima subsidi di Indonesia tidak selalu memiliki pemasukan tetap ke rekening pribadi. Bahkan, sangat mungkin masih ada masyarakat sadar subsidi yang tidak memiliki rekening," kata Dedi kepada Alinea.id, Sabtu (6/7).
Ara dan Fahri sama-sama elite politik pendukung Prabowo di Pilpres 2024. Ara bahkan rela dipecat dari PDI-Perjuangan supaya bisa mendukung Prabowo. Oleh Prabowo, keduanya ditugasi menggarap proyek pembangunan tiga juta unit rumah per tahun.
Menurut Dedi, ada perbedaan pola kerja antara Ara dan Fahri dalam merealisasikan proyek itu. Fahri cenderung bekerja lebih sistematis, sedangkan Ara lebih mengedepankan relasi pribadi dengan menggaet para konglomerat untuk mendanai proyek itu.
"Misalnya, dalam satu momentum, (Ara) menggandeng Aguan (pendiri Agung Sedayu, Sugianto Kusuma). Ini hubungan Maruarar dan Aguan secara personal. Jangan-jangan justru Fajri Hamzah lah yang memikirkan program dengan tata kelola sistemik, sementara Maruarar hanya berada di lingkaran populis," kata Dedi.
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah. Foto: Twitter
Berebut panggung
Pakar komunikasi politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo menduga Ara dan Fahri sedang berebut panggung politik di program perumahan rakyat. Itulah kenapa pernyataan keduanya kerap kontradiktif di media.
"Jadi, mungkin Ara merasa tergganggu karena usulannya (Fahri) tiba-tiba tidak dikonsultasikan dan tidak diobrolin dulu, tetapi muncul di media. Lalu, Fahri juga merasa Ara tidak terlalu akomodatif. Jadi, akhirnya kita menemui akrobat komunikasi seperti ini," kata Kunto kepada Alinea.id.
Menurut Kunto, Ara dan Fahri sebaiknya bertemu dan mengakhiri friksi. Jika dibiarkan, ia khawatir konflik antara keduanya merembet ke jajaran pegawai Kementerian PKP.
"Harus ikut siapa? Ini akan muncul blok-blok dan tentu tidak sehat bagi kementerian ini," kata Kunto.